kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kenapa harus berobat ke Penang?


Senin, 04 Desember 2017 / 13:48 WIB
Kenapa harus berobat ke Penang?


| Editor: Tri Adi

Judul tulisan di atas  semestinya adalah tidak harus ke Penang, Malaysia tapi pergi keluar negeri seperti pada umumnya yang terjadi.  Ini untuk menyoroti semangat yang berkembang di sebagian anggota masyarakat belakangan ini, yang merasa lebih “maknyus” kalau sudah berobat ke negara lain. Ketimbang berobat atau bertandang ke rumahsakit yang ada di Tanah Air.

Kalau diperhatikan, kebiasaan sebagian orang Indonesia tersebut sudah berlangsung sejak dulu. Misalnya, berobat ke negara tetangga terdekat, yakni  Singapura. Ini terutama terjadi di kalangan orang-orang kaya dan pejabat dari ibukota.

Pantas disayangkan, meskipun pelayanan kesehatan di dalam negeri saat ini sudah relatif sama dengan luar negeri, toh semangat warga Indonesia berobat ke luar negeri masih tetap tinggi. Yang terjadi sekarang hanyalah pergeseran kelas strata sosial warga yang berobat ke luar negeri. Kalau dulu, cuma kalangan atas  yang berobat ke luar negeri, tapi kini justru menyebar ke kalangan kelas menengah.

Nah, selain Singapura, yang menjadi tempat populer lain untuk berobat dan memelihara kesehatan adalah Penang, di semenanjung Malaysia. Terutama bagi sebagian besar penduduk yang bermukim di Pulau Sumatra.

Di kalangan masyarakat Medan dan sekitarnya, berobat ke Penang sudah menjadi semacam “mode”. Menjadi tolok ukur. Belum terasa lengkap kalau belum berobat ke Penang. Baru-baru ini, seorang anggota keluarga saya dibawa berobat ke Penang. Tapi, karena dia sudah kena kanker stadium tinggi, akhirnya meninggal juga. Dengan membawanya ke Penang, keluarga meras segala upaya perobatan telah dilakukan secara maksimal.

Berobat ke luar negeri, seperti ke Penang, lazim terjadi di semua lapisan masyarakat kita. Termasuk di kalangan keluarga terdidik (termasuk dibidang kedokteran) dan kalangan pejabat.

Seorang teman saya yang menjadi petinggi di Universitas Sumatera Utara (USU) juga secara rutin memelihara kesehatannya di Penang. Padahal, saat ini, beragam jenis pelayanan kesehatan bisa ditemukan di Medan. Fakultas Kedokteran USU saja sudah berusia puluhan tahun, dan bidang keahlian kedokteran pun tentu sudah cukup lengkap di situ. Sebuah rumahsakit modern, malah berdiri di kampus USU, yang sepenuhnya dikelola para ahli.

Beberapa hari lalu, muncul berita di koran lokal bahwa Wakil Walikota Medan juga berobat ke Penang. Bahkan dengan kecap promosi. Padahal selain RS USU di atas, Medan memiliki banyak rumahsakit penting lainnya. Di antaranya RS Adam Malik, RS Pirngadi, juga rumahsakit lain yang merupakan jaringan rumahsakit luar negeri.

Mengapa harus berobat sampai ke Malaysia, khususnya Penang? Rupanya proses mendiagnosa penyakit di Penang bisa berlangsung lebih cepat dan tepat. Layanannya pun begitu  profesional dan ramah terhadap para pasien. Dan yang tak kalah penting, ternyata biayanya pun masih relatif murah.

Bayangkan, calon pasien bisa dijemput di bandara setempat. Kondisi ini membuat jumlah pasien yang berobat ke sana bertambah.  Promosi itu tampaknya tak mempersoalkan keahlian. Karena soal soal keahlian, tampaknya kini sudah merata, begitu pula dengan penggunaan alat-alat kedokteran modern.

Berobat plus wisata

Dalam hal keahlian, saya yakin kita tidak bakalan kalah dengan Penang (dan Malaysia pada umumnya). Karena saya masih ingat dulu negeri kitalah yang mengirim guru-guru mengajar di negeri jiran Malaysia. Para pelajar Malaysia juga banyak yang belajar di Indonesia. Mahasiswa Malaysia dulu banyak sekali yang belajar di Indonesia. Beberapa di antaranya kuliah di Fakultas Kedokteran USU. Baru baru ini saya juga saya masih melihat mahasiswa kedokteran dari Malaysia belajar di kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Bandung. Artinya, soal keahliannya, jelas, kita tidak kurang.

Kalau soal keramahan, agaknya menarik diperdebatkan. Para dokter di negeri kita sebagian suka cemberut. Mungkin saja karena dokter tersebut di dera kesibukan. Karena terlalu banyak melayani pasien di berbagai pelayanan kesehatan. Sebagian dokter juga seolah tak kenal istirahat, terutama yang sudah ahli dan dibutuhkan serta disenangi pasien.

Faktor birokrasi juga agaknya perlu menjadi perhatian. Rumahsakit (dan dokter) di negara tetangga tidak mempersoalkan hasil laboratorium swasta. Berbeda dengan di tanah air. Hasil laboratorium sesama rumahsakit pemerintah saja acap tidak diakui sehingga perlu pemeriksaan ulang.

Nah, kini soal biaya murah, tentulah relatif. Dibanding berobat ke Singapura, berobat ke Penang mungkin akan sedikit lebih murah. Tapi tidak jauh bedanya dengan di Indonesia.  Namun itupun karena biaya lainnya seolah diabaikan. Misalnya, biaya penerbangan. Penerbangan rute pesawat Medan-Penang hanya sejam, sementara Medan-Jakarta mencapai dua jam. Tapi kalau berobat di Medan saja, tentu tak perlu keluar biaya tiket pesawat. Begitu juga dengan biaya penginapan, yang besarnya berkisar antara ratusan sampai jutaan rupiah, tergantung jenis hotelnya.

Kini tersedia pula paket perjalanan ke Penang  yang menggabungkan biaya tiket pesawat dan hotel. Harganya mulai Rp 500.000 sampai Rp 2,5 juta dengan penerbangan Singapore Airlines (SIA). Tapi memang keunggulannya tentu juga ada. "Sekaligus wisata," kata teman saya. Meski sebenarnya wisata di Penang juga terbatas. Kulinernya (yang perpaduan Melayu, China, dan Eropa) juga tak terlalu istimewa. Durian canee yang terkenal di Malaysia, harganya tak terlalu jauh dengan di Indonesia

Tentu saja jangan dikaitkan dengan istilah “luar negeri”nya. Karena ada juga yang memberi catatan perjalanan ke luar negeri  terasa lebih wah dibanding di dalam negeri. Bahkan ada yang bangga dengan penggunaan paspor.

Jangan heran, jika pengunjung ke Penang, terutama yang berobat ke Island Hospital, Pantai Hospital, Sanway, Gleneagles, dan lainnya, tidak kurang dari satu juta orang dalam setahun. Sepanjang tahun 2016, sebanyak 500.000 di antaranya datang dari Indonesia. Kalau dipukul rata setiap orang menghabiskan Rp 1 juta rupiah, maka tidak kurang dari Rp 1,5 triliun yang kita habiskan untuk berobat ke sana.

Kenapa dana itu tidak kita gunakan untuk mengembangkan wisata dan  memajukan dunia pengobatan dan kedokteran di dalam negeri? Wahai pejabat, berilah contoh mencintai hasil kerja keras bangsa Indonesia.               

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×