kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kemudahan berbisnis di era digital


Senin, 02 April 2018 / 16:27 WIB
Kemudahan berbisnis di era digital


| Editor: Tri Adi

Indonesia mengalami kemajuan pesat dalam peringkat kemudahan berbisnis selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dari  semula berada di peringkat 120 pada tahun 2014 langsung menjadi posisi ke  72 pada tahun 2017.  Peringkat yang dikeluarkan Bank Dunia tersebut merupakan capaian yang dianggap membanggakan oleh rezim saat ini karena, setidaknya sejak 2008, peringkat Indonesia selalu berkutat di sekitar angka 120 saja.

Selain itu, capaian tersebut juga dianggap sebagai berhasilnya deregulasi untuk mengundang investasi di Indonesia. Artinya, pemerintah dianggap telah melakukan progres signifikan dalam mengurangi hambatan bagi para investor untuk berbisnis dan memberikan insentif untuk pembangunan ekonomi domestik.

Namun, peningkatan peringkat kemudahan berbisnis tersebut tidak lah cukup untuk bisa mendongkrak investasi. Saat ini, peringkat kemudahan berbisnis Indonesia masih berada di bawah rata-rata peringkat negara-negara Asia Timur dan Asia Pasifik yang berada pada angka 62,7.

Itu berarti bahwa kemudahan berbisnis di Indonesia belum cukup sejajar dengan negara sekawasan tersebut pada umumnya. Itu juga berarti bahwa  masih banyak pekerjaan rumah yang menanti untuk menciptakan lingkungan bisnis yang mendukung pertumbuhan ekonomi bagi negara kita.

Tak hanya itu, kenaikan peringkat dari 120 ke 72 yang dialami Indonesia juga sebenarnya patut dipertanyakan. Pertengahan Januari 2018 lalu, Chief Economist Bank Dunia Paul Romer mengakui adanya penilaian yang tidak adil dalam pemeringkatan kemudahan berbisnis.

Korban utama dari adanya politisasi metodologi penilaian kemudahan berbisnis adalah negara Chili. Peringkat kemudahan berbisnis Chili naik saat Sebastian Pinera, Presiden dari kubu konservatif, memimpin dan peringkat tersebut turun saat Michelle Bachelet, Presiden dari kubu sosialis, memimpin. Ada dugaan kuat metodologi yang dibangun bisa dimanipulasi untuk kepentingan politik tertentu.

Posisi negara-negara lain juga mengalami perubahan saat adanya perubahan metodologi penilaian di masa Paul Romer. Bahkan, Martin Rovellier, mantan Direktur Riset Bank Dunia, menyatakan bahwa penilaian kemudahan berbisnis yang dapat dipercaya hanya 10% teratas dan terbawah. Artinya, Indonesia patut mawas diri dan mudah tinggi hati karena bisa jadi kenaikan peringkat yang signifikan dalam tiga tahun terakhir ini sejatinya justru tidak mencerminkan lingkungan bisnis yang sebenarnya.

Era digital

Apabila Indonesia ingin serius mengatasi persoalan kemudahan berbisnis, cara yang dapat ditempuh di era revolusi industri 4.0 adalah dengan menggunakan teknologi digital. Teknologi semacam blockchain, internet of things, dan kecerdasan buatan atawa artificial intelligence digadang-gadang akan semakin memudahkan proses bisnis kedepan. Contoh tersohor untuk hal ini bisa didapatkan dari negara Estonia.

Estonia, sebuah negara kecil di kawasan Eropa Timur, merupakan satu dari lima negara terdepan, termasuk dalam D-5, dalam kemampuan digital. Disana, 99% pelayanan publik dapat dilakukan secara online setiap hari dalam 24 jam.

Hanya urusan pernikahan, perceraian, dan transaksi rumah yang dilaksanakan secara tatap muka. Itu berarti bahwa semua urusan berbisnis dilakukan secara online dapat dilakukan dengan mudah setiap waktu. Terbukti, negara yang jarang didengar dalam geopolitik dunia ini menempati urutan 12 dari 190 negara dalam peringkat kemudahan berbisnis.

Ada empat prinsip tata kelola secara digital yang diterapkan di Estonia sehingga bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia.

Pertama, pengumpulan dan pengelolaan data berada pada satu pintu. Dalam hal berbisnis, itu berarti bahwa para pengusaha cukup sekali menyetorkan data terkait investasinya kepada satu institusi. Di Indonesia, kondisi seperti ini belum terjadi, meski usaha yang dilakukan oleh pemerintah sedang menuju ke arah sana melalui Peraturan Pemerintah nomor 91 tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha. Artinya, dalam hal ini Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah menanti.

Prinsip kedua adalah selalu mengisi dan mengarsipkan berbagai dokumen secara elektronik sekaligus secara terus menerus berusaha mengotomatisasi pelayanan publik.

Dengan demikian, pengusaha yang ingin berinvestasi di Estonia dapat dengan mudah memasukkan, memeriksa, dan memverifikasi berbagai kepentingan usahanya cukup melalui layar perangkat elektroniknya. Digitalisasi dokumen seperti ini penting untuk dilakukan di Indonesia agar semakin memudahkan keseluruhan proses berbisnis.

Prinsip ketiga adalah penggunaan teknologi blockchain untuk kebutuhan pencatatan, pertukaran, dan komunikasi berbagai data, termasuk data bisnis. Dengan teknologi ini, data yang sudah masuk ke dalam blockchain tidak dapat dimanipulasi oleh siapapun. Termasuk oleh para hacker, petugas administrasi, maupun pejabat pemerintahan itu sendiri. Saat ini, masih belum banyak masyarakat Indonesia yang menggunakan teknologi masa depan ini, termasuk pemerintah Indonesia.

Prinsip terakhir adalah pemanfaatan infrastruktur digital sebagai platform terbuka. Jadi, setiap institusi, baik sektor publik maupun sektor swasta, bisa menggunakan infrastruktur tersebut kapanpun dan dimanapun untuk saling bertukar informasi bisnis.

Satu hal yang perlu dicatat adalah semua elemen dalam sistem tersebut bisa saling bertukar data secara aman dan bekerja dengan baik secara bersamaan satu sama lain. Bila ini terjadi, tentu akan memudahkan para investor yang ingin berbisnis di Indonesia.

Dari keempat prinsip tersebut, harus kita akui bahwa Indonesia masih harus bekerja ekstra keras untuk membenahi kemudahan berbisnis dengan memanfaatkan teknologi digital. Melihat kendala yang ada, pemerintah, ke depannya, harus lebih banyak lagi  berinvestasi untuk menghadirkan infrastruktur digital yang baik. Langkah lain yang tidak kalah penting adalah membangun sumber daya manusia (SDM) dengan tingkat literasi digital yang tinggi sehingga ekosistem bisnis benar-benar kondusif bagi kemudahan berbisnis.                                      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×