kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Antara bandara dan jalan raya


Jumat, 05 Januari 2018 / 16:55 WIB
Antara bandara dan jalan raya


| Editor: Tri Adi

Setiap kali liburan tentulah banyak yang melakukan perjalanan. Bisa jadi untuk berlibur atau keperluan lain. Tak heran bila jumlah orang yang bepergian bakal melonjak kala liburan, seperti libur akhir tahun kemarin. Baik memakai kendaraan atau transportasi umum atau kendaraan pribadi.  

Harian KONTAN (22 Desember 2017) melaporkan arus kendaraan di gerbang tol selama liburan Natal mengalami lonjakan yang cukup drastis.  Lonjakan paling tinggi di Gerbang Tol (GT) Cikarang sebanyak 103.000 kendaraan atau naik 32,05% dari kondisi normal. Peningkatan jumlah kendaraan juga  terjadi di GT Purbaleunyi, GT Ciawi, dan GT Cengkareng.

Jumlah penumpang jalur laut tentu juga mengalami peningkatan. Tapi  tidaklah setajam peningkatan jalur darat dan jalur udara. Kenaikan  jumlah penumpang di Bandar Udara melonjak dengan tajam. Apalagi dengan pembangunan sarana dan prasarana penerbangan. Baik itu di  beberapa kota dan kawasan  bandara.

Misalnya di Wamena,  Gorontalo, Tarakan, Kualanamu, sampai bandara kecil tapi cukup potensial seperti di Malang, Banyuwangi, bahkan di kampung saya, Tapanuli Bagian Selatan.

Lonjakan penumpang udara memang tidak sedahsyat pergerakan mobil di jalan tol Pulau Jawa. Lonjakan penumpang di Angkasa Pura I meningkat sebesar 9,7% dibanding tahun lalu. Jika di tahun 2016 jumlah penumpang libur Natal dan Tahun Baru mencapai 5,28 juta orang, maka di tahun 2017 ini mencapai 5,54 juta orang.

Lonjakan penumpang terbanyak terjadi tiga hari sebelum Hari Natal. Tak heran bila ada tambahan 1.158 penerbangan, baik domestik maupun internasional. Lima tujuan utama di dalam negeri dipegang Kualanamu, Medan. Menyusul Makassar, Denpasar, Surabaya, dan Yogyakarta. Di penerbangan internasional ada Singapura, Kuala Lumpur, Seoul, Hong Kong dan Bangkok.

Pemilihan moda udara ini tentu untuk mengurangi waktu perjalanan. Kalau dulu untuk bisa mencapai kampung saya di Padangsidempuan butuh waktu sekitar 12 jam dengan jalan darat dari Medan. Kini cukup setengah jam saja lewat udara karena  Kualanamu menjadi tempat transit ke beberapa bandara di Sumatera Utara. Termasuk ke kampung saya itu.
Soal bandara ini menjadi menarik sebagai bahasan sendiri. Khususnya kebijakan bidang perhubungan. Di Sumatera Utara sekarang terdapat delapan bandara. Selain Kualanamu terdapat Lapangan Udara Soewondo yang dulu dikenal sebagai Bandara Polonia. Menyusul Bandara Silangit yang akhir November 2017 lalu diresmikan Presiden Jokowi sebagai Bandara Internasional. Tempatnya di Siborong Borong, Tapanuli Utara, dekat Danau Toba.  

Berikutnya Bandara FL Tobing atau Bandara Pinangsori, di Tapanuli Tengah. Bandara ini didarati dua penerbangan setiap hari dari Bandara Kualanamu. Ketika penumpang melonjak, Garuda akan melayani penerbangan langsung dari Jakarta. Menyusul  Bandara Aek Godang, tidak jauh dari Sipirok yang didarati sekali penerbangan dalam sehari dari Kualanamu. Sedang Bandara Sibisa, di Toba Samosir kini tampak ditumbuhi ilalang. Bandana Binaka dekat Gunung Sitoli, merupakan urat nadi ke Pulau Nias, dan Bandara Lasundre di Nias Selatan, yang jarang di darati pesawat.

Anehnya muncul pula usulan tiga bandara lain, yakni di Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Padanglawas dan Kabupaten Mandailing Natal. Padahal Labuhan Batu dilalui jalur Kereta Api yang masih berfungsi dengan baik dan rencana jalan tol Sumatera. Sedang Mandailing Natal hanya sekitar 50 km dari Bandara Aek Godang. Bahkan dari Padanglawas lebih dekat lagi ke Bandara Aek Godang yang terminalnya di cat warna nano-nano dan baru baru ini saya singgahi dari Kualanamu di Medan.   

Pada mulanya tuntutan akan perlunya bandara ini sejalan dengan pemekaran daerah. Munculnya ego daerah, termasuk daerah yang semula berasal dari akar budaya yang sama. "Agar penerbangan udara ke kampung ini," ucap beberapa tokoh daerah dulu ketika ingin membentuk daerah otonomi baru. Padahal biaya  membangun bandara tidak murah. Setidaknya puluhan miliar.

Utamakan jalan darat  

Di beberapa daerah, kehadiran bandara ini memiliki sejarah tersendiri. Misalnya daerahnya bergunung gunung seperti di Papua. Sementara jalan raya tidak pernah dibangun dimasa kolonial, sebelum penerbangan udara belum semaju sekarang.

Penumpang setiap penerbangan umumnya kelas menengah yang memiliki uang serta para pejabat. Jadi tuntutan pembangunan bandara umumnya untuk memenuhi kepentingan masyarakat di kelompok ini. Termasuk para pejabat ditingkat nasional.  Jika Bung Karno dulu mengunjungi Padangsidimpuan dua kali melalui jalan darat, sejak itu tak pernah lagi dikunjungi Presiden RI. Baru kemudian Presiden Jokowi mengunjungi lagi di tahun 2017 ini dengan menggunakan helikopter.

Keadaan itulah antara lain penyebab jalan darat kurang diperhatikan. Pembangunan jalan darat menjadi terabaikan. Kalaulah jalan darat di perbaiki, maka jarak antara Padangsidempuan dengan Bandara FL Tobing alias Bandara Pinangsori yang hanya sekitar 50 kilometer dapat dilalui dengan lancar. Kenyataannya, perlu waktu hingga satu setengah jam ke sana karena jalan yang sempit dan berlubang. Jalan antara Padang dengan Bukittinggi cukup bagus, tapi padatnya kendaraan menjadi terasa kurang memadai.  

Demikian pula jalan dari Panyabungan, ibukota Kabupaten Mandailing Natal, menuju Padangsidimpuan, khususnya menuju Bandara Aek Godang. Amat jauh dari mulus. Begitu juga jalan raya dari Sibuhuan, ibukota Padanglawas, ke Bandara Aek Godang. Di daerah Papua malah susah ditemukan jalan beraspal. Kendaraan yang dapat digunakan umumnya bergardan dua.

Ketika penduduk di Pulau Jawa ramai-ramai menikmati jalan tol, maka penduduk luar Jawa masih berjuang mendapatkan jalan raya yang tidak berlubang. Termasuk di Sumatera Utara yang terdapat jalan nasional paling panjang, yakni 2.249 kilometer (km).

Padahal banyak bandara di dunia juga jauh dari pusat kota. Lihat misalnya bandara Incheon, yang berjarak sekitar 48 km dari pusat kota Seoul di Korea Selatan.

Begitu juga dengan Bandara Kansai yang berjarak  tidak kurang dari 50 km dari pusat kota Osaka di Jepang. Dan masih banyak bandara lain yang jaraknya jauh dari pusat kota. Tapi jalannya dibuat bagus. Bahkan dengan beberapa moda transportasi, baik jalan raya untuk kendaraan pribadi, kendaraan umum seperti taksi dan bus, sampai jalur kereta api seperti yang di rintis untuk menjangkau Bandara Soekarno Hatta dari pusat kota Jakarta.

Bila jalan raya diperbaiki, maka tidak hanya melancarkan penumpang pesawat udara ke bandara terdekat, akan tetapi menjadi tumpuan utama rakyat terbesar untuk bepergian. Juga bagi keperluan arus barang, yang dibutuhkan semua anggota masyarakat.  Karena itu janganlah bernafsu membangun bandara jika kelak tidak bermanfaat. Lebih baik memperbaiki jalan darat yang dapat dinikmati seluruh rakyat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×