| Editor: Tri Adi
Hari itu masih pagi. Jarum jam masih menunjukan jam 08.30 pagi waktu Indonesia tengah (WITA). Namun, terik mentari sudah begitu menyengat di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kupang memang dikenal sebagai daerah di Indonesia yang beriklim kering.
Di NTT periode musim kemarau lebih panjang dibandingkan dengan daerah lainnya. Di NTT musim kemarau berlangsung selama tujuh bulan, dari Mei hingga November. Sedangkan musim penghujan hanya berlangsung lima bulan, dari Desember hingga April. Kupang memang terkenal sebagai provinsi yang beriklim kering di Indonesia.
Suhu udara rata-rata di kawasan ini 27,6 derajat celcius. Sementara suhu maksimum rata-rata 29 derajat celcius. Sedang suhu minimum rata-rata 26,1 derajat celcius. Tak heran bila kawasan ini sering mengalami kekeringan.
Pada September tahun ini saja misalnya, Sebanyak 10 Kabupaten di Provinsi NTT, mengalami kekeringan akibat musim panas yang berkepanjangan. 10 kabupaten yang mengalami kekeringan itu antara lain, Kabupaten Flores Timur, Lembata, Alor, Belu, Malaka, Timor Tengah Utara (TTU), Rote, Sabu, Sumba Timur, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya (SBD).
Bencana kekeringan adalah berita buruk bagi penduduk Kupang, terutama para petani di sana. Gagal panen adalah berita yang sering datang dari provinsi ini. Jika gagal panen akibat kekeringan terus terjadi dan semakin meluas, bukan tidak mungkin bencana kelaparan akan menimpa Kupang, NTT.
Ancaman kekeringan dan berujung pada bencana gagal panen di Kupang semakin meningkat seiring dampak perubahan iklim global. Kenaikan suhu bumi secara global bukan lagi wacana, namun sudah terjadi akhir-akhir ini. Pada 2016, suhu rata-rata permukaan bumi mencapai rekor tertinggi selama tiga tahun berturut-turut sejak pencatatan dimulai pada 1880. Suhu rata-rata global 1,1 derajat celcius di atas sebelum era industri dimulai. Menurut World Meteorological Organisation (WMO), angka tersebut juga 0,06 derajat celcius lebih tinggi dibanding suhu rata-rata pada 2015.
Negara-negara penyumbang emisi karbon berupaya mengurangi emisi. Termasuk Indonesia, sebagai penyumbang emisi karbon dari alih fungsi hutan. Mitigasi perubahan iklim adalah sebuah keniscayaan bila bencana ekologi tidak ingin datang secara lebih cepat dan dalam skala luas. Tak heran upaya mitigasi ini mendapat prioritas pendanaan yang luar biasa besar dari berbagai lembaga donor.
Di samping upaya mitigasi perubahan iklim, upaya adaptasi tidak kalah penting. Upaya adaptasi terhadap perubahan iklim ini yang diperlukan oleh para petani, termasuk petani di Kupang, NTT. Namun, sayangnya dibandingkan dengan mitigasi, upaya adaptasi ini tidak banyak mendapatkan perhatian dan juga pendanaan.
Meskipun dengan dukungan pendanaan yang tidak sebesar dalam program mitigasi, adaptasi terhadap perubahan iklim terus dilakukan, termasuk oleh petani di Kupang, NTT. Salah satu upaya petani Kupang melakukan adaptasi perubahan iklim itu dengan cara menerapkan metode system of rice intensification atau SRI.
Bisa jadi contoh di wilayah lain
SRI adalah inovasi metode budidaya padi yang diperkenalkan pada tahun 1983 di Madagaskar oleh pastor sekaligus agrikulturis asal Prancis, Fr. Henri de Laulanie, yang telah bertugas di Madagaskar sejak 1961. Baru sekitar tahun 1999, untuk pertama kalinya SRI diuji di luar Madagaskar yaitu di China dan Indonesia. Pengujian SRI di Indonesia dilaksanakan oleh Badan Penelitian Tanaman Padi atau Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (IAARD) yang pusat penelitiannya ada di Sukamandi, Jawa Barat.
Metode SRI ini adalah cara bertani yang lebih menghemat air. Pada metode SRI ini kondisi tanah dibiarkan tetap lembab tapi tidak tergenang. Model pertanian seperti ini sangat cocok diterapkan di Kupang yang terkenal beriklim kering. Dengan menerapkan metode ini petani Kupang dapat menghemat air.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah metode SRI ini juga akan meningkatkan produktivitas lahan? Di berbagai negara memang sudah ada bukti bahwa produktivitas lahan petani meningkat setelah menggunakan metode SRI. Penelitian di berbagai negara, jelasnya, metode SRI mampu meningkatkan produktivitas lahan sebesar 100% di Madagaskar. Metode SRI juga mampu meningkatkan produktivitas lahan di Afganistan (64%), China (11,3%) dan Irak (42%). Lantas, bagaimana produktivitas lahan pertanian petani Kupang setelah menerapkan SRI?
Di Kupang, metode SRI baru diterapkan di sebagaian wilayah. Dua daerah di Kupang yang telah menerapkan metode SRI ini adalah Kelurahan Tarus dan Desa Baumata. Data dari ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund), organisasi yang membantu program adaptasi perubahan iklim di Kupang, menyebutkan bahwa tahun 2017 di Kelurahan Tarus, produktivitas lahan setelah menggunakan metode SRI meningkat sangat signifikan, yaitu sebesar 5,6 ton per hektare.
Sementara di Desa Baumata pada tahun 2017, menurut data ICCTF, produktivitas lahan meningkat menjadi 3 ton per hektare. Sementara jika dibandingkan dengan lahan yang menggunakan metode konvensional hanya mencapai produktivitas sebesar 1,5 ton per hektare. Tak heran kemudian di Baumata ini, terjadi peningkatan luas lahan yang ditanami dengan metode SRI. Jika musim tanam sebelumnya hanya 20 are yang ditanami dengan metode SRI, di musim tanam kedua meningkat menjadi 50 are-60 are.
Adaptasi perubahan iklim oleh petani Kupang ini harus mendapat perhatian pemerintah setempat maupun pusat. Upaya petani Kupang untuk mulai beradaptasi dengan perubahan iklim pun harus mendapatkan apresiasi. Apresiasi itu dapat berupa kemudahan akses pasar, bibit, pupuk organik maupun pendanaan.
Bukan itu saja, pengalaman petani Kupang dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim harus didokumentasikan untuk kemudian dapat direplikasi di wilayah lain di Indonesia. Pemerintah harus memfasilitasi pertukaran pengetahuan antar petani di Indonesia terkait dengan adaptasi perubahan iklim, termasuk yang telah dilakukan petani Kupang.
Bagaimana pun juga, perubahan iklim akan memukul perekonomian kaum petani. Untuk itulah adaptasi perubahan iklim dapat menjadi pintu masuk untuk menyelamatkan perekonomian kalangan petani yang menurut Bung Karno adalah soko guru perekonomian Indonesia itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News