kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Krisis dan punggawa penjaganya


Senin, 12 Maret 2018 / 12:53 WIB
Krisis dan punggawa penjaganya


| Editor: Tri Adi

Sebelum krisis moneter yang maha dahsyat menghantam Indonesia di tahun 1997, tak banyak orang yang percaya negeri ini bisa terpuruk sangat parah. Pertumbuhan ekonomi anjlok dari 7%-8% menjadi 4,7%,  terus melorot sampai -13% di tahun 1998. Inflasi pun membengkak dengan cepat, puncaknya di akhir 1998 mencapai kisaran 70%-80%.   

Banyak perusahaan termasuk bank-bank bertumbangan, sehingga akhirnya pemerintah harus menalangi kewajiban mereka supaya tidak jadi mati dan membuat krisis makin buruk. Akibatnya, utang pemerintah membengkak begitu besar hanya gara-gara menalangi utang tersebut.

Beberapa tahun setelah krisis, anggaran belanja pemerintah lebih banyak untuk membayar utang tersebut. Bahkan masih ada sekitar 5 seri obligasi rekapitalisasi atau surat utang pemerintah yang diterbitkan khusus untuk menalangi perbankan waktu krismon, belum jatuh tempo sampai saat ini.

Walau krisis begitu dahsyat, semuanya dipicu oleh satu hal saja, yaitu melorotnya nilai tukar rupiah. Banyak industri di sektor riil bertumbangan karena utang dolar atau tak mampu berproduksi lagi karena kesulitan mendapatkan bahan baku. Infrastruktur industri kita memang masih lemah, sehingga banyak industri harus mengimpor kebutuhan bahan bakunya. Akibatnya, saat nilai dollar Amerika Serikat (AS) melonjak, harga bahan pun ikutan melonjak.

Krisis yang menghantam Indonesia di tahun 1997  itu memang jadi semakin dahsyat karena sendi perekonomian negeri ini sudah dipenuhi korupsi, kartel, dan nepotisme. Kenaikan nilai dollar AS seperti guliran bola es yang cukup untuk melumpuhkan banyak industri negeri ini.

Sekarang banyak orang khawatir melihat berbagai aksi Presiden Amerika untuk menjadi bangsa yang besar lagi. Bisa dilihat dari rencana kenaikan suku bunga The Fed, bank sentral Amerika yang makin agresif. Belum lagi kebijakan Trump mencoba membentengi industri baja dan aluminiumnya tak mustahil memicu perang dagang dunia.

Semua hal ini dikhawatirkan akan memicu pelemahan semua mata uang dunia, termasuk rupiah terhadap dollar  AS. Artinya, kita harus bersiap-siap suatu saat rupiah kembali melemah. Walau tentu seperti biasanya, tidak ada kejadian yang berlangsung dengan persamaan sederhana.

Apakah kita akan kembali jatuh dalam krisis? (Semoga) tak ada seorang pun di negeri ini yang berbahagia melihat krisis kembali melanda. Tapi siapa yang bisa memastikan? Jawabannya, sangat tergantung dari kemampuan “para punggawa penjaga” rupiah. Bukan hanya Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan yang menjadi penjaga “pintu gerbang” rupiah, tapi juga beberapa lembaga lain yang memastikan sektor riil kita bisa berjalan dengan baik.   

Semua orang tahu salah satu cara untuk menjinakkan dollar AS adalah membangun industri yang sehat. Industri yang mampu memproduksi dengan bahan baku dalam negeri. Industri yang tak sekadar menjual komoditi, tapi juga mampu memproses  produk jadi untuk ekspor. Sebagai eksportir, para pengusaha bahkan akan bisa menikmati penguatan dollar sebagai keuntungan daya saing mereka.

Tapi sayangnya, dua dekade pemerintahan negeri ini belum banyak membenahi sektor riil. Sistem kartel masih terus banyak menggerogoti. Komisi Pengawas Persaingan Usaha, punggawa utama untuk usaha yang berkeadilan, bahkan sempat dibekukan karena habis masa bakti anggota komisinya.

Semoga kita semua bisa sadar melihat ancaman yang lebih besar dan mau bahu membahu membangun industri yang lebih baik. Bukan hanya membangun industri penghasil hoax. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×