kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Harga optimisme


Senin, 09 Oktober 2017 / 14:00 WIB
Harga optimisme


| Editor: Tri Adi

Banyak orang tengah bimbang melihat perjalanan ekonomi Indonesia sekarang. Mereka bertanya-tanya, sebenarnya kondisi saat ini sedang bagus atau buruk, sih?

Jika menyimak sepak terjang sejumlah taipan, keraguan itu seharusnya tak ada. Ekspansi yang dinyalakan taipan Anthoni Salim, Chairul Tandjung, James Riady, keluarga Eka Tjipta Widjaja, Prajogo Pangestu maupun Arifin Panigoro, misalnya, tengah menyala-nyala.

Nyaris tak ada gambaran ekonomi Indonesia yang suram dan lesu jika melihat ekspansi mereka. Yang tampak adalah kesibukan menggelar ekspansi besar, memacu kapasitas bisnis, serta agresif membeli usaha baru.

Anthoni Salim, misalnya. Tahun ini pemilik Grup Salim itu membeli Bank Ina, masuk proyek infrastruktur bandara, hingga membeli perusahaan air bersih di Jakarta.

Dunia digital juga dimasukinya. Ia borong Elevenia dari XL Axiata, berkongsi dengan Lotte Korea membangun e-commerce, hingga berpatungan dengan Liquid Jepang untuk melahirkan usaha sistem pembayaran digital (e-payment). Di luar negeri, ia juga agresif membesarkan bisnis di Filipina dan Australia.

Seirama Anthoni, begitu pula Prajogo Pangestu. Tatkala sebagian pebisnis merasa usahanya mengerut, pemilik Grup Barito ini justru melebarkan sayap usaha. Dia beli pabrik listrik panas bumi milik Chevron Amerika Serikat senilai US$ 2,4 miliar sehingga menyandang predikat pemain panas bumi kelas dunia, serta masuk pembangkit listrik 2x1.000 MW bernilai miliaran dollar.

Si angsa bertelur emasnya, Chandra Asri Tbk, ia genjot agar merajai bisnis petrokimia. Nah, hitungan di atas kertas, periode 2015-2020, gergasi Prajogo menebar US$ 11,9 miliar setara Rp 161 triliun dan ditanam di Indonesia.

Akan halnya James Riady, ia tampil menghela megaproyek Meikarta manakala industri properti tengah mati suri. Grup Lippo berani mempertaruhkan nyaris Rp 300 triliun di Meikarta, sekalipun tak lekang dari kontroversi.

Sama beraninya Chairul Tanjung yang menyiapkan belanja US$ 1 miliar di proyek properti, hingga menambah gerai Transmart. Pendiri CT Corp itu berani gambling di dua sektor industri yang sedang dicap sunset. Baginya, properti dan ritel modern masih prospektif.

Di industri pertambangan, minyak dan gas, geliat Arifin Panigoro sulit lepas dari pandangan banyak mata. Setelah mencaplok Newmont senilai hampir US$ 3,12 miliar, konon, ia tengah merancang aksi ekspansi yang lebih besar di bidang pertambangan dan migas.

Nah, omong-omong, semahal itukah harga optimisme sehingga hanya para taipan berkantong tebal yang sanggup membelinya? Entahlah. Yang terang, anomali dan kontradiksi mewarnai perjalanan ekonomi dalam negeri.

Rapor ekonomi yang terpampang senyampang kontradiksi dengan kenyataan. Pada saat makro ekonomi Indonesia dibanjiri pujian dari lembaga dunia, industrialis dan pebisnis makin kencang mengeluh sulitnya berbisnis dan mengail laba. Suara-suara ini terdengar sumbang jika melihat pemerintah amat ekspansif di proyek infrastruktur, insentif banyak ditebar, serta serangkaian agenda deregulasi.

Repatriasi modal dan arus keluar hot money  dari bursa saham justru bertambah deras setelah Standard and Poors (S&P) menyematkan rating layak investasi (investment grade) bagi Indonesia. Upaya menarik investasi dan dana luar negeri dibayangi kontroversi regulasi pajak, perizinan, serta lambatnya deregulasi.

Tampaknya, ada sesuatu yang perlu dikoreksi segera sebelum efeknya merembet ke mana-mana. Kini kian nyaring terdengar nada minor, “Serius enggak, sih, pemerintah menarik investasi?” Itulah sumber kebimbangan.     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×