kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dilema pangan


Senin, 15 Januari 2018 / 14:39 WIB
Dilema pangan


| Editor: Tri Adi

Permasalahan pangan menjadi hal sensitif yang sering menimbulkan pro dan kontra. Dengan jumlah penduduk menurut data Kementerian Dalam Negeri per 30 Juni 2016 mencapai 257.912.349 jiwa, jumlah mulut yang harus tercukupi di Indonesia memang sangat besar.  

Di sisi lain, jumlah produsen pangan yaitu petani terus menurun. Data BPS, sampai Februari 2017 jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian hanya 39,68 juta orang atau 31,86% jumlah penduduk bekerja Indonesia. Dari jumlah itu sebagian besar berusia tua. Itu berarti hanya ada 15,38% petani untuk memenuhi seluruh kebutuhan pangan nasional. Masalah lain, menurun catatan Kementerian Pertanian (Kemtan), terjadi penurunan lahan pertanian 100.000 ha per tahun, dengan 80% terjadi di sentra produksi pangan.

Dengan jumlah petani dan lahan garapan yang menurun, Kemtan mengklaim jumlah produksi pangan, terutama beras, terus meningkat bahkan surplus. Boleh jadi, produksi memang meningkat seiring besarnya jumlah subsidi pertanian, intensifikasi, dan industrialisasi pangan. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa dengan klaim surplus pangan, harga di pasar masih tinggi bahkan cenderung mengalami kenaikan?

Salah satu aspek yang bisa disalahkan adalah tata niaga pangan. Bisa jadi kenaikan produksi tidak diiringi tata niaga pangan yang baik. Jika produksi pangan diurusi Kemtan, urusan tata niaga pangan menjadi tanggung jawab Kementerian Perdagangan. Tata niaga penting untuk menyeimbangkan arus stok dan harga pangan antar daerah.

Selain tata niaga, kenaikan harga pangan juga bisa terjadi karena ulah oknum yang ingin mendapatkan keuntungan besar. Jika di beras, penimbunan menjadi masalah, pada gula, pembedaan gula kristal rafinasi dan gula kristal putih menjadi isu sentral. Disparitas harga yang tinggi antara gula rafinasi dan gula konsumsi membuat oknum yang bermain dalam bisnis haram itu mendapatkan keuntungan tinggi.

Bayangkan saja, dengan harga pembelian gula rafinasi antara Rp 8.000 per kilogram (kg) sampai Rp 9.000 per kg, sang oknum bisa menjual gula rafinasi tersebut ke pasar gula konsumsi dengan harga antara Rp 13.000 per kg. Margin harga yang tinggi dalam bisnis rembesan gula rafinasi ini, banyak disebut sebagai alasan mengapa kebijakan lelang gula rafinasi banyak ditentang. Apalagi dengan lelang terbuka, kesempatan untuk bermain-main dengan pajak semakin tertutup.     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×