kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Hantu politik di demokrasi kita


Senin, 14 Mei 2018 / 14:11 WIB
Hantu politik di demokrasi kita
ILUSTRASI.


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Menjelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, situasi politik nasional kian terpanggang api konflik. Apa yang terjadi di car free day (CFD) pada Minggu 29 April 2018, seorang ibu dan anak di kegiatan itu harus mengalami persekusi oleh sekelompok massa yang merasa berbeda secara simbol dan intensi politik, sungguh memasygulkan hati.

Setidaknya ada tiga pesan di balik peristiwa tersebut. Pertama, makin dekat musim politik, politik ambisius mulai menggerayangi ruang publik. Sebenarnya ini tak masalah jika misinya murni membangun kebersamaan, keadilan dan kemaslahatan bersama. Namun dalam praktiknya, tak jarang misi politik tersebut lebih banyak memancarkan perilaku deviatif politik yang mendekonstruksi politik sekadar sebagai politik memecah belah.

Sebuah politik pengkategorian adalah kelompok identitas politik atas nama keyakinan ideologis. Keutuhan masyarakat pun menjadi terbelah terutama karena dikontrol oleh rasionalitas elitis, bukan rasionalitas publik. Sementara kita tahu bahwa rasionalitas para elite cenderung membangun pilihan sikap dan perilakunya berdasarkan pada ego dan subjektivitas kepentingan, bukan berdasarkan pada kepentingan publik.

Apakah misalnya tagar ganti presiden 2019 benar-benar mewakili harapan masyarakat yang sesungguhnya atau sekadar bentuk kamuflase politik yang sengaja menyeret-nyeret nama rakyat? Secara artikulasi dan isi gagasan, alangkah lebih elegan dan terhormat jika tagar tersebut diganti dengan argumen-argumen evaluatif terhadap kinerja pemerintah yang didasari fakta dan data-data teruji sehingga kontra argumen benar-benar terlihat.

Namun itulah potongan politik kita yang selalu betah bermain di wilayah kulit ketimbang wilayah isinya. Politik kontestasi yang kering inspirasi yang membuat agenda politik selalu berlangsung dalam "musim panas" berkepanjangan dan membuat rakyat akan makin apatis terhadap politik. Padahal pola-pola seperti itu cepat atau lambat akan semakin mudah dideteksi nuansa pragmatismenya olah rakyat.

Kedua, fakta sosial rakyat kerap dijadikan sebagai mesin parasit oleh kelompok elite untuk membangun pengaruh dan merebut kekuasaan. Michel Serres (dalam Yasraf Piliang, Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial, 2003) mengatakan mesin parasit politik (elite dan parpol) bekerja untuk membangun politik citraan (politics images) dengan melakukan propaganda dan kritik hanya berbasis pada pelibatan emosi dan kerumunan massa rakyat. Di mana kerumunan massa yang hadir dengan pelbagai perangkat yel-yel dan aplaus dijadikan bahan bakar ampuh untuk memengaruhi dan meluluhkan sikap politik rakyat.

Dengan cara seperti itu, bukan hanya substrat kemanusiaan rakyat yang direnggut, tapi juga nilai sakral politik sebagai aktifitas moral yang tulus dan ditujukan untuk membangun peradaban yang agung didekonstruksi menjadi politik berlumuran hipokritas, persekongkolan dan konspirasi. Alih-alih menciptakan gagasan dan sistem yang berkeadilan di dalam masyarakat, keberadaan aktifitas politik malah menjadi hantu-hantu menakutkan yang menyemburkan racun paranoid dan semakin memperuncing kesenjangan sosial dan politik di dalam masyarakat.

Gaetano Mosca pernah mengatakan, perbedaan tidak hanya terbaca dalam kacamata primordialisme yang berbasis agama, kedaerahan, kekerabatan (kindship), atau disparitas struktural vertikal yang disebabkan oleh perbedaan kepemilikan kekayaan. Justru menurut saya, perbedaan yang tak kalah menakutkan yang harus diwaspadai hari ini adalah soal perbedaan sikap dan mental pada sejumlah kelompok politik yang mengarah pada cara pandang sekelompok elite dan massanya dalam memahami dan merebut kekuasaan. Ada elite dan massa yang berpandangan bahwa politik adalah instrumen untuk merebut dan mengakumulasi kekuasaan meskipun dicapai dengan menghalalkan segala cara termasuk dengan menebarkan hoaks dan memprofilerasinya ke ruang publik.

Ketiga, politik kita masih berjubah politik konflik, bukan politik akal sehat dan damai. Ted Robert Gurr (1980:75) menyitir empat karakteristik konflik politik, yaitu, pertama, melibatkan dua pihak atau lebih; kedua, para pihak saling menentang; ketiga, kedua pihak melakukan tindakan pemaksaan yang diarahkan untuk menghancurkan, melukai, merintangi atau mengontrol lawan-lawannya; keempat, interaksi saling berlawanan ini dilakukan secara eksplisit, sehingga tindakan mereka dapat dengan mudah dideteksi.

Insiden di atas menggiring pemahaman masyarakat bahwa politik selalu segaris dengan sikap menolak yang berbeda. Sayangnya politik penolakan tersebut diekspresikan melalui simbol-simbol kekerasan baik verbal maupun non-verbal. Idealnya, penolakan tersebut diekspresikan melalui debat-debat yang berbasis kekuatan argumentasi dan ide-ide yang konstruktif, mencerahkan masyarakat. Ironisnya lagi, politik hantu yang identik dengan horor dan kekerasan seperti itu harus memakan korban rakyat kecil sebagai kaum minoritas yang mestinya harus dilindungi dan dibela.

Peremajaan politik

Untuk itu, kultur politik 2018 dan 2019 harus kembali ke jalan yang benar. Kita tak ingin hanya karena politik, apalagi hanya karena kursi lima tahunan, pembangunan demokrasi kita dan soliditas bangsa menjadi terkoyak-koyak karena percikan permainan simbol-simbol agama, kesukuan dan lain sebagainya. Kita ingin ada peremajaan kultur politik dari yang niretis, nirmoral, tuna akal-sehat, dan inspiratif menjadi politik yang memberdayakan imajinasi rakyat dengan sikap dan perilaku para elite yang beradab dan humanis.

Meminjam Andrew Heywood (2002: 7-12), politik harus diasumsikan sebagai konsensus di "atas meja" (mengutamakan akal sehat, ide, gagasan kreatif dan mencerahkan dan mulia), bukan konsensus "bawah meja" yang penuh dengan penonjolan otot, siasat politik jangka pendek, yang mempertajam perbedaan sosial. Politik memang sejatinya adalah kekuasaan. Tapi kekuasaan bukan dalam konteks menimbun pengaruh, otoritas, kuasa untuk kesejahteraan individu/kelompok, namun dalam konteks produksi, distribusi sumber daya untuk kesejahteraan bersama.

Sebenarnya kalau (elite) politisi mampu menerapkan prinsip di atas, kita yakin wajah politik ke depan tidak lagi menjadi hantu yang menakutkan. Sebaliknya akan menjadi wajah politik dan demokrasi yang dewasa dan damai. Kontestasi pilkada serentak maupun pilpres akan menjadi tontonan segar yang menghibur sekaligus bergizi buat akal elite maupun seluruh rakyat Indonesia.

Umbu T.W. Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×