kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pahlawan generasi milenial


Selasa, 07 November 2017 / 16:23 WIB
Pahlawan generasi milenial


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

DI Indonesia setiap perubahan sosial itu selalu saja melibatkan kelompok generasi muda sebagai garda terdepan. Pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya--yang kemudian dikukuhkan sebagai Hari Pahlawan--melibatkan pula kaum muda sebagai motor penggeraknya.

Sosok yang paling menonjol sekaligus juga sebagai pemimpinnya adalah Sutomo. Kita semua lebih mengenalnya dengan sapaan Bung Tomo. Usianya ketika itu baru 25 tahun. Perannya sangat sentral. Suaranya yang menggelora lewat radio mampu membangkitkan semangat juang arek-arek Suroboyo untuk melawan penjajah Belanda yang datang dengan mendompleng tentara NICA ke Tanah Air.

Andai saja kita ilustrasikan usia Bung Tomo kala itu dengan generasi masa kini, boleh jadi sosoknya masih berstatus sebagai mahasiswa atau baru saja menyandang gelar sarjana. Lantas pertanyaan pun mengemuka, bagaimana dengan generasi muda masa kini?

Sudahkah mereka mampu menjadi motor-motor penggerak perubahan sosial di negeri ini? Inilah pertanyaan yang perlu dihadirkan ulang setelah bangsa ini melewati 72 tahun kemerdekaannya, utamanya dalam memaknai momentum Hari Pahlawan yang selalu diperingati setiap 10 November.

Untuk menjawabnya, rasanya sungguh tidak adil jika harus membandingkan peran perubahan yang dilakukan kaum muda pada masa Bung Tomo itu dengan generasi muda masa kini. Periodesasi waktu dan persoalan yang terjadi sungguh berbeda. Pada masa itu, kaum muda tampil sebagai penggerak perubahan dengan cara mengangkat senjata untuk melawan penjajah.

Pada masa kini, kaum muda yang lebih dikenal sebagai generasi millennial, tentunya memiliki cara yang berbeda dalam menyikapi maupun melibatkan dirinya ke dalam pusaran perubahan sosial. Berdasarkan terminologinya, generasi millennial ini dikelompokkan ke dalam generasi yang lahir pada rentang 1981-2000. Kira-kira mereka ini berusia pada kisaran 17–36 tahun.

Sementara mengutip riset Pew Research Center pada 2010 berjudul Millennials: A Portrait of Generation Next, kehidupan generasi millennial ini tidak bisa dilepaskan dari teknologi terutama internet, entertainment ataupun hiburan. (Hasanudin Ali: 2016)

Dalam sebuah artikel yang dikutip dari hipwee.com (2016), dijelaskan pula generasi millennial ini memiliki karakter berpikiran terbuka, mudah beradaptasi, multitasking, namun kurang fokus dan mudah bosan. Sedangkan baby boomers--generasi yang lahir antara tahun 1945-1976--identik dengan etos kerja tinggi, mandiri, dan mampu menjadi pemimpin yang baik, namun kurang bisa beradaptasi dengan perubahan.

Identitas perilaku itulah yang kemudian menempatkan generasi millennial ini menjadi berbeda dibanding generasi-generasi terdahulu. Namun penulis tetap yakin generasi millennial akan bisa memainkan peran dalam menciptakan perubahan sosial.

Setidaknya, indikasi keyakinan itu bisa dilihat dari hasil survei CSIS yang dirilis pada 3 November lalu. Survei terhadap 600 sampel dari 34 provinsi di Indonesia itu memperlihatkan persoalan keterbatasan lapangan pekerjaan (25,5%), tingginya harga sembako (21,5%) dan tingginya angka kemiskinan (14,3%). Ketiga hal itu menjadi persoalan utama yang disorot oleh generasi millennial.

Peran Lembaga Pendidikan

Untuk merespons kegelisahan generasi millennial yang ditangkap oleh CSIS itu maka di sinilah tanggungjawab institusi pendidikan untuk mengambil peran. Pendidikan yang dihadirkan kepada generasi millennial ini tentunya sudah tidak bisa lagi dilakukan dengan pendekatan yang normatif--hanya mengandalkan text book semata.

Karakter generasi yang terbuka, melek teknologi dan multitasking, sepatutnya dijadikan benchmark untuk mengembangkan model pendidikan yang kelak melahirkan generasi yang kompetitif dalam menjawab tantangan zamannya.

Sayangnya, fakta yang tersaji saat ini justru memperlihatkan daya saing tenaga kerja Indonesia masih sangat rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Februari 2017 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dari angkatan kerja di Indonesia masih didominasi pendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah yang mencapai 42,23%.

Lalu SMP sebanyak 18,16%, SMA (16,48%), SMK (10,87%), Diploma (2,95%), dan Universitas (9,31%). Dari data BPS itu ditunjukkan juga bahwa terdapat 7 juta pengangguran dari total 131,54 juta penduduk berusia produktif.

Inilah tantangan yang harus segera direspons. Sebagai pengelola pendidikan tinggi, penulis melihat bahwa secara jangka pendek yang dibutuhkan saat ini adalah memperbanyak unit-unit Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) dan pendidikan vokasional.

Unit LSP ini diperlukan untuk memberikan legalitas terhadap kualitas mutu tenaga kerja Indonesia yang dikeluarkan melalui institusi pendidikan tinggi. Sementara pendidikan vokasional ini perlu diperbanyak karena instrumen ini hadir untuk menyiapkan para lulusan terampil dengan fokus pada penguasaan keahlian terapan tertentu.

Lantas secara jangka panjang, peningkatan kualitas mutu generasi millennial ini bisa ditempa lewat program reguler pendidikan tinggi melalui program seperti S1, S2 maupun S3. Namun dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan ini, kita masih memiliki sejumlah kendala. Salah satunya adalah kualitas tenaga pengajar yang boleh dibilang masih ala kadarnya. Indikasi itu terlihat dengan masih minimnya tenaga dosen di Indonesia yang bergelar doktor.

Data Direktorat Jenderal (Ditjen) Sumber Daya dan Iptek Pendidikan Tinggi Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) tahun 2017 menyebutkan saat ini baru ada 31.000 tenaga pengajar dosen yang telah bergelar doktor di seluruh Indonesia.

Sementara total tenaga pengajar dosen yang terdata sebanyak 270.000 orang. Artinya, perbandingan doktor per 1 juta penduduk, Indonesia hanya memiliki 143 doktor. Di Malaysia jumlah doktor per 1 juta penduduknya adalah sebanyak 509, Amerika memiliki 9.850 doktor per 1 juta orang, Jerman dengan 3.990 doktor, dan Jepang dengan 6.438 jumlah doktor.

Inilah perjuangan yang harusnya direspons oleh generasi millennial. Tantangan zaman yang sudah berubah sepatutnya dipahami oleh generasi ini. Bonus demografi yang dihadapi Indonesia dalam beberapa tahun ke depan harus ditunjang dengan perbaikan kualitas pendidikan bagi generasi millennial.

Penulis percaya karakteristik yang dimiliki generasi ini akan bisa menjadi modal besar untuk melakukan perbaikan dan membawa Indonesia menjadi lebih baik di masa mendatang. Ingatlah, kalau Bung Tomo yang masih berusia muda bisa bersuara lantang mengobarkan semangat juang arek-arek Suroboyo melawan penjajah, maka kecerdasan dan kreatifitas generasi millennial yang cemerlang akan menjadi modal besar untuk membawa negeri ini merdeka dalam arti yang sesungguhnya.

Teruslah belajar dan berkreasi. Kelak, cara itulah yang akan menjadikan generasi millennial ini dikenang oleh generasi berikutnya sebagai pahlawan bagi bangsa ini. Pilihan sudah di depan mata. Apakah kita ingin memilihnya atau kita malah mengabaikannya? (Dadang Solihin, Rektor Universitas Darma Persada)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×