kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Membaca langkah panglima


Jumat, 06 Oktober 2017 / 16:20 WIB
Membaca langkah panglima


| Editor: Tri Adi

Di momentum hari jadi TNI ke-72 pada 5 Oktober kemarin, militer Indonesia justru mendapat sorotan negatif. Gara-garanya adalah sejumlah langkah Panglima TNI Gatot Nurmantyo belakangan ini yang kerap memantik kontroversi. Misalnya saja, belum usai kontroversi seputar instruksi Panglima kepada jajaran prajurit untuk menonton film Pengkhianatan G30S PKI—sering dicap sebagai alat “propaganda rezim Soeharto—Jenderal Gatot melempar isu soal impor 5.000 senjata ilegal oleh satu instansi tertentu. Isu senjata ilegal ini kian diramaikan dengan kisruh pemecatan Wakil Kepala Penerangan Daerah Militer (Wakapendam) Kodam VI/Mulawarman (Mlw) karena lalai membiarkan berita soal kritik terhadap Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) lolos dimuat di situs Kodam VI/Mlw tersebut.  

Ini kian melengkapi beberapa kontroversi yang sudah dialamatkan kepada Panglima sebelumnya. Salah satunya, kedekatan Jenderal Gatot di lapangan pada hari H dengan demonstran aksi bela Islam 212 (2/12/2016) yang berunjuk rasa menentang pemerintah. Plus, kehadiran sang jenderal menghadiri diskusi di kantor Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Alhasil, banyak orang membaca langkah Panglima ini sebagai manuver politik Jenderal Gatot untuk ikut berkompetisi pada pemilihan presiden (pilpres) 2019 nanti. Padahal, “militer yang berpolitik” dianggap menyalahi doktrin militer era reformasi yang bertekad untuk lebih profesional dan tidak ikut serta dalam politik praktis.

Namun, apakah sesederhana motif politik kita bisa menafsirkan sejumlah langkah kontroversial Panglima di atas? Rasanya lebih kompleks dari itu. Sebab, ada satu hal yang kian memperumit bacaan kita. Yaitu, tampak tetap nyamannya Panglima Tertinggi TNI, Presiden Joko Widodo, berinteraksi dengan Jenderal Gatot. Ini terlihat dari tidak adanya teguran apa pun dari Presiden terhadap Panglima menyusul pertemuan kedua tokoh itu sesudah pelemparan isu impor 5.000 senjata ilegal.

Tambahan lagi, beberapa waktu lalu Presiden dan Panglima TNI bahkan terlihat rukun menonton bareng film Pengkhianatan G30S/PKI. Padahal, jika Presiden merasa tidak sreg dengan langkah Panglima, tentu interaksi keduanya tidak akan sebaik di atas.

Oleh karena itu, respons Presiden atas kontroversi langkah Panglima adalah salah satu variabel penting dalam menafsir tindak-tanduk Jenderal Gatot. Satu hal yang langsung mengemuka adalah Presiden sesungguhnya merestui atau setidaknya mendapatkan keuntungan dari langkah Jenderal Gatot. Setidaknya ada tiga keuntungan bagi Presiden.

Pertama, kedekatan Jenderal Gatot dengan sebagian kalangan Islam yang berseberangan dengan Presiden justru bisa menjadi faktor yang meredam guncangan terhadap pemerintah. Jenderal Gatot yang ramah terhadap Islam tentu akan memunculkan citra positif bahwa negara, sekaligus pemerintah, juga tidak anti-Islam sebagaimana sering dituduhkan saat ini.

Cawapres Jokowi?  

Sebab, Jenderal Gatot sendiri jelas merupakan wajah dan perpanjangan tangan negara. Sekaligus, gestur Presiden Joko Widodo yang tetap dekat dengan Panglima akan menimbulkan citra bahwa Presiden pun ramah terhadap Islam.  Jelas, mengingat Indonesia sedang memasuki musim politik, citra ramah Islam ini akan menjadi modal besar bagi Presiden untuk berlaga di pilpres 2019 nanti.

Kedua, selama ini banyak orang memaklumi bahwa kelemahan Presiden Joko Widodo saat ini adalah dia satu-satunya Presiden Indonesia yang bukan menjadi tokoh kunci dalam partai politik. Artinya, Presiden sekarang ini sejatinya memiliki kekuasaan terbagi. Yaitu, terbagi di antara tokoh-tokoh senior dan besar yang dulu mengkader, mendidik, dan merekrutnya hingga ke posisi puncak kekuasaan.

Elite politik senior seperti Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri, Ketua Umum Nasdem Surya Paloh, mantan Ketua Umum Golkar sekaligus Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan mantan Ketua Umum Hanura sekaligus Menkopolhukam Wiranto adalah sejumlah contoh. Salah meniti langkah, Presiden Joko Widodo bisa kehilangan modal politik besar untuk tenang memimpin saat ini maupun berkompetisi lagi di pilpres nanti. Maka itu, Presiden tampak perlu menggunakan tangan-tangan lain untuk melakukan berbagai kritik terhadap instansi atau figur yang punya hubungan dekat dengan tokoh-tokoh senior itu. Dalam konteks ini, Jenderal Gatot adalah bagian dari tangan-tangan lain Presiden tersebut.

Ketiga, Presiden Joko Widodo bisa menguji (testing the water) kepopuleran citra Jenderal Gatot di mata masyarakat. Maksudnya, Presiden Joko Widodo bisa menilai hasil uji ini untuk menakar potensi Jenderal Gatot sebagai calon wakil presiden (cawapres) nanti. Pasalnya, usia Jusuf Kalla yang kian lanjut dalam dua tahun ke depan mungkin akan menghalangi untuk kembali mendampingi Jokowi.

Nah, Di sinilah, nama Gatot Nurmantyo potensial. Sebab, selain masih berusia relatif muda ketika pensiun tahun depan, Gatot Nurmantyo akan menambal kekurangan Joko Widodo yakni dari militer, lebih tegas, dan bercitra lebih ramah Islam.  

Lagi pula, kecil kemungkinan Jenderal Gatot akan cocok berpasangan dengan kandidat kuat penantang Joko Widodo, yaitu Prabowo Subianto. Ini karena berpasangan dengan Prabowo akan menyalahi sekaligus dua pakem dalam pencalonan dan pemenangan pilpres: pasangan calon harus kombinasi sipil – militer dan/atau Jawa – luar Jawa. Apakah benar itu yang terjadi? Waktulah yang akan menjawab.                              

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×