kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

APBN 2018 dan stimulus ekonomi Lebaran


Senin, 04 Juni 2018 / 14:50 WIB
APBN 2018 dan stimulus ekonomi Lebaran


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Strategi percepatan realisasi belanja pemerintah tampaknya semakin membaik di periode 2018. Hingga 30 April 2018, realisasi belanja negara sudah Rp 582,9 triliun atau 26,25% dari target APBN 2018.  

Kinerja ini naik 8,33% dibandingkan periode yang sama tahun 2017. Dari besaran anggaran belanja negara itu, realisasi lebih didominasi oleh penyerapan belanja pemerintah pusat Rp 331 triliun, sementara transfer ke daerah dan dana desa terserap hampir sekitar Rp 251,9 triliun.

Dilihat dari realisasi per komponen, penyerapan belanja pemerintah pusat ditopang utamanya dari realisasi belanja bantuan sosial (bansos) dan belanja subsidi. Bansos yang sudah meluncur ke masyarakat mencapai Rp 30,73 triliun, sementara belanja subsidi  menyumbang Rp 39 triliun.

Jika dibandingkan target APBN 2018, realisasi belanja bansos meningkat 138,76% dibandingkan tahun 2017, sementara belanja subsidi meningkat hingga 143,7%. Kenaikan realisasi belanja bansos tercatat paling tinggi dibandingkan dengan realisasi di seluruh komponen belanja pemerintah pusat lainnya. Fakta ini sekaligus menujukkan komitmen nyata dan keseriusan pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat sekaligus prioritas program perlindungan sosial.

Kinerja positif juga ditunjukkan dari sisi realisasi penerimaan negara baik perpajakan maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sektor perpajakan menyumbang Rp 416,9 triliun dari target Rp 1.618,10 triliun dalam APBN 2018, prosentasenya mencapai 25,76%. Jika dibandingkan year on year (yoy) tahun 2017, terjadi pertumbuhan 11,17%.

Berbagai upaya perbaikan pengelolaan sistem perpajakan sekaligus dampak program pengampunan pajak makin mendorong kilau realisasi penerimaan perpajakan. Termasuk pada komponen PNBP yang yoy dibandingkan tahun 2017 tumbuh 21,04% dengan realisasi per 30 April 2018 mencapai Rp 109,9 triliun.

Yang sedikit menjadi catatan adalah realisasi transfer ke daerah dan dana desa yang sedikit mengalami perlambatan. Hingga medio 30 April 2018, realisasi transfer ke daerah sekitar Rp 237,7 triliun atau 33,66% terhadap target, dengan realisasi dana desa mencapai Rp 14,2 triliun atau 23,83%.

Untungnya keseimbangan primer yang tercipta sampai dengan 30 April 2018 ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2017. Pada April 2018 ini, pemerintah mampu menciptakan posisi surplus dalam keseimbangan primer sehingga defisit yang tercipta
Rp 55,1 triliun atau 16,91% dari total rencana defisit keseluruhan dalam APBN 2018 yang mencapai Rp 325,90 triliun.

Dengan pengelolaan fiskal yang prudent, terlihat ruang fiskal yang diciptakan pemerintah dalam APBN masih relatif besar. Kondisi ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber akselerasi dan juga mitigasi menghadapi kondisi ke depan yang un-predictable.   

Di saat bersamaan, warga muslim di Indonesia tengah memasuki periode bulan Ramadan dan jelang Lebaran. Periode itu biasanya menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah khususnya dari aspek pengelolaan sisi moneter akibat melonjaknya transaksi ekonomi yang luar biasa besar.

Periode Ramadan dan Lebaran 2016, jumlah uang beredar Rp 160,4 triliun, naik 14,5% dari Lebaran 2015. Adapun pada periode 2017 perputaran uangnya mencapai Rp 167 triliun, sementara di periode Lebaran 2018 ini Bank Indonesia (BI) menyiapkan uang beredar hingga Rp 188,2 triliun atau naik hampir di atas 10%. Momen kenaikan ini juga imbas dari persiapan pilkada.

Yang masih menjadi PR bersama adalah cara mengoptimalkan dampak positif dari potensi ekonomi Lebaran kali ini. Perlu dicatat tradisi Lebaran di Indonesia sangat lekat dengan budaya mudik. Namun, budaya mudik selalu saja dikonotasikan dengan hal-hal negatif, salah satunya horor kemacetan. Untungnya, secara perlahan pemerintah terus berupaya mengurai dampak tersebut.

Kualitas efek Lebaran

Terlebih pemerintahan saat ini sudah banyak mengalokasikan infrastruktur dan juga bansos yang bermanfaat untuk mempercepat akses transportasi sekaligus menjaga daya beli masyarakat sehingga mampu mendukung penciptaan ekonomi Lebaran yang berkualitas. Dengan bahasa lain, budaya mudik seharusnya dapat menjadi salah satu cara bagi pemerintah untuk menciptakan ekonomi Lebaran yang berkualitas sekaligus membantu pencapaian program pemerintah. Ketika berjuta-juta masyarakat ibu kota dalam beberapa pekan akan mudik, maka harus dipastikan bahwa setiap individu pemudik harus mampu memberikan efek pertumbuhan bagi kampung halamannya.

Dampak pertumbuhan yang diharapkan paling minimal muncul, ketika pemudik membelanjakan uangnya di kampung halaman. Tak salah jika pemerintah selalu menghimbau supaya pemberian tunjangan hari raya (THR) bagi aparatur sipil negara (ASN) serta pekerja swasta dapat selesai sebelum Lebaran tiba.  Dampak yang lebih besar diharapkan tumbuh ketika pemudik mampu menggerakkan aspek investasi di kampung halamannya. Di sini tentu dibutuhkan peran aktif dan pemda masing-masing untuk memfasilitasi munculnya trickle down effect tersebut. Pemda harus secara jelas memiliki program pembangunan yang dapat memanfaatkan perputaran uang dari para pemudik. Jika sudah muncul efek tersebut, maka isu disparitas antar daerah tentu akan berkurang dengan sendirinya.   

Pemanfaatan dampak ekonomi Lebaran dalam mendukung upaya pemerataan pembangunan di masing-masing daerah juga memiliki dampak ganda dalam mengatasi persoalan klasik paska Lebaran. Khususnya terkait munculnya lonjakan pendatang baru. Dengan demikian, pemudik memang memiliki peran sentral. Bukan hanya menjadi agen pembangunan di daerah masing-masing namun sekaligus menjadi benteng pertama mencegah masuknya pendatang baru paska Lebaran.

Sehabis Lebaran, sama dan selalu berulang setiap tahunnya bahwa Jakarta dan juga kota-kota besar lainnya di Indonesia harus bersiap diri menghadapi lonjakan pendatang baru dari berbagai pelosok daerah di Indonesia. Di mata kaum pendatang, Jakarta dan kota-kota besar tersebut senantiasa memberikan daya tarik baru meski berat dengan problematika kehidupan kota. Menurut data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi Jakarta, pendatang baru paska Lebaran 2017 mencapai 70.000 jiwa yang rata-rata berpendidikan menengah rendah, serta hanya bermodal nekat tanpa keahlian apapun.

Sayangnya, Pemda DKI Jakarta sepertinya tak pernah memiliki kiat menghadapi fenomena tersebut. Kebijakan yang ada, hanya bersifat parsial dan tak terintegrasi dengan proses perencanaan pemerintah pusat melalui tools transfer ke daerah dan dana desa.

Padahal salah satu faktor pendorong utama masuknya para pendatang adalah tidak meratanya aspek pembangunan antar daerah. Ke depan, perlu dicapai sinergitas antara program kebijakan pemerintah daerah denga pemerintah pusat demi menciptakan pola ekonomi Lebaran yang semakin berkualitas dan berdaya.   

Joko Tri Haryanto
Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan         

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×