kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Melihat politik predator birokrasi


Selasa, 20 Februari 2018 / 13:23 WIB
Melihat politik predator birokrasi


| Editor: Tri Adi

Fantastis. Belum genap dua bulan tahun 2018, sudah delapan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Mereka adalah Bupati Hulu Sungai Tengah, Bupati Kebumen Mohammad Yahya Fuad, Bupati Jombang Nyono Suharli, Bupati Ngada Marianus Sae, Bupati Halmahera Timur Rudi Erawan, Bupati Subang Imas Aryumningsih dan terakhir Bupati Lampung Tengah Mustafa. Mereka terlibat berbagai kasus mulai dari menerima suap proyek dan pemberian gratifikasi terkait sejumlah proyek yang menggunakan APBD, menerima suap perizinan hingga jual beli jabatan.

Nampaknya perjuangan mensterilkan pemerintahan daerah dari laku manipulatif dan koruptif penuh jalan terjal. Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah merilis data, sepanjang 2015, kasus rasuah yang masuk tahap penyidikan sebanyak 550 kasus, dengan total kerugian negara sebesar Rp 3,1 triliun. Korupsi paling besar terjadi di sektor keuangan daerah, yakni sebanyak 105 kasus dengan kerugian negara Rp 385,5 miliar, atau lebih 10% dari total kerugian negara sepanjang tahun lalu.

Etos buruk pemerintahan memang masih menjadi penyebab arkaik, kenapa perilaku korupsi khususnya di daerah terus menjamur. Dalam buku Aristoteles “Ethique and Nicomaque” kata etos selain berarti kualitas atau sifat, juga berarti kebiasaan, cara berperilaku yang memberikan ciri khas kepemilikan seseorang terhadap kelompok. Hasrat serakah, tak pernah puas dengan yang ada, membuat para pemimpin lupa diri dan menerabas pagar moral.

Kasus jual beli jabatan seperti yang menimpa Bupati Jombang Nyono Suharli bukan fenomena asing di daerah. Nyono menerima suap untuk mengangkat Inna Sulestyowati menjadi Kepala Dinas Kesehatan definitif. Studi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menemukan bahwa praktik jual-beli jabatan selama setahun diperkirakan mencapai Rp 150 triliun. 516 daerah, 34 kabupaten, 34 kementerian dan 30 lembaga tidak luput dari praktik kotor tersebut.

Tak heran, menurut data ICW mengenai tren pemberantasan korupsi dari 2004-2016, birokrasi menempati urutan pertama modus korupsi. Yang terbanyak ditindak pada 2015 terkait kasus korupsi adalah pejabat baik pegawai pemda atau kementerian, yakni sebanyak 379 orang, kepala dinas sebanyak 48 orang, serta kepala desa, camat dan lurah sebanyak 25 orang.

Praktik jual beli jabatan di tubuh birokrasi telah mempredasi sumber daya birokrasi. Birokrasi kemudian hanya menjadi beban negara karena struktur, norma dan nilai yang ada dalam dirinya berorientasi pada pemenuhan kepentingan penguasa ketimbang pemenuhan hak sipil dari warga negara.

Predator birokrasi

Ini pula yang dikhawatirkan Harrold J. Laski dalam karyanya “Birokrasi” (1930). Ia resah pada keadaan birokrasi saat itu yang makin leluasa mengawasi dirinya sendiri tanpa kontrol rakyat. Bahkan parlemen hingga komisi yudisial pun tak mampu mengawasi birokrasi (departemen), sehingga yang terjadi, birokrasi makin tertutup dan konservatif (1977:199), sama seperti saat ini.

Birokrasi bukan saja gagal mengikuti arus kebutuhan dan kepentingan rakyat yang kian terbuka. Namun sudah terpolitisasi secara eksesif untuk memproduksi agenda-agenda parsial dengan pelbagai komersialisasi jabatan yang masif dan sistemik. Sehingga birokrasi terperangkap dalam monocentricity (pemusatan kekuasaan pada satu pusat tertentu) yakni penguasa (kepala daerah) yang dilingkari oleh “orang-orang”-nya (tim sukses, famili, orang dekat, pengusaha, dan lainnya) (Mindarti, 2007).

Padahal sentralisasi kekuasaan yang berada di tingkat hierarkis atas akan semakin menekan posisi hierarki bawah birokrasi sehingga birokrasi tidak memiliki semangat responsif untuk melayani kepentingan rakyat. Alih-alih menjadikan birokrasi sebagai lahan empuk melayani rakyat, para kepala daerah kerap menjadi predator birokrasi.

Harus diakui, maraknya jual-beli jabatan di birokrasi tidak lepas dari pengaruh liberalisasi politik yang melahirkan kompetisi politik berbasis padat modal. Alasan politik biaya mahal menstimulasi para politisi mencari cara mengembalikan investasi politik saat pilkada dengan menjadikan birokrasi sebagai alat kapital dengan cara menyalahgunakan APBD, barter kebijakan hingga jual beli jabatan.

Para bawahan atau pejabat pemda ditekan oleh kepala daerah selaku penguasa birokrasi untuk membeli dan mempertahankan jabatan dengan keharusan menyetor sejumlah uang. Selain merampok anggaran daerah untuk menunaikan kepentingan pihak-pihak yang telah berjasa dalam capaian prestasi politik, diyakini para kepala daerah mengkapitalisasi jabatan birokrasi untuk memperkaya diri, termasuk membangun dinasti politik sebagai modal mengikuti pilkada selanjutnya dan ekstensifikasi (perluasan) kekuasaan.

Korupsi oleh para penyelenggara pemerintahan daerah tersebut jelas-jelas telah memagut nasib dan kesejahteraan rakyat. Lantaran dana segar untuk pembangunan pro-rakyat digerogoti, dibagi-bagi demi politik kasta dan kemaslahatan kelompok. Berbagai regulasi birokrasi diterabas, dibajak demi kekuasaan.

Untuk itu, perlu terobosan konkret untuk mematikan ruang gerak pejabat korup supaya daerah tetap terproteksi dari perilaku banal koruptif. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) bersama KPK misalnya perlu proaktif mengendus pelbagai penyimpangan birokrasi di daerah dengan membangun sistem pencegahan dan pengawasan yang ketat serta institusionalistik. Untuk mencegah jual beli jabatan, daerah harus didesak menerapkan lelang jabatan sebagai terobosan budaya seleksi berbasis merit system, bukan hubungan kolutif dan kedekatan pribadi yang merendahkan mutu profesionalitas dan wibawa birokrasi di mata rakyat.  

Reformasi birokrasi mestinya dimulai dari reformasi mental pucuk birokrasi. Seorang kepala daerah misalnya harus memiliki spirit obligasi (tanggung jawab) dalam mengelola birokrasi lewat dua aspek.

Pertama, noblesse oblige yakni the moral obligation of the rich or highborn to display honorable or charitable coduct. Artinya seorang pemimpin harus menjaga kehormatan, nama baik dan reputasi moralnya di hadapan rakyat.

Kedua, seorang kepala daerah harus bisa membedakan mana wilayah jabatan (publik) dan mana yang merupakan wilayah pribadi (privat). Obligasi birokrasi ini setidaknya bisa meminimalisir inkompetensi dan tensi keserakahan kepala daerah serta birokrat sehingga dapat memperbesar energi mereka untuk melayani rakyat.                                           

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×