kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kongkalikong penguasa dan pengusaha


Jumat, 03 November 2017 / 16:42 WIB
Kongkalikong penguasa dan pengusaha


| Editor: Tri Adi

Beragam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebagai wakil negara hingga kini masih menunjukkan ketidakberpihakan kepada rakyat. Tindakan, pilihan, strategi, atau keputusan terkait ekonomi yang seharusnya untuk kebaikan bersama, kini telah disalahgunakan untuk kesejahteraan segelintir orang. Sehingga, kebijakan tersebut menjadi remeh-temeh, tidak memprioritaskan kepentingan rakyat.

Kongkalikong antara pelaku ekonomi dan aktor politik serta penguasa tak luput telah melahirkan tatanan ekonomi yang hanya menguntungkan kepentingan diri dan kelompok, tanpa memperdulikan kepentingan rakyat banyak. Inilah banalitas kebijakan ekonomi yang masih mengganggu kemajuan bangsa Indonesia yang musti mendapat perhatian serius dari kita semua.   

Contoh kebijakan ekonomi pemerintah yang lebih menguntungkan pengusaha dan merugikan rakyat banyak bisa dilihat dari hasil penelitian Donny Tjahja Rimba dalam bentuk disertasi berjudul “Hubungan Negara dan Pengusaha di Era Reformasi. Studi Kasus: Bisnis Grup Bakrie (2004-2012)”. Dia mengatakan, kelompok Bisnis Bakrie dibuktikan telah mempengaruhi kebijakan negara setidaknya dalam dua kasus. Pertama, persoalan divestasi saham Newmont. Kasus kedua, bencana  lumpur Lapindo.

Pada kasus pertama, pengusaha mempergunakan pemerintah daerah sebagai instrumen kekuasaan untuk membeli saham divestasi dengan harga yang lebih murah dibanding dengan harga pasar dan mendapat hak pertama untuk membeli.

Pada kasus kedua, pemerintah daerah melepaskan tanggung jawab dalam menangani dampak bencana pada pemerintah pusat. Pengusaha mempergunakan instrumen politik negara melalui kebijakan Presiden berupa Keppres dan Perpes agar melakukan kebijakan yang tidak merugikan pengusaha. Dan pembenaran atas kebijakan Presiden ini dikuatkan oleh DPR, pengadilan, hingga kepolisian.

Menurut saya, proses pengambilan keputusan negara hingga kini masih menjadi permainan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta pengusaha. Proyek-proyek siluman yang melibatkan anggota DPR dan pemilik perusahaan besar yang belakangan ini banyak disorot media massa adalah satu contoh. Dalam kondisi tersebut, hubungan negara dan pengusaha lebih mementingkan bisnis, ketimbang kepentingan rakyat. Akibat fatalnya, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tidak terurus.  

Tampaknya, reformasi politik yang digelorakan anak-anak bangsa beberapa tahun yang lalu, belum menghadirkan reformasi ekonomi yang berkeadilan bagi semua kalangan dan pihak. Pengerukan sumber-sumber daya ekonomi, misalnya pertambangan minyak dan gas (migas) oleh pelaku bisnis atau investor asing kini semakin menyebabkan kerusakan lingkungan terjadi konflik sosial. Ini semakin sempurna manakala para penguasa negeri ini ikut “mengamini” dengan memberikan keistimewaan berupa peraturan atau undang-undang. Di sinilah kita menyaksikan absennya negara dalam upaya mensejahterahkan rakyat.  

Persoalan hubungan pengusaha dan penguasa yang tidak banyak menguntungkan masyarakat kecil ini sebenarnya sudah diawali sejak era Orde Baru. Penguasa sedemikian rupa mengondisikan jejaring kekuasaan (the web of power) menjadi tempat bergantung kalangan pengusaha. Dan pada kenyataannya, di era reformasi justru relasi itu semakin lengket, mesra, dan semakin mengakar.

Padahal, perkawinan antara pengusaha dan penguasa akan melahirkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung berpihak pada pengusaha. Pengusaha akan mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah. Bahkan, mereka rela mengeluarkan dana besar untuk mempengaruhi penyusunan kebijakan agar kepentingan mereka terakomodasi dengan modus-modus yang canggih, bahkan bisa menjurus manipulatif.

Perlu peran para pemuda

Relasi pengusaha dan penguasa ini tidak hanya mempengaruhi penyusunan kebijakan secara nasional, tetapi juga lokal. Dan tak jarang, ini memunculkan produk kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat.

Dengan dalih balas budi, seorang penguasa yang “didanai” oleh pengusaha, akan cenderung memprioritaskan kepentingan-kepentingan pengusaha, ketimbang kepentingan rakyat yang seharusnya lebih diutamakan. Akibatnya, tugas dan fungsi utama sebagai penguasa, yakni mensejahterahkan rakyat, bisa menjadi terabaikan.

Ketika kekuasaan tidak lagi dipakai untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk pribadi atau kelompok pengusaha, maka tidak ada lagi peluang untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  Yang kaya semakin kaya, yang miskin tambah melarat.  Jalinan kerjasama antara pengusaha dan penguasa juga melahirkan berlangsungnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di negeri tercinta ini.  Apakah akibat buruk hubungan antara penguasa dan pengusaha ini sudah direnungkan baik-baik oleh orang nomor satu di negeri ini?

Oleh karena itu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di negeri ini harus selalu bersikap kritis terhadap segala bentuk kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah. Masyarakat perlu ikut mengkaji, menelaah, dan mengawasi secara menyeluruh dampak-dampak dari kebijakan tersebut. Kita harus membaca secara cerdas sepak terjang dan wacana yang digulirkan penguasa dan pengusaha berkenaan dengan sumber-sumber ekonomi Indonesia. Kita semua harus ingat bahwa semua kekayaan yang ada di bumi Indonesia, termasuk kekayaan ekonomi, adalah milik seluruh rakyat Indonesia, bukan milik penguasa atau pelaku ekonomi tertentu.

Di sinilah peranan pemuda menjadi sangat penting sebagai penerus generasi bangsa. Jiwa dan pikiran anak-anak muda bangsa harus terus-menerus dipupuk dengan sikap nasionalisme. Anak-anak muda perlu punya pemikiran bahwa segala sumber daya yang dimiliki bangsa ini perlu dikelola dan dimiliki secara mandiri. Kita harus berdaulat dalam ekonomi. Penjajahan ekonomi, baik oleh asing maupun orang kita sendiri, harus dihapuskan. Pertanyaan besar yang bisa kita munculkan adalah: mungkinkah kesejahteraan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia bisa tercapai di masa kini dan mendatang kalau kita dan pemuda-pemuda masih suka menggunakan produk luar negeri ketimbang produk dalam negeri?      

Intinya, segala bentuk kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah (politik) harus berdasarkan kerakyatan, kekeluargaan, dan gotong royong. Negara harus tunduk pada ideologi Pancasila dan semangat UUD Dasar 1945, bukan ideologi kapitalis atau neoliberal itu. Dan, para pemuda harus punya daya lawan pada segala bentuk ideologi ekonomi yang bertentangan dengan ideologi ekonomi Pancasila.                    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×