kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ancaman utang jatuh tempo dan kurs


Rabu, 28 Maret 2018 / 17:19 WIB
Ancaman utang jatuh tempo dan kurs


| Editor: Tri Adi

Selama hampir dua minggu ini, isu utang terus diangkat ke publik. Pro dan kontra terjadi. Utang bahkan telah menjadi isu politik yang sensitif. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, berkali-kali menegaskan bahwa utang jangan dilihat dari angkanya. Menurutnya, sebagian orang hanya melihat nominal. Cara pandang demikian hanya memprovokasi masyarakat.

Pernyataan ini secara khusus disampaikan dalam forum Diskusi Nasional, Indonesia Maju, di Sportarium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (11 Maret 2018). Menteri Keuangan mengingatkan lagi bahwa utang hanya merupakan instrumen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Bukan tujuan negara.

Membaca data Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), hampir dapat dipastikan, tidak ada negara tanpa utang. Dalam International Debt Statistics (IDS) 2018 ada 120 negara yang memiliki utang. IDS yang diterbitkan Bank Dunia menginformasikan dinamika historis dan analisis utang di banyak negara. Indonesia berada pada urutan ke 43 dari 120 negara pengutang terbesar di dunia.

IDS menunjukkan bahwa ada pergeseran konsentrasi rasio utang terhadap gross national income (GNI) di negara itu. Semula terkonsentrasi di bawah 30% membengkak lebih dari 40%. Beruntung, Indonesia masih berada pada rasio di bawah 30%, sehingga rakyat tidak perlu khawatir.

Lalu apa yang perlu diwaspadai dari utang Indonesia? Beberapa lembaga pemeringkat kredit, seperti Standard & Poors, Moodys, dan Fitch, memberikan rating BBB- hingga BBB. Dengan outlook stabil dan positif. Artinya lembaga tersebut menganalisis Indonesia masih mampu membayar utang.

Nah, dalam melihat utang tidak saja bicara semata-mata besarnya nominal utang. Utang harus diwaspadai terhadap kurs mata uang, bunga, dan risiko rollover. Ketiga elemen tersebut ada pada saat membayar cicilan.

Cicilan jatuh tempo sendiri merupakan sumber debt distress. Perlu waspada. Mengingat Indonesia pernah menghadapi tersebut. Akibat krisis ekonomi 1997, pemerintah menjadwalkan ulang, setidaknya tiga kali, utang luar negeri akibat tidak mampu membayar cicilan pokok dan bunga utang. 

Selain Indonesia, negara lainpun mengalami hal serupa. Tahun 2004, ada 29 negara dengan penghasilan rata-rata per kapita US$ 340 mendapatkan keringanan nominal utang lewat prakarsa Highly Indebted Poor Countries. Padahal utang luar negeri negara itu sangat besar. Namun karena berstatus sebagai negara miskin, maka mereka berhak mendapat penghapusan pokok utang.


Waspada kurs

Untuk itu, pemerintah perlu memastikan cicilan utang jatuh tempo dikelola dengan baik. Cicilan jatuh tempo ini terjadi setiap tahun. Misalnya, tahun 2018, pemerintah harus membayar Rp 355 triliun. Tahun 2019 sekitar Rp 344 triliun (sumber: www.djppr.go.id).

Menariknya, menurut Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko, beban cicilan utang di tahun-tahun berikutnya, cenderung turun. Di tahun 2030, pemerintah tinggal membayar Rp 49 triliun saja.

Bahkan di 2040, cicilan utang hanya tinggal Rp 15 triliun. Dalam rentang waktu 10 tahun ke depan, kewajiban cicilan utang sebesar lebih dari Rp 200 triliun hanya sampai tahun 2027 minus cicilan di tahun 2025. Pada tahun 2025, cicilan utang Rp 164 triliun.

Dari sisi porsi utang terhadap kemampuan bayar, pemerintah tidak khawatir. Ini jika penerimaan pajak terus naik signifikan. Misalnya pada level Rp 500 triliun sampai dengan Rp 700 triliun per tahun. Masih ada tabungan yang cukup setelah membayar cicilan utang.

Oleh karena itu, kekhawatiran beberapa pihak utang pemerintah besar, bisa dikatakan berlebihan. Utang besar namun jika cicilan jatuh tempo tetap dimitigasi berdasarkan cara pengelolaan yang benar, tidak akan menciptakan debt distress.

Yang harus diwaspadai dari cicilan jatuh tempo adalah utang berkurs mata uang asing. Dinamika perubahan kurs bisa membuat beban cicilan bergerak. Jika rupiah menguat, menguntungkan pemerintah. Sebaliknya, jika rupiah terdepresiasi, cicilan jatuh tempo bermata uang asing menambah beban.

Perlu diketahui, penerimaan pemerintah, misalnya pajak, dalam kurs rupiah, sedangkan membayar cicilan dalam kurs dolar. Pemerintah harus membeli dolar.

Semakin kuat dolar, semakin banyak rupiah yang harus disediakan. Ini membuat semakin banyak pajak yang harus terkumpul. Rupiah yang tertekan berdampak pada beban cicilan.

Saat ini, komposisi utang didominasi mata uang rupiah, sebesar 59%. Sedangkan utang bermata uang asing, relatif masih kecil, kurang dari 41%. Tersebar pada beberapa mata uang asing. Terbanyak dollar AS, kemudian yen Jepang, dan euro. Berdasarkan data, utang dalam bentuk rupiah sebesar Rp 2.285,17 triliun. Dalam mata uang dolar AS sebesar US$ 83,41 miliar. Lantas ada 2.049,13 triliun.

Jika terjadi tekanan, misalnya, rupiah melemah 1% saja terhadap dollar AS, pemerintah harus menyediakan tambahan US$ 834,1 juta. Dampaknya luar biasa. Depresiasi otomatis memaksa pemerintah untuk segera menyediakan dollar lebih banyak. Karena itu mewaspadai pergerakan kurs sangat penting. Pemerintah harus menjaga kurs tetap stabil.

Caranya adalah melalui peningkatan cadangan devisa. Untuk menambah cadangan devisa, antara lain perlu memperkuat kegiatan ekspor. Data Bank Indonesia (15 Maret 2018) Februari 2018, neraca perdagangan Indonesia nonmigas mengalami surplus US$ 0,75 miliar.

Naik dibandingkan surplus Januari yang tercatat US$ 0,18 miliar. Namun demikian, neraca perdagangan migas menciptakan defisit US$ 1,8 miliar. Secara netto, neraca perdagangan tetap defisit.

Oleh karena itu, untuk memperbaiki neraca perdagangan, surplus harus diciptakan, baik itu untuk nonmigas maupun migas. Pada saat yang sama, perlu juga menekan impor nonmigas maupun migas. Membaiknya neraca perdagangan, saya perkirakan bisa meningkatkan cadangan devisa sekaligus memperkuat nilai tukar rupiah.

Publik perlu mengetahui bahwa saat ini, era pemerintahan Presiden Jokowi, tekanan cicilan utang lebih besar dibandingkan era presiden sebelumnya. Utang tersebut, terjadi pada era sebelum pemerintahan ini.

Pemerintah perlu dukungan semua pihak. Bentuk dukungan, pertama, menjaga penerimaan negara semakin besar. Kedua, meningkatkan ekspor supaya cadangan devisa bisa digunakan untuk membayar utang sekaligus menjaga nilai tukar rupiah tetap kuat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×