kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menakar Obligasi Tanpa Bunga


Jumat, 03 Juli 2020 / 11:32 WIB
Menakar Obligasi Tanpa Bunga
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Setelah Mei 2020 lalu gagal membujuk Bank Indonesia (BI) agar menempuh kebijakan cetak uang, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mengusulkan kepada BI supaya bersedia membeli obligasi tanpa bunga (zero coupon bond) yang diterbitkan pemerintah. Usulan ini mengemuka dalam pembahasan pembiayaan penanggulangan dampak Covid-19.

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 72/2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020 dan program pemulihan ekonomi nasional, pemerintah harus memikul beban defisit sebesar Rp 1.039,2 triliun atau 6,34% terhadap produk domestik bruto. Pelebaran rasio defisit harus dibiayai melalui utang senilai Rp 903,46 triliun. Dengan asumsi suku bunga saat ini di level 7,36%, maka beban belanja bunga atas dampak Covid-19 mencapai Rp 66,5 triliun per tahun. Artinya, jika diakumulasikan sampai dengan jatuh tempo, beban bunga utang mencapai Rp 665 triliun.

Akan tetapi, tren penipisan pasokan likuiditas di pasar finansial menyebabkan suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) akan terus meningkat. Dalam konteks ini, obligasi tanpa bunga menjadi wahana berbagi beban (burden sharing) pembiayaan antara pemerintah dengan BI.

Argumen di atas agaknya belum sinkron dengan alur logika BI. Sesuai UU No. 2/2020, BI ikut menanggung beban fiskal dengan membeli SBN di pasar perdana. Sampai Juni 2020, misalnya, total SBN yang dipegang BI lewat penyerapan di pasar perdana dan operasi moneter di pasar sekunder mencapai Rp 447 triliun.

Jika kelangkaan likuiditas yang menjadi sumber masalah, BI sudah membantu beban fiskal melalui pelonggaran kuantitatif dengan gelontoran dana sebesar Rp 614,8 triliun yang mengalir ke pasar uang dan perbankan. Sayangnya, likuiditas tersebut kembali lagi ke pemerintah alih-alih sampai ke sektor riil.

Demikian pula, jika suku bunga diklaim menjadi pangkal persoalan, BI pun telah memangkas suku bunga acuan 75 basis poin sepanjang tahun ini hingga di posisi 4,25%. Pemotongan suku bunga acuan, meski lambat bertransmisi, diharapkan menjadi prakondisi bagi penurunan imbal hasil aset finansial lainnya.

Sampai di sini, perbedaan pandangan antara otoritas fiskal dan otoritas moneter tampaknya sulit dipertemukan. Keduanya memiliki landasan yang kokoh sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Oleh karenanya, penerbitan obligasi tanpa bunga bisa menjadi solusi yang kompromistis untuk menengahi perbedaan pandangan di atas.

Masalah penentuan harga

Per definisi, obligasi tanpa bunga adalah surat utang tanpa bunga secara berkala (atau tanpa kupon, sebagaimana obligasi pada umumnya) sampai surat utang tersebut jatuh tempo. Investor membeli surat utang tersebut dengan harga diskon, lalu menerima pembayaran dengan nilai penuh ketika obligasi ini jatuh tempo.

Instrumen obligasi tanpa bunga pada umumnya menjadi sumber pembiayaan alternatif. Obligasi tanpa bunga merupakan upaya nyata pemerintah untuk mendiversifikasi sumber pembiayaan yang lebih kompetitif. Tujuan utamanya agar mendapatkan dana dengan biaya yang lebih murah sesuai kondisi arus kas emiten.

Alhasil, penerbitan obligasi tanpa bunga secara tidak langsung sudah sejak awal mengontrol beban pembayaran bunga utang. Pengendalian atas beban bunga utang juga akan meredam pembengkakan defisit keseimbangan primer. Saldo minus keseimbangan primer mengharuskan pemerintah mencari utangan baru untuk menutup utang lama.

Kendati demikian, penerbitan obligasi tanpa bunga masih menyisakan sejumlah kendala. Instrumen obligasi tanpa bunga terbilang baru di Indonesia. Hingga saat ini belum ada korporasi baik swasta maupun badan usaha milik negara yang menerbitkan surat utang dengan jenis ini.

Oleh karenanya, BI tidak memiliki rujukan praktik obligasi tanpa bunga di dalam negeri. Merujuk pada praktik terbaik secara internasional membuka peluang terjadi ketidakcocokan. Adopsi ketentuan, lingkungan, dan kondisi pasar yang berbeda malah bisa merugikan BI, alih-alih membantu pembiayaan pemerintah.

Problem utamanya menyangkut penentuan harga (pricing). Harga obligasi tanpa bunga akan dilirik calon investor jika memberikan imbal hasil minimal sama besar ketika dana tersebut ditanamkan pada aset finansial sejenis. Suku bunga pasar, inflasi, dan nilai tukar menjadi parameter fundamentalnya.

Kegagalan memberikan insentif yang lebih atraktif akan membuat obligasi tanpa bunga tidak bisa sepenuhnya diterima pasar. Di samping perdagangan di pasar sekunder yang belum terbangun, permintaan terhadap instrumen obligasi tanpa bunga bergantung pada kondisi makroekonomi suatu negara.

Sejalan dengan itu, investor juga mempertimbangkan tingkat hasil investasi dari emiten surat utang, yakni kemampuan menghimpun penerimaan guna membayar kewajibannya. Prospek penerimaan negara yang lemah mendorong harga obligasi tanpa bunga jadi rendah sehingga target pembiayaan bisa meleset.

Penyerapan obligasi tanpa bunga niscaya menganggu keseimbangan komposisi portofolio BI. Ketika BI hendak menyeimbangkan kembali portofolionya, penjualan SBN oleh BI akan cepat termonetisasi. Imbasnya, potensi guncangan tidak hanya terjadi di pasar keuangan tetapi juga di pasar barang/jasa dalam bentuk kenaikan laju inflasi. Pasalnya, pembelian SBN oleh BI di pasar perdana sejatinya sama saja dengan cetak uang baru.

Kalaupun regulasi mengharuskan BI membeli obligasi tanpa bunga, persoalan tidak berhenti sampai di sini. Pembelian obligasi tanpa bunga ini bisa menggerus independensi BI. Hubungan koordinasi yang terjalin antara pemerintah (Kementerian Keuangan) dan BI selama ini bisa berubah menjadi relasi subordinasi.

Cerita di atas akan sedikit berbeda jika obligasi tanpa bunga ditawarkan pada perusahaan finansial. Meski terkendala dalam hal kapasitas penyerapan, investor domestik yang potensial membeli obligasi tanpa bunga berasal dari kalangan institusi dengan tujuan investasi jangka panjang, seperti asuransi jiwa dan dana pensiun.

Penjualan obligasi tanpa bunga ke pasar keuangan luar negeri bisa menjadi kombinasi yang ideal. Keberhasilan menerbitkan obligasi pandemi (April) dan sukuk global (Juni) bisa dijadikan prototipe. Dengan model ini, arus valuta asing bisa masuk sehingga menambah cadangan devisa guna memperkuat nilai tukar rupiah.

Pada akhirnya, opsi pembiayaan manapun yang dipilih mutlak harus bisa dipertanggungjawabkan kembali pada hasil (outcome). Obligasi tanpa bunga tetaplah utang yang harus dibayar. Alhasil, pemanfaatan dana hasil penerbitan obligasi tanpa bunga harus bertumpu pada azas optimalisasi sehingga efektif pada sasaran yang dituju.

Penulis : Haryo Kuncoro

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×