kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Agenda kedaulatan pangan kepala daerah baru


Selasa, 17 Juli 2018 / 12:51 WIB
Agenda kedaulatan pangan kepala daerah baru
ILUSTRASI. ILUSTRASI OPINI - Agenda Kedaulatan Pangan Kepala Daerah Baru


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Pilkada serentak yang berlangsung di 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten, belum lama ini telah berlangsung dengan baik dan aman. Dan sudah menampilkan para pemenang. Para kepala daerah baru ini diharapkan mampu mengkreasi pelbagai kebijakan terkait tata kelola kawasan pertanian. Baik di hulu maupun di hilir demi menjadikan Indonesia berdaulat di bidang pangan secara berkelanjutan.

Dalam debat pendalaman visi-misi paslon kepala daerah tentang kedaulatan pangan sebagian besar mengungkapkan upaya mengerem laju beras impor yang masih besar jumlahnya. Bisa dipahami karena pemerintah masih mengimpor beras sebanyak satu juta ton belakangan ini.

Beras impor selalu menuai pro dan kontra. Di satu sisi, impor dilakukan untuk memperkuat ketahanan pangan agar seluruh rakyat dapat mengakses beras sebagai makanan pokok. Sisi lain, Indonesia yang punya sawah 9–11 juta hektare, impor beras menjadi hal yang kontraproduktif. Ini membuktikan bangsa Indonesia masih lemah dalam kedaulatan pangan.

Percepatan penguatan kedaulatan pangan bisa tercapai jika praktik pangan impor diakhiri dengan memberdayakan petani lokal memprodukai pangan yang beragam. Penguatan ini terkait dengan kebijakan pangan impor yang telah memiskinkan petani lokal yang selama ini berperan sebagai lokomotif kedaulatan pangan.

Masih tingginya ketergantungan bangsa ini pada impor, selain lambatnya percepatan diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal di tengah masyarakat, juga Indonesia mengalami tekanan karena dua hal secara simultan. Pertama, konsumsi domestik meningkat dengan adanya pertumbuhan kelas menengah dan meningkatnya daya beli masyarakat.Kedua, tidak ada tambahan kapasitas produksi.

Kedua tekanan ini mendorong volume impor pangan melambung dalam sepuluh tahun terakhir. Trennya bakal kian meroket ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai berlaku 2015. Tanpa terobosan, tak hanya momentum pertumbuhan ekonomi kerakyatan yang gembos, tetapi kultur pertanian lokal juga bakal tergusur.

Pembangunan pertanian yang miskin inovasi telah menempatkan Indonesia semakin tergantung pada pangan impor. Impor beras selama ini alasannya untuk mengamankan pasokan produk olahan padi di tengah ancaman El Nino. Alasan klasik serangan wereng, musim kemarau dan banjir menjadi justifikasi untuk selalu membuka keran impor. Seakan hama wereng tidak bisa diatasi, banjir dan kekeringan tak bisa ditangani. Masalah ini terus dikloning sebab cara cerdas seakan tidak pernah ditemukan untuk solusi.

Indonesia menjadi negara yang membangun ketahanan pangan di atas pasir karena berbasis impor yang mudah runtuh. Kita menghuni negeri yang makmur, namun tidak mampu memproduksi pangan untuk rakyat. Krisis pangan datang silih berganti. Mulai dari krisis beras, kedelai, daging sapi, gula, jagung, bawah putih, bawang merah dan lain-lain.

Sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan sumber daya pertanian dan pangan lokal yang melimpah, Indonesia seharusnya bisa menjadi lumbung pangan dunia. Namun ironisnya, laju pembangunan kedaulatan pangan kian melambat. Berdasarkan data terkini Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan sektor pertanian tanaman pangan pada kuartal I-2014 hanya 0,94% atau melambat dibandingkan dengan periode yang sama 2013 yang sebesar 2,18%. Ini terjadi di tengah menyusutnya jumlah keluarga petani (BPS, 2013) karena sektor pertanian bagi mereka semakin tidak menarik.

Meski demikian, pada triwulan II 2017, sektor pertanian terus memberi kontribusi positif untuk perekonomian Indonesia. Menurut BPS, terlihat bahwa besaran produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai Rp 3.366,8 triliun. Jika dilihat dari sisi produksi, pertanian merupakan sektor kedua paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, setelah industri pengolahan. Posisi sektor pertanian masih di atas sektor lainnya, seperti perdagangan maupun konstruksi.

Reforma agraria

Meski memberi kontribusi positif di perekonomian dalam empat tahun terakhir, harga pangan kian melambung. Padahal hakekat pembangunan pangan dalam UU Nomor 18 tahun 2012, pangan harus terjangkau daya beli untuk menjamin hak atas pangan bagi rakyat. Sayangnya ketersediaan pangan kerap langka dan harganya pun tidak terjangkau daya beli rakyat miskin.

Harga pangan yang semakin mahal karena kebutuhan dasar ini dikendalikan para pemain kartel yang dikuasai segelintir pemodal besar. Praktik kartel pangan dengan kekuasaan uang yang dimiliki semakin mencengkram perdagangan pangan lokal. Temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar kasus dugaan korupsi impor daging sapi dan ketidakefisienan penyaluran raskin (rastra) membuktikan praktik mafia pangan kian memiskinkan warga kebanyakan. Suap impor pangan adalah jenis corruption by design.

Bagi negara agraris seperti Indonesia, mengimpor beras dan pangan lainnya sungguh sebuah ironi. Secara tidak langsung Indonesia menyubsidi petani negara asing yang memproduksi beras. Atas dasar itu, para kepala daerah yang baru harus segera mengambil langkah solusi atas masalah pangan impor yang diduga kerap ilegal dan telah merugikan petani lokal.

Sebab sektor pertanian di Indonesia menyerap hampir 40 juta tenaga kerja. Jika satu pekerja menanggung kehidupan tiga anggota keluarga, jumlah orang yang menggantungkan hidupnya di sektor ekonomi yang satu ini sekitar 160 juta jiwa.

Jumlah petani yang banyak di Indonesia seharusnya menjadi modal potensi besar untuk membangun pertanian yang berdaya saing tinggi. Sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan petani.

Yang terjadi sebaliknya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) di sensus pertanian 2013 menunjukkan jumlah rumah tangga petani gurem susut 4,77 juta rumah tangga selama 10 tahun terakhir. Alih-alih akibat konsolidasi lahan yang mengandaikan terjadinya proses pembangunan yang inklusif, penyusutan tersebut ditengarai sebagai akibat kemunduran sektor pertanian. Petani gurem cenderung menjual lahan yang sempit untuk kemudian mereka berimigrasi ke kota dan beralih ke sektor yang lebih menjanjikan, seperti industri atau sektor informal.

Untuk itu langkah solusi yang patut segera diambil adalah penuntasan reforma agraria untuk mendukung kedaulatan pangan. Persoalan ketimpangan penguasaan lahan diyakini sebagai akar persoalan pemiskinan petani dan krisis pangan. Pemerintahan baru di 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten di Indonesia harus memprioritaskan penyelesaian isu ini dalam mendukung kebijakan pembangunan pertanian nasional lima tahun ke depan.

Reforma agraria sebagai kontrak politik Presiden Jokowi dalam kampanye tahun 2014, sudah mulai menunjukkan titik-titik terang untuk keberlanjutan pembagunan pertanian dan kedaulatan pangan berkelanjutan.•

Posman Sibuea
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas, Medan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×