kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Investasi di hilir migas menjadi menarik


Senin, 09 April 2018 / 17:50 WIB
Investasi di hilir migas menjadi menarik


Reporter: Lamgiat Siringoringo | Editor: Mesti Sinaga

Pemerintah memangkas proses izin pendirian stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM), Bahan Bakar Gas (BBG), dan Liquefied Petroleum Gas (LPG). Rantai birokrasi pun jadi lebih pendek.

Proses pengurusan izin pendirian SPBU semakin sederhana. Lewat Peraturan Menteri ESDM No. 13/ 2018 yang terbit akhir Februari lalu, rantai birokrasi itu semakin pendek. Dahulu, untuk sampai menunjuk penyalur BBM butuh waktu enam bulan.

Badan usaha yang berminat menjadi penyalur BBM harus menempuh proses panjang. Pertama-tama, mereka mesti mengajukan permohonan ke PT Pertamina dan menjalani proses seleksi. Kalau lolos, proses berikutnya ada di Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen) Migas Kementerian ESDM untuk mendapat Surat Keterangan Penyalur (SKP).
 

Nah, beleid yang baru menghapus kewajiban badan usaha mengantongi SKP. Menurut Kepala Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Fanshurullah Asa, peniadaan surat itu menyederhanakan proses perizinan pendirian SPBU yang kemudian bisa memacu pertumbuhan penyalur BBM hingga ke pelosok-pelosok daerah.

Selain pemangkasan izin, Permen No.13/2018 juga mengatur keberadaan sub penyalur alias pengecer BBM. Seperti apa persisnya isi peraturan menteri ESDM ini dan dampaknya? Fanshurullah menceritakannya kepada wartawan Tabloid KONTAN Lamgiat Siringoringo. Berikut nukilannya:

KONTAN: Apakah dasar pemerintah memangkas perizinan pendirian SPBU?
FANSHURULLAH:
Kementerian ESDM memang sudah menerbitkan aturan tentang kegiatan penyaluran BBM, BBG, dan LPG. Salah satu isinya, penyederhanaan proses perizinan SPBU atau penyalur.

Sebelumnya, dalam Permen ESDM No. 16/2011 tentang Kegiatan Penyaluran BBM, penyalur merupakan kepanjangan tangan Badan Usaha Pemegang izin Usaha Niaga Umum (BU PIUNU).

Ada kewajiban BU PIUNU untuk melaporkan ke menteri ESDM atau dirjen Migas untuk mendapatkan Surat Keterangan Penyalur (SKP) dari Ditjen Migas. Penyalur tidak bisa beroperasi bila belum memiliki SKP.

Nah, dalam Permen ESDM No. 13/2018, memang, tetap wajib melaporkan penunjukan penyalur kepada menteri ESDM. Tapi, menteri ESDM atau dirjen Migas tidak lagi menerbitkan SKP.

Sehingga harapannya, bisa lebih menyederhanakan pendirian penyalur di seluruh Indonesia. BU PIUNU bertanggungjawab penuh atas keberadaan penyalur.

Penghapusan SKP ini dalam rangka mengurangi mata rantai perizinan yang pada akhirnya diharapkan bisa mendukung peningkatan investasi di Indonesia.

Khususnya, investasi di bidang hilir dan pendistribusian BBM. Serta, meningkatkan peringkat kemudahan berbisnis atau ease of doing business (EoDB) Indonesia di mata internasional sebagai salah satu parameter daya tarik penanaman modal asing.

KONTAN: Kelak, bakal lebih banyak lagi SPBU berdiri di seluruh Indonesia, ya?
FANSHURULLAH:
Yang pasti, investasi atau bisnis di hilir migas akan semakin menarik. Penyederhanaan izin akan memudahkan badan usaha untuk melakukan kegiatan bisnisnya karena rantai birokrasi kini menjadi lebih pendek.

Badan usaha sudah tentu lebih senang tidak ada SKP. Tidak ada lagi pengurusan SKP dalam rantai birokrasi. Sekarang, cukup dengan surat kerjasama sudah bisa melakukan kegiatan bisnis penyaluran bahan bakar.

KONTAN: Rantai birokrasi yang lebih pendek bisa menumbuhkan SPBU yang tidak terlalu besar, dong?
FANSHURULLAH:
Sebenarnya bukan apakah SPBU itu besar atau kecil. Yang menjadi perhatian pemerintah adalah terjaminnya ketersediaan BBM bagi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah terpencil dan belum berkembang. Ini amanat Undang-Undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, persisnya adalah Pasal 8 ayat 2.

Memang, terkait besar kecilnya ukuran SPBU sangat tergantung pada keekonomian wilayah. Untuk wilayah dengan konsumsi BBM yang relatif kecil, maka selayaknya dibangun SPBU ukuran kecil sehingga pengembalian investasi bisa lebih cepat.

Makanya, pebisnis terutama lokal akan semakin melirik bisnis SPBU. Tentu saja, dengan bisa membuka SPBU lebih kecil, investasi juga lebih kecil dan pengembalian investasinya bisa lebih cepat.

Dengan begitu, investasi di hilir migas menjadi menarik. Bayangkan saja, kalau di daerah terpencil harus membuka SPBU ukuran besar, jelas membutuhkan investasi yang besar.

Belum lagi pengembalian investasinya sangat lama. Dalam Permen ESDM yang baru juga mengatur soal sub penyalur BBM. Ini untuk memperluas jaringan penyalur.

Sub penyalur dibangun oleh sekelompok masyarakat dengan modal sendiri. BBM yang disalurkan adalah Premium penugasan dan Solar bersubsidi. Kedua jenis BBM tersebut disalurkan dengan mekanisme tertutup.

Investasi membangun sub penyalur BBM jauh lebih rendah ketimbang membuat SPBU. Saat ini, sudah ada sub penyalur yang beroperasi yaitu di Selayar, Sulawesi Selatan, dan Asmat, Papua.  

KONTAN: Siapa saja yang bisa jadi sub penyalur?
FANSHURULLAH:
Yang bisa menjadi sub penyalur adalah anggota atau perwakilan masyarakat yang memiliki usaha berupa usaha dagang atau unit usaha yang dikelola badan usaha milik desa (BUMDes).

KONTAN: Apakah keberadaan sub penyalur tersebut bertujuan juga untuk menciptakan BBM satu harga?
FANSHURULLAH:
Keberadaan sub penyalur tidak bisa meredam harga yang tidak satu harga di beberapa daerah. Sebab, harga eceran BBM di sub penyalur ditambah dengan ongkos angkut yang ditetapkan pemerintah daerah (pemda) sesuai jarak sub penyalur dengan penyalur atau SPBU sebagai sumber pasokannya.

Tapi, dampak positif sub penyalur adalah lebih pada ada jaminan ketersediaan dan keterpenuhan kebutuhan BBM masyarakat pada wilayah-wilayah yang belum terdapat penyalur dan terjangkau program BBM satu harga.

Dengan pengaturan ongkos angkut yang ditetapkan pemda, diharapkan harga BBM yang diterima masyarakat lebih rendah dibandingkan dengan harga di pengecer.

Selain itu, keberadaan sub penyalur akan lebih menjamin mutu BBM yang diterima masyarakat lantaran diawasi pemda. Pada gilirannya bisa mengurangi pengecer ilegal.

KONTAN: Tapi, aturan ini bisa sia-sia kalau pemda masih menghambat perizinan juga. Apakah selama ini pemda memang sering menjadi penghalang izin SPBU?
FANSHURULLAH:
Ya, enggak lah. Perizinan memang ada juga di tangan pemda. Namun, saya yakin, kerjasama yang baik antarinstansi ditambah aturan main baru ini akan makin memangkas perizinan SPBU.

KONTAN: Sampai sekarang berapa jumlah SPBU dan berapa komposisi idealnya?
FANSHURULLAH:
Jumlah keseluruhan sampai saat ini 7.455 SPBU. Dengan perincian: 7.218 SPBU milik PT Pertamina, 142 SPBU milik PT AKR Corporindo Tbk, dan 95 SPBU milik badan usaha pemegang izin usaha niaga umum lain.

KONTAN: Apakah jumlah tersebut sudah ideal?
FANSHURULLAH:
Saat ini, belum ada aturan yang mengatur rasio ideal jumlah penyalur. Untuk itu, sedang kami susun peraturan atau petunjuk pelaksana (juklak) yang mengatur mengenai hal tersebut.

Meskipun memang, bukan hal yang mudah karena pengaturan keberadaan dan komposisi penyalur di Indonesia terkendala karakteristik geografis yang banyak terdiri dari kepulauan dan konsentrasi masyarakat kita yang tidak merata.

KONTAN: Kelak, jumlah SPBU bakal semakin banyak. Yang jadi masalah, mengapa di Jakarta dan sekitarnya bahkan di Pulau Jawa banyak SPBU yang tidak lagi menyediakan Premium?
FANSHURULLAH:
Di wilayah Jawa dan Bali memang tidak ada kewajiban Pertamina untuk menjual BBM dengan RON atau Oktan 88 alias Premium. Sebab, BPH Migas menugaskan pendistribusian Premium kepada Pertamina untuk wilayah di luar Jawa Bali.

Untuk wilayah di luar Jawa Bali, BPH Migas menugaskan Pertamina untuk mendistribusikan Premium sesuai kuota yang telah ditetapkan. Jadi, Pertamina wajib menyalurkan Premium sesuai kuota yang ada.

KONTAN: Apakah kebijakan itu tujuannya untuk meningkatkan konsumsi Pertalite, Pertamax, dan lainnya?
FANSHURULLAH:
Meskipun saat ini sedang melakukan berbagai upaya untuk melakukan penghematan subsidi BBM agar tepat sasaran dan tepat volume atau sesuai kuota, pada dasarnya pemerintah tetap menyediakan Solar subsidi dengan kuota 15,56 juta kiloliter (kl) per tahun dan Premium penugasan sebanyak 7,5 juta kl per tahun.

Di samping itu, badan usaha didorong untuk menyediakan berbagai jenis dan kualitas BBM sesuai peruntukkannya. Harapannya, pengguna mobil bisa mempunyai pilihan jenis BBM yaitu RON 88, RON 90, RON 92, RON 95, dan Solar CN 48, CN 51, CN 53.

Biodata: Fanshurullah Asa

Riwayat pendidikan:
■     S1 Teknik Universitas Tanjungpura, Pontianak
■     S2 Teknik Sipil Universitas Indonesia (UI)
■     S3 Teknik UI

Riwayat pekerjaan:
■     Dosen luar biasa Teknik Sipil UI
■     Dosen Tetap Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka), Jakarta   
■     Direktur Teknik PT Dressa Cipta Rekayasa   
■     Project Management PT Moeladi   
■     Anggota DPR Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN)    
■     Wakil Ketua Komite Infrastruktur Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia
■     Tenaga Profesional Bidang Iptek Lemhanas RI    
■     Staf Khusus Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Iptek     
■     Wakil Sekretaris Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia    
■     Komite BPH Migas    
■     Kepala BPH Migas                                                                                                   

** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi  26 Maret - 1 April 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Investasi di Hilir Migas Menjadi Menarik"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×