kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,72   -19,77   -2.14%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dampak peningkatan harga energi


Senin, 19 Maret 2018 / 14:48 WIB
Dampak peningkatan harga energi


| Editor: Tri Adi

Tahun 2017, harga dua komoditas energi, yaitu minyak dan batubara, meningkat secara signifikan. Harga rata-rata minyak dunia (Brent) meningkat menjadi US$ 54,8 barel, meningkat 21,5% dibanding harga rata-rata 2016. Pun dengan komoditas batubara, harga rata-rata (Newcastle) 2017 mencapai US$ 88,2, naik 34,2% dibanding 2016.

Penyebabnya:  adalah kebijakan pembatasan produksi oleh negara-negara produsen utama kedua komoditas energi itu. Negara-negara penghasil minyak dunia yang tergabung di dalam OPEC sepakat memotong produksi pada tahun 2016 dan 2017. Sejauh ini kesepakatan OPEC tersebut ditaati anggota OPEC.

Sementara harga batubara naik  karena Tiongkok mengendalikan produksi batu bara domestiknya sehingga kebutuhan impor batubara China naik yang mendorong peningkatan harga.  Ke depan, kami memprediksi harga komoditas energi ini akan terkoreksi menurun pada akhir 2018 walau rata – rata, harga mungkin masih lebih tinggi dibanding2017.

Kenaikan harga kedua komoditas energi ini menciptakan problematik bagi Indonesia.Harga kedua komoditas energi ini berpengaruh atas harga BBM Premium (Ron88) dan solar, dan tarif tenaga listrik yang mekanisme arganya ditetapkan pemerintah.

Harga minyak mentah dunia mempengaruhi biaya pengadaan premium dan solar, harga batubara mempengaruhi biaya pengadaan listrik karena sebagian besar energi primer yang digunakan PLN adalah batubara.

Langkah pemerintah menyikapi kenaikan harga energi di tingkat global saat ini cenderung berbeda di banding 2014-2015. Meski harga energi di pasar global meningkat, pemerintah menyatakan tidak akan menaikan harga BBM premium dan solar maupun listrik hingga 2019. Pertanyaannya kemudian: siapa pihak yang harus menanggung selisih harga jual dengan harga keekonomian BBM dan listrik?

Kebijakan pemerintah saat ini sepertinya cenderung tidak menambah anggaran subsidi baik untuk BBM premium mau tarif listrik. Sedang solar kemungkinan masih dapat subsidi tambahan namun tak sesuai dengan peningkatan harga minyak global. Dengan demikian, Pertamina dan PLN sebagai BUMN yang mendapatkan penugasan dalam menyediakan BBM Premium dan listrik, harus menanggung biaya akibat selisih harga jual dengan harga keekonomian.

Pemerintah juga membebankan kenaikan biaya pengadaan listrik akibat kenaikan harga batu bara ke perusahaan tambang batubara. Pemerintah menetapkan peraturan yang harga jual batubara DMO (Domestik Market Obligation) sebesar 20% dari produksi tambang batubara ke PLN, dengan harga jual maksimal US$ 70 per ton.

Ini mengakibatkan perusahaan tambang batu bara juga menanggung beban biaya pengadaan listrik yang semakin mahal karena harga baru bara yang tinggi. Dengan kata lain, kebijakan ini mengakibatkan transfer surplus dari perusahaan tambang batubara ke PLN, yang berdampak penurunan laba perusahaan tambang batubara.

Menjaga harga BBM dan tarif tenaga listrik bersubsidi sepertinya jadi prioritas utama Pemerintahan Joko Widodo. Apalagi 2018 dan 2019 adalah tahun politik.  Tujuan tak menaikan harga BBM dan tarif listrik jelas untuk menjaga daya beli masyarakat agar tidak merosot.

Dampak ikutan harga energi naik yaitu kenaikan harga barang-barang lain karena peningkatan biaya transportasi. Ancaman inflasi di depan mata.

Namun, kebijakan mempertahankan harga BBM dan tarif listrik juga dampak negatif. Pertama, pemerintah harus menanggung resiko penurunan pendapatan dividen dan pendapatan pajak dari Pertamina dan PLN karena penugasan menjual produk di bawah harga keekonomian. Kedua, pajak pendapatan dan royalti dari perusahaan batubara akan menurun karena harus menjual harga di bawah harga pasar. Ketiga, karena laba perusahaan tambang batu bara turun iniberpotensi mengurangi insentif investasi di sektor batubara.

Pemerintah sepertinya tak ingin menanggung sendiri beban kenikan harga minyak dan batubara. Tapi membagi beban ke BUMN (Pertamina dan PLN) dan perusahaan batubara. Persoalan ini sangat dilematik di tahun politik. Perlu diingat: subsidi alam selalu mendistorsi konsumsi yang akan selalu jadi boros dan produksi yang akan selalu kurang. Kita tentu tak ingin mengulangi era kegelapan subsidi energi yang banyak mendistorsi pasar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×