kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kasus narkoba dan demokrasi pilkada


Kamis, 22 Maret 2018 / 17:38 WIB
Kasus narkoba dan demokrasi pilkada


| Editor: Tri Adi

Sepertinya eliminasi narkoba di Tanah Air terus diterpa ujian besar dalam beberapa waktu belakangan ini. Meski hukuman mati, yang merupakan hukuman paling berat derajatnya, sudah diterapkan, Indonesia tetap saja masih menjadi pasar bisnis gelap internasional yang menggiurkan.

Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), perdagangan narkoba menduduki peringkat kedua setelah kejahatan pemalsuan dalam daftar bisnis hitam dengan omzet yang ditaksir senilai US$ 320 miliar pada tahun 2016. Sedangkan menurut analisis dari United Nations Office on Drugs and Crime, peredaran uang di kawasan Asia Tenggara atawa ASEAN dari bisnis narkoba sudah mencapai US$ 90 miliar atau sekitar Rp 1.100 triliun

Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN),Komjen Budi Waseso pernah mengatakan narkoba yang masuk ke Indonesia hingga berjumlah ton-tonan dengan 72 jaringan aktif. BNN mengidentifikasi ada 11 negara yang terlibat dalam rantai penyuplai narkoba ke Indonesia dengan menggunakan dua negara sebagai transit yakni Malaysia serta Singapura.

Setiap jaringan narkoba bertransaksi hingga Rp 3,6 triliun. Taruhlah keuntungan transaksi Rp 1 triliun per tahun, maka dengan asumsi 72 jaringan narkoba aktif, diperoleh keuntungan Rp 72 triliun setahun. Sungguh fantastis. Bukan saja dari segi finansial, tetapi juga risiko destruktif bagi ratusan juta rakyat Indonesia.

Data BNN (2014) mensinyalir sedikitnya 4,2 juta warga Indonesia sebagai pecandu narkoba, hampir menyamai jumlah penduduk Singapura, di mana sepertiganya adalah pelajar dan mahasiswa. Setiap hari 50 warga tewas atau setiap jam dua orang mati sia-sia. Yang lebih menakjubkan selain artis, guru besar, pejabat publik, wakil rakyat, hakim, jaksa pun masuk sebagai pecandu. Bisa dibayangkan mau jadi apa negara Indonesia ini dalam kurun waktu antara 10 tahun sampai 25 tahun ke depan? Wajar jika Presiden Joko Widodo menahbiskan Indonesia: negara darurat narkoba.

Yang tidak boleh dilupakan, bisnis zat terlarang bisa merenggut kualitas demokrasi. Dengan nilai transaksi yang fantastis, bisnis narkoba sangat potensial menjadi penyuplai dana dalam momen pesta demokrasi seperti pilkada atau pemilu. Kita tahu, pada 27 Juni 2018 nanti akan ada pilkada serentak di 171 daerah. Dengan demokrasi yang masih berbiaya tinggi, para kandidat yang akan berkontestasi dalam pilkada tentu butuh fulus banyak untuk membiayai berbagai event sosialisasi diri, membayar survei, membayar mahar pada partai politik, mengeluarkan biaya transportasi untuk mobilisasi pendukungnya, membiayai kampanye di media cetak, televisi maupun kampanye secara dialogis di tengah-tengah warga. Ini masih ditambah dengan biaya untuk mencetak poster, baliho, baju kaos, dan yang lainnya.

Tak heran bila banyak kandidat di pilkada yang mengeluhkan soal mahalnya pencalonan di pilkada. Kita mungkin masih ingat, pasangan Asmadi dan Jisman yang akhirnya batal maju sebagai calon bupati dan wakil bupati di Pilkada 2015 di Toba Samosir, Sumatera Utara karena tidak sanggup membayar mahar partai pengusungnya, di mana dua di antara partai pengusung meminta mahar Rp 1,6 miliar dan Rp 2,5 miliar.

Di pilkada serentak tahun 2018, isu mahar politik juga menerpa beberapa partai yang mengharuskan bakal calon kepala daerah menyetor sejumlah uang mahar agar bisa dicalonkan partai tersebut. Seperti Partai Gerindra yang disebut meminta Rp 40 miliar kepada La Nyalla. Ada juga PKS yang diduga meminta mahar kepada bakal calon Wali Kota Cirebon, hingga kisruh Partai Hanura karena dugaan adanya mahar politik pilkada.

Bagi kandidat yang menyanggupi nilai mahar yang tidak kecil itu bahkan menjadi pemenang di pilkada, kemungkinan besar harus melalui proses barter politik yang sarat pamrih. Misalnya munculnya donatur-donatur politik yang akan membantu memenuhi finansial kandidat tapi dengan syarat ada barter atau transaksional politik. Misalnya melahirkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan donatur tersebut. Seperti pemberian tender proyek, atau bahkan memproteksi bisnis gelap, yang merugikan rakyat lokal.

Harus bisa melawan

Salah seorang komisioner Komnas HAM di sebuah acara Seminar Nasional di Aceh: "Satu dekade perkembangan demokrasi di Aceh dan kontribusi bagi Nasional" (16/5/2016), pernah mengatakan bahwa ada indikasi kuat jaringan narkoba terlibat dalam proses demokrasi di Aceh. Menurutnya, ada pihak yang terlibat jaringan narkoba ikut mendukung kandidat tertentu baik pada pilkada maupun pemilu legislatif (pileg), seperti yang terjadi pada pilkada dan pileg sebelumnya di beberapa daerah di pantai Timur dan Utara Aceh.

Jangan-jangan para bandar narkoba kini sedang bergerilya menawarkan fulus politik kepada para kontestan pilkada berkantong cekak, dengan syarat, ketika terpilih, jangan sekali-kali mengganggu bahkan justru harus melindungi bisnis haram tersebut dari jangkauan aparat penegak hukum. Ini yang menjadi kekhawatiran.

Tak cuma itu, narkoba juga telah menjadi semacam simbol pelampiasan kekecewaan politik di pilkada. Ini seperti dilakukan mantan Bupati Bengkulu Selatan Reskan Effendi Awaluddin yang ditangkap karena merencanakan jebakan untuk bupati petahana, Dirman Mahmud, dengan menyewa orang untuk menaruh narkoba jenis sabu dan ekstasi di meja kerjanya. Reskan sakit hati karena kalah bersaing dengan suksesornya, Dirwan. Kompetisi politik berbalut kerakusan untuk berkuasa memicu kultur penghalalan segala cara, apalagi jika kompetisi didasari oleh uji tebal dompet para kandidat.

Tak ada jalan lain, pemerintah dan aparat harus melawan politik sindikat narkoba tersebut, terutama agar pembangunan demokrasi tidak jatuh kolaps serta merusak generasi waras negeri ini. Jangan cuma BNN saja yang disuruh memerangi narkoba, tapi seluruh entitas di masyarakat dengan peran masing-masing harus bersatu padu melakukan langkah preventif dan eliminasi terhadap para sindikat pengedar narkoba.

Rakyat juga harus proaktif melacak informasi, kalau ada kandidat kepala daerah yang diduga menjadikan bandar narkoba sebagai penyandang dana politiknya, sudah mesti ia tak boleh dipilih. Karena memilih politisi seperti itu dan perbuatan mengonsumsi narkoba, sama laknatnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×