kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45916,33   -7,16   -0.78%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bagaimana dengan pedagang di medsos?


Selasa, 20 Februari 2018 / 15:44 WIB
Bagaimana dengan pedagang di medsos?


Reporter: Lamgiat Siringoringo | Editor: Mesti Sinaga

Pemerintah harus berani untuk ikut mengatur pajak transaksi yang terjadi sosial media. Karena jika hanya seller di e-commerce yang dibebani pajak, maka bisa saja ada perpindahan tempat berjualan.

Karena berjualan di sosial media tidak akan terkena pajak, sedangkan di e-commerce akan otomatis terkena pajak hingga 0,5%. Padahal pertumbuhan transaksi e-commerce Indonesia sedang berkembang.

Pemerintah bakal mengatur kebijakan pengenaan pajak bagi pelaku perdagangan elektronik alias e-commerce. Saat ini, pemerintah sedang menyusun Peraturan Menteri Keuangan untuk bisa lebih leluasa dalam mencari pajak di e-commerce.

Pelaku usaha e-commerce yang tergabung di Indonesian E-commerce Association (Idea) pun sudah diajak bertemu dengan pemerintah. Ada beberapa hal yang menjadi pembahasan, jika nanti aturan ini jadi diterapkan.

Ketua Bidang Pajak Idea, Bima Laga menyatakan setidaknya ada dua hal yang patut untuk menjadi pertimbangan pemerintah.

Pertama, soal kemampuan pemerintah untuk melacak perdagangan online yang terjadi di luar e-commerce, seperti yang terjadi di media sosial. Hal ini agar unsur keadilan terjadi sekaligus menjaga agar seller atau pedagang yang selama ini terdaftar di e-commerce tidak keluar dan memilih berjualan di sosial media lagi. 

Kedua, soal perusahaan e-commerce menjadi agen penyetor pajak. Karena e-commerce  akan terbebani dengan tugas baru ini.

Seperti apa pandangan Idea soal pajak e-commerce ini, wartawan KONTAN Lamgiat Siringoringo mewawancarai Bima, Kamis (25/1) lalu. Berikut nukilannya:

KONTAN: Bagaimana Idea melihat rencana pemerintah membuat aturan soal pajak e-commerce?
BIMA:
Tentunya ada berbagai pandangan. Bahwa kami meng-apresiasi apa yang sedang dikerjakan oleh pemerintah. Namun, pemerintah hendaknya juga memperhatikan berdasarkan keadilan dan manfaat lokal, bagi UMKM, bagi startup dan masyarakat lokal juga. Bagaimana dampaknya jika pajak ini diterapkan bagi UMKM?.

KONTAN: Kan rencananya akan turun juga untuk pajaknya menjadi 0,5%?
BIMA:
Iya betul, kami mengapresiasi jika memang benar ada penurunan, sekaligus kami mengendorse ke UMKM jika mereka berjualan di online maka tarifnya akan lebih murah. Ini kan yang kita bersama harapkan. Dengan ada penurunan pajak maka ada peningkatan volume.

KONTAN: Sudah pernah bertemu dengan pemerintah untuk membahas pajak ini?
BIMA:
Kebetulan saja baru kemarin kami bertemu dan rapat dengan dengan orang Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Jadi mereka menceritakan rencana dan skema. Dan kami juga menyampaikan pandangan. Kami menghargai skema itu.

KONTAN: Apa yang menjadi pembahasan saat bertemu BKF?
BIMA:
Kami masih menitikberatkan soal jika memang ini sudah mulai berlaku ke kami dan bagaimana dengan yang jualan di sosial media. Karena level playing of field itu kan tidak hanya offline dan online saja.

Ada yang online dalam negeri dan luar negeri. Ada juga formal dan informal. Apa itu informal, itu adalah yang berjualan di sosial media, WhatsApp atau pesan BlackBerry.

Jadi sebenarnya tidak ada pajak yang baru, ini hanya penegasan saja. Karena pada dasarnya ini kan pajak untuk berlaku semua orang. Untuk UMKM itu kan pajaknya 1%, di marketplace sekarang juga 1%.

Kalau sekarang kan terletak tidak di marketplace, tetapi di seller-nya. Kalau mendapatkan income, maka dia harus menyetorkan sendiri. Ada juga kabar kalau kami nantinya menjadi penyetor pajak.

KONTAN: Idea sudah sepakat dengan agen penyetor?
BIMA:
Kami belum 100% sepakat itu, karena ada kekhawatiran. Kami cukup menitikberatkan untuk yang informal. Marketplace itu semua masih gratis, karena kami masih dalam tahap membangun, kok sekarang sudah dipotong pajak.

Dan di sisi lain ada platform yang samasekali tidak di-monitoring seperti kami, yakni seperti jualan di sosial media. Ini keberatan kami yang sudah disampaikan. Bagaimana pemerintah menerapkan pajak ini ke marketplace, tetapi belum ada gambaran seperti apa yang penerapan pajak untuk yang di sosial media.

KONTAN: Tugas e-commrce akan semakin berat jika dijadikan agen penyetor?
BIMA:
Iya, ini kami menyebutnya beban administrasi yang akan kami tanggung. Kalau memang kami menjadi agen penyetor, artinya tugas kami kan bertambah sebagai marketplace.

Kami sudah cukup complicated untuk mengurusi transaksi, sekarang kami bertambah  beban untuk mengurusi adminstrasi perpajakan. Soalnya, kami diminta membantu penerimaan negara.

KONTAN: Artinya perlu ada insentif?
BIMA:
Ini soal ke teknis. Kami belum membahas sampai sana. Harusnya beban administrasi ini harus dibahas karena kan sistem di masing-masing marketplace ini berbeda.    

KONTAN: Artinya ada kekhawatiran juga kalau seller di marketplace memilih berjualan di sosmed dibandingkan di marketplace?
BIMA:
Ini data kami sampling jadi belum ada data valid. Jadi, tahun lalu kami ke 10 daerah. Jadi ada acara kenduri UKM, kami bertemu dengan pemain UKM. Kurang lebih ada 300 hingga 500 peserta di tiap kota.

Di situ kami melakukan survei, 50% hingga 60% dari peserta itu berjualan melalui sosial media, baru setelah itu mereka berpindah jualan di marketplace. Karena sebenarnya secara keamanan, lebih aman melalui marketplace.

Ketakutan kami, kalau memang aturan ini dikeluarkan maka cuma level formal saja harus menyetorkan pajak. Makanya sekarang dalam PMK ini yang dikejar-kejar adalah marketplace.

KONTAN: Tanggapan pemerintah soal keberatan ini?
BIMA:
Mereka menyampaikan PMK ini yang pertama, dan akan ada susulan lainnya, yang akan mengarah ke sosial media. Tetapi ini kan masalah timing. Kalau ini tidak diatur bersama dan rata.

Jadi nanti ada losing time, orang sudah banyak yang keburu pindah ke sosmed. Jadi kami sudah tidak bisa growing. Kan kami tidak tahu berapa lama untuk yang informal ini akan diatur. Padahal kami masih berkembang.

KONTAN: Jadi apa yang diharapkan Idea untuk transaksi yang ada sosial media?
BIMA:
Pemerintah sebenarnya sudah tahu karena memang sudah lama kami audiensi soal ini. Masalahnya apakah mereka punya teknologi untuk memonitor sosial media.

Apakah mereka mempunyai kemampuan untuk memaksa menerapkan pajak ini. Karena sosial media kan izinnya bukan menjadi marketplace. bukan untuk berjualan. Namun memang orang kita saja yang kreatif dan jadi platform jualan.   

KONTAN: Artinya menurut Idea, pemerintah harus mengupayakan hal yang sama juga ke pengelola sosial media?
BIMA:
Kami bukan mengarahkan hal itu. Namun, bagi kami, pemerintah harusnya punya cara untuk memaksakan sosial media, minimal untuk mentrack. Kalau untuk menyetorkan, mereka sebenarnya tidak bisa, karena izinnya kan bukan marketplace.

Harusnya pemerintah bisa memaksakan minimal untuk bisa melacak. Masalah pengetahuan UMKM ini juga menjadi perhatian. Tanpa ada edukasi dan sosialisasi masalah ini, akan ada ketakutan dari UMKM juga.  

KONTAN: Soal pajak dengan e-commerce luar negeri?
BIMA:
Persaingan dengan luar negeri itu juga menjadi kekhawatiran kami. Misalnya ada dua pemain yang satu dalam negeri dan luar negeri. Pemerintah tidak bisa memungut pajak dari e-commerce luar negeri.

Padahal memakan pasar dalam negeri. Pemerintah konsernnya di mana? Ini kan ada persaingan dari e-commerce dalam negeri dengan dari luar negeri yang bebas lalu lalang juga untuk cari pembeli di dalam negeri. Mengambil user Indonesia, tetapi dibebankan di domestik.

KONTAN: Dampak pajak ini ke pembeli?
BIMA:
Sebenarnya pajak ini kan dibebankan ke pembeli, tapi ini kan tidak kelihatan. Dan pembeli tidak usah terlalu khawatir. Penjual ini bisa mengurangi margin dan akan berjalan sesuai alami bisnis. Artinya untuk pembeli memang tidak terlalu berdampak.

KONTAN: Analisa Idea apakah jika pajak ini dikenakan bisa menurunkan transaksi?
BIMA:
Kami belum membahas sampai situ. Karena penurunan atau kenaikan akan mungkin bisa ada. Saya belum bisa berasumsi. Namun yang bisa kami sampaikan adalah ketakutan kami soal playing field itu saja.

KONTAN: BPS mau mendata soal e-commerce?
BIMA:
BPS memang sedang bekerjasama dengan Idea untuk survei seluruh transaksi. Nanti dikumpulkan BPS.

KONTAN: Tidak khawatir dengan pengumpulan data dari BPS?
BIMA:
Malah kami bekerja sama dengan BPS untuk menjaga agar data netral. Makanya kami menggandeng BPS. Semua yang mengelola BPS, kami hanya meng-endorse untuk anggota Idea.

KONTAN: Itu nanti pengumpulan data untuk seluruh anggota Idea termasuk seller yang ada di marketplace juga?
BIMA:
Iya, karena memang kami tidak punya data lengkap. Ini kan soal demografi. Jadi nanti kelihatan untuk penetrasi masing-masing anggota.

KONTAN: Potensi transaksi untuk 2017 dan tahun 2018?
BIMA:
Kami tidak punya data lengkap. Mungkin di tiap e-commerce kan sudah terlihat berapa saja peningkatan transaksi. Mungkin nanti data BPS jadi bisa kelihatan.

KONTAN: Sekarang anggota idea sudah berapa banyak?
BIMA:
Kalau ditotal semuanya ada 325 anggota. Itu termasuk yang dinamakan supporting seperti bank, perusahaan logistik dan beberapa yang lainnya. Kalau untuk e-commerce saja itu sekitar 180-an dari seluruh total anggota Idea yang ada di seluruh Indonesia.   

Biodata Bima Laga, Ketua Indonesian E-commerce Association

Riwayat pendidikan:
- Sarjana di STIA Mandala Indonesia (STIAMI)
- Tax License A&B di Indonesian Accounting Bonding

Riwayat pekerjaan:
- Head Division Communication PT Ankarya Citra Komunika
- Direktur PriceArea.com
- CFO PriceArea.com
- Ketua Bidang Kebijakan Publik Idea
- Ketua Bidang Pajak, Infrastruktur, Keamanan Siber Idea

Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi 29 Januari - 4 Februari 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Bagaimana dengan Pedagang di Medsos?"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×