kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Keluar dari Jebakan Impor Beras


Kamis, 01 April 2021 / 12:11 WIB
Keluar dari Jebakan Impor Beras
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Di tengah krisis pangan dunia karena efek pandemi Covid-19 (FAO, 2020), produksi beras nasional mengalami kenaikan dibanding tahun 2020 (BPS, 2021). Sayangnya tren peningkatan ini direspon pemerintah dengan rencana mengimpor beras sebanyak satu juta ton.

Keputusan impor beras pun menuai polemik. Menteri Perdangan Muhammad Lutfi telah mengklarifikasi kebijakan impor beras dengan Komisi VI DPR RI bahwa opsi impor untuk memenuhi cadangan beras Bulog mencapai 1 juta -1,5 juta ton sudah diputuskan sebelum dirinya menjadi Menteri. Selanjutnya Presiden Joko Widodo telah memutuskan bahwa hingga Juni 2021 impor beras tidak dilakukan.

Polemik impor seharusnya tidak perlu terjadi seandainya tidak dilakukan saat musim panen raya dan terjadi peningkatan produksi gabah kering panen periode Januari April 2021. Kebijakan impor mestinya berbasis indikator yakni jumlah produksi gabah berdasarkan data angka ramalan (ARAM) yang dipublikasikan BPS, kesesuaian jumlah stok beras di Bulog dengan kebutuhan minimal 6 bulan ke depan, dan memastikan harga rata-rata beras medium selama tiga bulan berturut-turut sebelum terjadinya lonjakan harga.

Kepanikan pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan bisa dipahami. Peringatan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) akan terjadinya krisis pangan di tengah pandemi Covid-19 bisa menjadi alasan kuat untuk mengamankan cadangan beras pemerintah. Sinyal FAO ini tentu memberi ruang membuka keran impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.

Sayangnya, jebakan beras impor kini makin kuat mencengkeram ketahanan pangan meski program nawacita yang idenya membangun dari pinggiran menjadi modal kuat untuk berdaulat di bidang pangan. Pada saat defisit ketersediaan karena terjadi bencana kekeringan berkepanjangan, masyarakat tak menafikan impor beras untuk memenuhi kebutuhan dan menghindari situasi lebih buruk.

Namun, kebijakan impor tak boleh mengabaikan keberpihakan kepada petani. Pemerintah harus dapat mengakomodasi kepentingan petani dan konsumen secara adil supaya tidak ada yang dirugikan. Tidak bisa dipungkiri bahwa di negara lain bisa dihasilkan beras dengan harga yang lebih murah daripada Indonesia, namun kita tidak boleh mengorbankan petani lokal yang harga berasnya mungkin lebih mahal. Bagi jutaan petani, beras atau padi adalah sumber kehidupan utama untuk membiayai pendidikan anak, modal usaha bertani dan untuk urusan sosial.

Meragamkan konsumsi

Potensi pangan lokal untuk meragamkan konsumsi belum dijadikan buffer untuk mengerem laju beras impor. Harga beras yang makin mahal sesungguhnya menjadi bayang-bayang menakutkan yang bisa mencederai kecukupan gizi anak bangsa.

Pengertian yang menyamakan swasembada beras dengan ketahanan pangan menjadi hal yang umum terjadi di masyarakat. Bahkan kerap diaminkan oleh para pejabat pengambil keputusan di berbagai daerah di Tanah Air.

Pemahamannya jika cadangan beras di gudang Bulog lumbung pangan modern stoknya cukup untuk tiga bulan ke depan menjadi indikator kekuatan ketahanan pangan nasional. Mitos ini terus direproduksi dari masa ke masa untuk mengamankan gejolak politik pangan nasional.

Pola konsumsi masyarakat yang berbasis pada beras telah menempatkan produk olahan padi ini tidak lagi sekedar barang ekonomi tetapi telah diposisikan sebagai komoditas politik yang memiliki dimensi sosial yang luas. Beras menjadi strategis karena dianggap sebagai makanan pokok. No rice no glory menjadi landasan politik beras murah yang digelar pemerintah dari masa ke masa. Meski konsumsi beras nasional mulai menurun dibanding lima tahun yang lalu, beras masih tetap ditempatkan sebagai komoditas terhormat.

Melihat kondisi pangan dunia yang saat ini kian defisit, setiap negara akan memprioritaskan kebijakan pangan untuk mencukupi kebutuhan negara masing-masing. Negara dengan surplus pangan tidak akan serta merta untuk melakukan ekspor, mereka akan memperkuat cadangan pangannya.

Pemerintah harus melakukan berbagai upaya untuk mempersiapkan diri menghadapi ancaman krisis pangan termasuk beras global. Masyarakat patut didorong untuk terus mengurangi ketergantungan konsumsi pada beras yang saat ini harganya kian mahal. Dengan perkiraan alih fungsi lahan yang kian cepat dan perubahan iklim yang kian masif menjadi faktor penyebab turunnya produksi dan harga beras akan naik secara signifikan.

Lantas apa yang bisa dilakukan untuk bisa keluar dari jebakan impor beras? Kebijakan diversifikasi konsumsi pangan patut dikaji ulang. Meragamkan konsumsi adalah sebuah upaya yang merujuk pada kesadaran dan sudut pandang fisiologis gizi. Manusia untuk dapat hidup aktif, produktif, dan sehat memerlukan tidak kurang dari 40 jenis zat gizi yang terdapat pada berbagai jenis makanan.

Seiring dengan itu program diversifikasi konsumsi pangan non beras berbasis sumber daya lokal menjadi sangat penting untuk dilakukan agar tidak terjadi ketergantungan yang amat tinggi pada satu jenis pangan saja. Meski Indonesia dikenal memiliki beragam makanan pokok dalam artian beras dan terigu memang bukan makanan utama namun miskinnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan kurangnya SDM bermutu di bidang teknologi pangan non-beras berbasis sumber daya lokal menjadi penyebab lambatnya percepatan diversifikasi konsumsi pangan.

Sekedar menyebut contoh, di kampung Cireundeu di Cimahi, Jawa Barat, sekitar 500 keluarga mengonsumsi ampas singkong. Tampak aneh, bagaimana itu bisa terjadi! Mereka sehat, berumur panjang dan anak balitanya bergizi baik. Ternyata mereka mengolah onggok singkong dengan cara cerdas. Onggok singkong diolah bersama dengan beragam bahan pangan lainnya, seperti kacang-kacangan dan daun singkong.

Di beberapa daerah seperti di Jawa Tengah dan Timur, tiwul dikenal sebagai makanan pokok. Warga Sumatra Utara memiliki budaya manggadong (makan ubi rebus). Masyarakat Nusa Tenggara Timur dan Madura biasa makan jagung dan pisang. Penduduk di Papua dan Maluku, Maluku Utara makanan pokoknya sagu dan umbi-umbian lokal. Jika berbagai makanan pokok ini dicampur dengan sup ikan yang secara lokal mudah didapat, rasanya sangat enak dan bergizi.

Mengonsumsi pangan lokal non beras ternyata merupakan budaya makan masyarakat di sejumlah daerah yang harus digali kembali untuk membawa bangsa Indonesia keluar dari jebakan impor beras. Semoga!

Penulis : Posman Sibuea

Guru Besar Ilmu Pangan Unika Santo Thomas, Medan, Sumatera Utara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×