kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Industri belum melihat sertifikasi Itu penting


Rabu, 14 Maret 2018 / 16:11 WIB
Industri belum melihat sertifikasi Itu penting


Reporter: Lamgiat Siringoringo | Editor: Mesti Sinaga

Posisi Indonesia saat ini di atas Turki dan Arab Saudi dalam daftar destinasi paling ramah bagi wisatawan muslim versi Mastercard-Crescentrating GMTI 2017. Crescent Rating, lembaga pemeringkat dalam bidang perjalanan wisata, menyusun indeks ini berdasar riset komprehensif yang mengacu ke tiga kriteria.

Pertama, destinasi yang ramah dan aman bagi keluarga muslim. Kedua, fasilitas dan pelayanan yang ramah bagi muslim. Ketiga, pemasaran dan kesadaran (marketing and awareness) tentang label halal di tempat-tempat wisata.

Kementerian Pariwisata (Kemenpar) awal bulan ini menggandeng Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mengembangkan pariwisata halal di Indonesia. Mereka menggunakan GMTI sebagai acuan.

Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Endy Astiwara menyebutkan, wisatawan asing terutama asal Timur Tengah membutuhkan keyakinan bahwa tempat yang mereka datangi memang benar-benar memegang prinsip syariah.

Apalagi, data Kemenpar menunjukkan, jumlah kunjungan turis asal Timur Tengah tahun lalu menyusut jadi 208.116 orang dibanding tahun sebelumnya yang 226.664 orang.  Untuk itu, butuh sertifikasi kesesuaian syariah atawa sertifikasi syariah sebagai salah satu jaminan.

Tapi masalahnya, kesadaran pelaku bisnis pariwisata masih tidak terlalu besar untuk sertifikasi ini. Tampak jelas, sejak 2016 cuma satu pelaku bisnis pemegang sertifikat kesesuaian syariah. Tentu, ini membuat Indonesia kalah saing dengan negara lain, seperti Malaysia bahkan Thailand, dalam menjaring turis dari Timur Tengah.  

Kepada wartawan Tabloid KONTAN Lamgiat Siringoringo, Endy menceritakan betapa pentingnya sertifikasi syariah untuk mengembangkan destinasi pariwisata halal di Indonesia. Berikut nukilannya:

KONTAN: Bagaimana upaya pengembangan pariwisata halal di Indonesia?
ENDY:
Dari sisi regulasi dan standardisasi, belum bergerak jauh, masih relatif stagnan. Masalah pariwisata halal di Indonesia ada empat aspek.

Pertama, soal destinasi, ada yang alam dan buatan. Kedua, pelaku atau penyelenggara pariwisata halal, mulai agen perjalanan, pemandu wisata, hingga pekerja lainnya.

Ketiga, ada yang namanya amenitas pariwisata. Itu berbagai fasilitas di luar akomodasi yang dapat dimanfaatkan wisatawan selama berwisata di suatu destinasi. Amenitas bisa berupa rumah makan, restoran, toko cenderamata, dan fasilitas umum, seperti sarana ibadah, kesehatan, juga taman.

Dan keempat, regulasi, baik di Kementerian Pariwisata dan fatwa DSN MUI.

Saya kira, yang cukup berkembang adalah destinasi wisata, baik yang buatan maupun alam, lalu amenitas. Namun dari sisi regulasi dan standardisasi tidak bergerak lantaran kesadaran pelaku bisnis pariwisata belum bertumbuh.

KONTAN: Bentuk dari regulasi dan standardisasi?
ENDY:
Kepemilikan sertifikat kesesuaian syariah.

KONTAN: Memang, seberapa penting memiliki sertifikat kesesuaian syariah?
ENDY:
Sangat penting. Sebab, wisatawan, baik asing maupun lokal, menjadi merasa aman. Ketika bicara syariah itu apa saja dan tidak syariah itu apa saja, masyarakat perlu ada satu standar. Dan, supaya standar itu tidak beragam, perlu ada satu standar dalam rupa sertifikasi kesesuaian syariah.

Dari sisi MUI, itu cukup penting. Begitu dari sisi konsumen kan, sangat penting. Bayangkan saja, jika tidak ada standar atau malah banyak standar. Ada yang mengatakan, itu halal. Tapi, yang lain menyatakan, itu tidak halal. Makanya, MUI punya standar sendiri.

KONTAN: Wisatawan Timur Tengah sebagai target utama memang menuntut ada sertifikasi kesesuaian syariah?
ENDY:
Iya, buat mereka memang menjadi lebih nyaman. Bisa dilihat, wisatawan Timur Tengah lebih senang datang ke Malaysia dibandingkan dengan ke Indonesia.

Kenapa? Karena di Malaysia sudah melakukan proses sertifikasi itu. Sedangkan di Indonesia, banyak yang belum melihat itu penting.

Apalagi di negara kita, pelaku bisnis sudah merasa muslim. Jadi, mereka merasa, buat apa sertifikasi. Mereka tidak menggunakan barang-barang yang haram juga merasa enggak melakukan perilaku menyimpang.

Alhasil, mereka merasa sudah cukup. Memang, kalau targetnya hanya pasar domestik, itu bisa saja sudah cukup. Misalnya, di Aceh. Untuk orang Aceh, memang tidak butuh karena mereka memang sudah mengenal destinasi dan fasilitas pendukung pariwisata di daerahnya. Tapi, kalau ada turis muslim dari luar negeri, mereka, kan, melihat sertifikasi.

KONTAN: Untuk sertifikasi syariah, sebenarnya sudah ada aturannya belum?
ENDY:
Aturan sudah ada, dulu tahun 2014, keluar di era Mari Elka Pangestu masih Menteri Pariwisata. Saat itu, ada crash program ke beberapa hotel dan pelaku bisnis lainnya.

Sertifikasi dari DSN MUI tapi Kementerian Pariwisata yang menyusun standardisasinya. Saat ganti menteri ke Arief Yahya, tahun 2016 keluar aturan baru yang menghapus beleid 2014.

Di aturan yang lama, semua pelaku industri pariwisata harus punya sertifikasi halal dengan mengikuti standardisasi dari Kementerian Pariwisata. Tapi di peraturan yang baru, menjadi terserah, sertifikasi boleh, kalau tidak, ya, boleh saja. Yang berlanjut cuma satu, yakni Syariah Hotel Solo.

KONTAN: Kenapa pelaku bisnis jadi tak antusias?
ENDY:
Saya melihat, awalnya mereka cukup antusias. Kami sebenarnya menerima banyak permintaan sertifikat kesesuaian syariah. Tapi, yang memenuhi syarat cuma satu. Itu tahun 2016.

Tahun 2017 juga ada permintaan yang masuk. Namun, belum ada yang keluar sertifikatnya. Kami tunggu tahun ini, ada tidak yang masuk.

KONTAN: Tapi, kenapa di daerah banyak yang mengklaim sudah mendapatkan sertifikasi halal MUI?
ENDY:
Itu beda dengan sertifikasi kesesuaian syariah. Ini juga perlu diedukasi. Kalau sertifikasi halal untuk makanan dan lainnya yang keluar melalui Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI yang ada di daerah. Tapi, kalau sertifikasi syariah ada di MUI pusat.

KONTAN: Siapa saja yang bisa mengajukan sertifikasi kesesuaian syariah?
ENDY:
Hotel, restoran, spa, massage atau panti pijat, biro perjalanan wisata, atau apapun yang memang ada kaitannya dengan pariwisata halal.

KONTAN: Proses pengajuannya seperti apa?
ENDY:
Awalnya, mereka mengajukan ke DSN, bisa secara online juga. Lalu, ada sejumlah berkas yang perlu mereka lengkapi. Kalau ternyata ada yang kurang, kami akan minta dilengkapi.

Nah, ini yang kadang-kadang susah untuk dipenuhi oleh pemohon. Kalau sudah lengkap, kami akan melakukan survei tempat usaha. Setelah itu, baru rapat di DSN untuk mengeluarkan sertifikat.

Sebenarnya tidak terlalu susah. Sebab, jika semua syarat atau standar yang diminta sudah terpenuhi, kami akan keluarkan sertifikatnya. Jadi, kalau bicara proses, sebetulnya tidak terlalu sulit.

Hanya, saya melihat, memang kesadaran pelaku usaha belum tumbuh. Dokumen-dokumen sebagai syarat, kan, normatif. Tarifnya pun tidak terlalu mahal. Kalau dilihat dari awal, tidak memberatkan. Dan, masa berlaku sertifikat syariah ini selama tiga tahun dan bisa diperpanjang.

KONTAN: Syarat dokumen yang harus dilengkapi termasuk laporan keuangan?
ENDY:
Masalah keuangan juga kami periksa. Misalnya, rekening hanya boleh menggunakan  rekening bank syariah.

KONTAN: Pemeriksaan sampai ke, misalnya, jika ada pelaku usaha industri pariwisata yang mendapat pinjaman dari bank konvensional?
ENDY:
Itu sebenarnya juga kami teliti. Ini menjadi bahan pertimbangan. Tapi, kalau itu terjadi di masa lalu, sebenarnya masih dipertimbangkan. Intinya, kami sejatinya mempermudah, tanpa ingin memberatkan pelaku bisnis. Namun memang, industri belum melihat sertifikasi itu penting. Sehingga, belum muncul kesadaran itu.

KONTAN: Berapa lama untuk mendapat sertifikat kesesuaian syariah dari MUI?
ENDY:
Kalau lancar, semua proses itu dua bulan saja. MUI tidak ingin memberatkan. Karena kami sadar, ini harus dipermudah. Tapi, kan, tetap butuh proses. Dan, banyak yang belum sadar soal potensi dari sertifikasi syariah tersebut.

KONTAN: Perlu dukungan apa dari pemerintah?
ENDY:
Pemerintah perlu kerjasama dengan MUI terus menerus. Pekerjaan rumah bersama untuk membangkitkan kesadaran pelaku bisnis untuk sertifikasi syariah yang memang tidak mudah. Bagaimana menyakinkan itu bersama-bersama, kalau dengan sertifikasi ini bisa lebih besar lagi peluangnya.

Sama seperti di industri makanan, banyak yang merasa bahwa tanpa sertifikasi sudah bisa besar. Misalnya, makanan ringan tanpa sertifikat halal sudah banyak dibeli oleh umat muslim di Indonesia.

Karena memang, hal itu tidak terlalu diperhatikan oleh umat muslim di negara kita. Tapi, kalau ada sertifikasi, sebenarnya bisa jauh lebih banyak dan bisa juga diimpor ke luar negeri.

KONTAN: Apakah butuh insentif pemerintah juga?
ENDY:
Sebenarnya, sudah pernah ada bantuan dari pemerintah pusat dan daerah untuk program sertifikasi ini. Tapi memang, tetap belum mampu untuk bisa menaikkan minat para pelaku bisnis. Respons awalnya cukup baik, cuma  akhirnya hilang begitu saja.

KONTAN: Bukankah sebaiknya ada kewajiban pelaku bisnis untuk sertifikasi?
ENDY:
Ini perlu diskusi lebih dalam. Ujung-ujungnya, kan, perlu ada undang-undang seperti produk halal untuk mengaturnya. Di dunia saat ini memang berkembang pariwisata halal. Beberapa kota di Asia yang sudah mengembangkan wisata halal melalui perhotelan adalah Bangkok, Kuala Lumpur, bahkan Seoul dan Tokyo.

KONTAN: Negara lain sudah lebih sadar potensi ini?
ENDY:
Iya, makanya pemerintah juga perlu menaikkan kesadaran para pelaku bisnis kita untuk berkompetisi dengan negara lain. Bicara keindahan alam, Indonesia kurang apa. Tapi, turis Timur Tengah tetap berkunjung ke Malaysia lantaran merasa sudah aman.

Jakim, MUI-nya Malaysia, gencar mengeluarkan sertifikasi syariah. Bahkan Thailand yang bukan negara muslim sudah sadar hal ini. Banyak restoran dan hotel yang sudah tersertifikasi. Sebab, mereka sadar bahwa banyak muslim kaya dan sering berpergian ke luar negeri.   

KONTAN: Daerah mana yang sudah siap buat menyelenggarakan pariwisata halal?
ENDY:
Sebenarnya, banyak daerah yang berpotensi menjadi destinasi pariwisata halal. Tapi, pemerintah sudah menetapkan 10 daerah, yakni  Aceh, Sumatra Barat, Riau, dan Kepulauan Riau.

Kemudian, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Saat itu yang dipacu adalah Sumatra Barat dan Aceh. Namun kesepuluh itu memang punya potensi.

KONTAN: Peran pemerintah daerah (pemda) sejauh mana dalam mengembangkan destinasi pariwisata halal?
ENDY:
Memang pemda yang terutama perlu mendorong pariwisata halal. mereka yang punya peluang untuk mendorong dan menghadirkan peluang di destinasi pariwisata halal.

KONTAN: Untuk wisatawan Timur Tengah, mereka mengincar destinasi apa?
ENDY:
Mereka banyak mengincar wisata alam. Soalnya, mereka kurang suka dengan atraksi budaya, lebih senang melihat alam yang indah. Nah, potensi negara kita, kan, sangat banyak, ada gunung, ada pantai. Artinya, potensinya sangat besar untuk Indonesia.

Biodata Endy Astiwara, Anggota DSN Majelis Ulama Indonesia

Riwayat pendidikan:
■    Sarjana Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung
■    Master Bidang Ekonomi Syariah Universitas Negeri Jakarta
■    Doktor Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Riwayat pekerjaan:
■    Komisaris Utama Munatour
■    Direktur PT Salman Global Medika
■    Ketua Bidang Bisnis dan Wisata Majelis Ulama Indonesia
■    Anggota Tim Percepatan Pariwisata Halal Kementerian Pariwisata
■    Anggota DSN Majelis Ulama Indonesia
■     Anggota Komite Fatwa Majelis Ulama Indonesia  

** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi 19 - 25 Februari 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Industri Belum Melihat Sertifikasi Itu Penting"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×