kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Anomali laba bank dan pertumbuhan ekonomi


Selasa, 07 November 2017 / 13:58 WIB
Anomali laba bank dan pertumbuhan ekonomi


| Editor: Tri Adi

Baru-baru ini sejumlah bank merilis laporan keuangan hasil kinerja kuartal III-2017.  Hasilnya, laba perbankan nasional pada kuartal III-2017, terutama bank skala besar yang selama ini menjadi penguasa pasar atau market leader naik signifikan.

Pertumbuhan laba tertinggi diraih Bank BNI yaitu 31,6% menjadi Rp 10,15 triliun di periode tersebut. Lantas Bank Mandiri labanya melonjak 25,4% menjadi Rp 15,06 triliun, Bank BTN tumbuh 23,68% menjadi Rp 2 triliun. Sedangkan laba BRI naik 8,2% menjadi sekitar Rp 20,5 triliun.

Di luar bank BUMN yakni bank partikelir, ada BCA yang labanya naik 11,3% menjadi Rp 16,8 triliun. Kemudian laba Bank Panin tumbuh 23,39% menjadi Rp 2,18 triliun dan Bank NISP mencatatkan laba Rp 1,7 triliun atau naik 23% di periode tersebut.

Kenaikan laba tersebut terutama disebabkan oleh kemampuan bank melakukan efisiensi biaya dan kemampuan menekan pencadangan kredit macet. Sisi lain, kinerja pertumbuhan ekonomi nasional dianggap belum begitu memuaskan.

Prediksi pertumbuhan ekonomi kuartal III tahun ini tidak akan berbeda jauh dengan dua kuartal sebelumnya. Isu pelemahan daya beli masyarakat masih menjadi topik menarik, meskipun pemerintah tidak mengakui masalah tersebut. Bahkan Presiden Jokowi menganggap, isu tersebut diperkirakan merupakan komoditi politik karena tahun 2018 Indonesia memasuki tahun politik menjelang persiapan pilpres dan pemilu legislatif tahun 2019. Namun data yang dirilis oleh Nielsen, menegaskan bahwa tren penurunan daya beli konsumen sudah terjadi selama lima tahun terakhir.

Kontradiksi antara laba bank dan pertumbuhan ekonomi seolah merupakan anomali. Sebab  hasil dari berbagai riset yang ada sebagian besar menyebutkan bahwa salah satu variabel ekonomi makro yang sangat berpengaruh terhadap kinerja perbankan adalah pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi yang memuaskan akan mendorong konsumsi masyarakat dan memperkuat minat perusahaan untuk melakukan ekspansi usaha. Transmisi ini akan menyebabkan kenaikan kredit, baik kredit konsumsi, modal kerja maupun investasi.

Jika dianalisis lebih mendalam, sebenarnya fenomena yang terjadi di atas tidak sepenuhnya tepat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai saat ini memang di bawah target. Namun yang perlu diingat adalah bahwa dibandingkan dengan beberapa negara lain yang skala ekonominya besar, pertumbuhan ekonomi Indonesia tergolong lumayan tinggi.


Sebuah anomali?

Data dari World Economic Forum (WEF) menyebutkan bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini diperkirakan sebesar 3,6%. Negara-negara maju bahkan diperkirakan hanya tumbuh 2,2% dan negara berkembang (emerging economies) pertumbuhan ekonominya diprediksi 4,6%.  Artinya pertumbuhan ekonomi kita masuk dalam kategori not bad, bahkan diantara negara G-20, pertumbuhan ekonomi Indonesia ketiga tertinggi setelah India dan Tiongkok.

Memang pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih di bawah potensi yang ada atau belum mencapai keadaan full employment. Belum tercapainya kapasitas optimum ekonomi Indonesia disamping pengaruh faktor internal, juga disebabkan oleh variabel eksternal sesuai kondisi ekonomi global. Argumentasi ini menjelaskan bahwa sebenarnya tidak terjadi anomali antara pertumbuhan ekonomi dan kinerja perbankan nasional secara umum.

Variabel makro-ekonomi lain yang juga dianggap sebagai penyebab tingginya laba perbankan adalah rendahnya tingkat inflasi dan bunga acuan BI. Kestabilan makro ekonomi berimbas kepada membaiknya kinerja perbankan.

Sisi yang lain, perbankan Indonesia sampai dengan saat ini merupakan industri yang mencatatkan net interest margin (NIM) paling tinggi dibandingkan perbankan di negara lain. Suku bunga yang secara rata-rata masih berada di level dua digit menjadi salah satu penyebabnya. Meskipun bunga acuan Bank Indonesia sudah turun lumayan banyak, namun transmisi ke suku bunga kredit belum berjalan optimal.

Imbauan Bank Indonesia  (moral suasion) yang disampaikan kepada industri perbankan untuk menurunkan bunga kredit secara signifikan, relatif belum dipatuhi. Dunia perbankan seolah enggan melakukan langkah itu karena hal tersebut akan mengikis pencapaian laba mereka dan secara umum akan berdampak terhadap kinerja perbankan.

Variabel return on equity (ROE) perbankan nasional juga tercatat di angka yang paling tinggi. Data yang ada menunjukkan rata-rata ROE perbankan nasional berada di angka 23%, bandingkan dengan perbankan di AS yang hanya mencapai 9%. Mungkin karena alasan itulah, banyak investor kakap baik dari institusi keuangan maupun non keuangan yang tertarik untuk mengakuisisi perbankan di Indonesia.

Jika beberapa tahun yang lalu, mereka gencar masuk ke dalam bank berskala besar (kategori BUKU IV), sekarang para investor cenderung mengincar bank-bank dengan skala yang lebih kecil (seperti kategori BUKU I dan BUKU II) untuk bisa diakuisisi.

Sedangkan dilihat dari aspek product life cycle, industri perbankan dan keuangan pada umumnya masih masuk ke dalam kategori sunshine industry. Artinya prospek pertumbuhan industri perbankan masih sangat cerah ke depan. Argumentasi ini didukung oleh masih rendahnya tingkat literasi dan inklusi keuangan Indonesia. Meskipun, memang,   dalam beberapa tahun terakhir sudah terjadi peningkatan yang cukup signifikan.

Hasil survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan pada tahun 2013 berada di level 21,8%, sementara tingkat inklusi keuangan sebesar 59,7%. Namun di 2016, terjadi perbaikan menjadi 29,6% untuk literasi keuangan dan 67,8% untuk inklusi keuangan. Kenaikan tersebut terjadi baik secara gender, tingkat pendapatan, pendidikan, pengetahuan industri keuangan, hingga perbedaan konvensional dan syariah.

Program inklusi dan literasi keuangan yang dijalankan OJK sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena adanya akses permodalan yang baik. Dengan akses permodalan yang baik akan membuat kegiatan perekonomian menjadi lebih hidup dan juga menurunkan tingkat kesenjangan di masyarakat.

Transformasi masyarakat menuju digital society akan mendorong tingginya literasi dan inklusi keuangan. Artinya dalam beberapa tahun ke depan belum akan mencapai titik jenuh. Hal ini membawa harapan bahwa kinerja perbankan akan makin cerah. Apalagi dari sisi internal perbankan sendiri, mereka punya komitmen yang kuat untuk lebih efisien, khususnya terkait upaya penurunan biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO).

Masyarakat berharap tingginya kinerja perbankan, khususnya tercermin dari laba bersih perbankan, jangan hanya menguntungkan pemegang sahamnya. Tetapi betul-betul memberikan kontribusi nyata terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat.                   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×