kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Eye estimate


Senin, 15 Januari 2018 / 13:51 WIB
Eye estimate


| Editor: Tri Adi

Keputusan pemerintah impor beras  sebanyak 500.000 ton memang mengejutkan. Apalagi, pemerintah acap menyebut stok beras aman, bahkan surplus sehingga impor tak dibutuhkan.    Fakta ini lagi-lagi membuka fakta bahwa data-data negeri kita masih tetap amburadul. Klaim data-data antar kementerian yang harusnya kompak nyatanya berbeda. Padahal, kerap kali, para menteri ini melakukan rapat koordinasi. Sering "bertemu" tetap saja tak mampu membikin data-data pemerintah kredibel.

Wajar jika kemudian muncul tudingan ada menteri  yang dengan sengaja mencari aman untuk dirinya sendiri. Mengklaim menjadi pemimpin kementrian dengan cerita sukses sanggup melompati target-target yang dibebankan oleh presiden dan wakil presiden. Namun klaim keberhasilan itu abu-abu, tak bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya.

Sungguh celaka jika data-data palsu itu lantas menjadi dasar sebuah keputusan. Kesalahan data akan menelurkan kebijakan yang salah pula. Hasilnya tentu saja akan salah. Ibarat tengah sakit, obat yang keliru jelas tak akan mampu menyembuhkan sakit.

Ini pula yang terjadi di beras. Tahun 2017 lalu, pemerintah mengklaim akan terjadi surplus beras karena ada penambahan luas tanam padi ratusan ribu hektare.    

Berdasarkan angka ramalan II-2017, produksi gabah sebanyak 81,38 juta ton. Bila gabah ini dikonversi jadi beras,  pasokan beras setara lebih dari 40 juta ton, lebih besar  dibanding kebutuhan konsumsi beras yang hanya 33 juta ton di tahun 2017. Dengan surplus 7 juta ton, mestinya pasokan beras aman.

Faktanya tak seperti itu. Mulai Desember 2017, harga beras justru terus melesat, bahkan melampaui harga eceran tertinggi yang ditetapkan September Rp 9.450 per kg untuk beras medium. Minimnya pasokan menjadi penyebab kenaikan harga beras di pasaran. Bahkan, kini harga beras medium sudah menembus angka Rp 12.000 per kg.

Lantas kemana klaim surplus sebanyak 7 juta ton itu?  Pertanyaan ini harus segera dijawab pemerintah. Mengakui bahwa data pemerintah memang 'ngaco' jelas lebih baik. Memulai dengan cara melakukan penghitungan lebih cermat belum terlambat. Justru ini bisa menjadi awal yang baik bagi pemerintah.

Pemerintah sebaiknya menghentikan metode penghitungan dengan eye estimate. Yakni sebatas mengandalkan pandangan mata petugas survei. Cara ini tak akurat dan sangat  subjektif. Tak bisa cara ini dipakai dalam membuat aturan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×