kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mendisrupsi bankabilitas zaman old


Senin, 12 Februari 2018 / 15:00 WIB
Mendisrupsi bankabilitas zaman old


| Editor: Tri Adi

Ada banyak pihak yang menyandera perbankan Indonesia sehingga belum kompetitif dalam beroperasi. Diantaranya struktur organisasi bank kita yang cenderung melebar dan kegemukan. Bandingkan dengan struktur perusahaan tekfin peer to peer lending (P2P) yang sangat langsing. Tak hanya itu, kita lihat juga unit non-bisnis di perbankan (cost center) lebih banyak ketimbang unit bisnis yang menjadi profit center.

Selain itu, investasi perbankan untuk memperluas jangkauan operasional melalui pembukaan kantor cabang dan menempatkan mesin anjungan tunai mandiri (ATM) untuk melayani kebutuhan nasabah di daerah masih sangat besar. Hal ini disebabkan masih banyak nasabah lebih suka mendatangi kantor cabang atau pakai fasilitas ATM ketimbang menggunakan saluran elektronik (mobile banking dan internet banking).

Masih ada penyebab lain yang membuat perbankan tidak cukup efisien. Seperti gaji tinggi para bankir di Indonesia rata-rata Rp 12 miliar per tahun. Dua kali lipat dari bankir Malaysia dan hampir 12 kali lipat dari bankir Filipina. Bankir Malaysia hanya mendapat gaji Rp 5,6 miliar dan di Filipina  cuma Rp 1,1 miliar setahun. Direksi bank di Indonesia juga mendapat remunerasi sangat tinggi di  antara negara di ASEAN.

Yang menyedihkan, gaji para pelaksana operasional yakni karyawan bank di Indonesia justru kalah jauh dari negara tetangga. Karyawan bank di Thailand digaji sampai Rp 300 juta per tahun. Karyawan bank di Malaysia digaji Rp 236 juta per tahun. Sedangkan di Indonesia hanya Rp 193 juta per tahun. Kita cuma unggul sedikit dari Filipina sebesar Rp 93 juta per tahun. Di sisi lain, komposisi biaya sumber daya manusia terhadap overhead costs perbankan di Indonesia menduduki peringkat tertinggi dengan persentase 2,44% terhadap total biaya perbankan. Sementara Filipina 1,81%, Malaysia 1,74%, dan Thailand 1,34%.

Sementara itu, hampir mirip dengan transportasi online yang penuh tantangan, industri tekfin P2P lending terus berkembang. Digerakan oleh anak muda, industri ini mencoba “menggoyang” gaya konservatif dan ortodoks perbankan nasional.  Saat ini cara, pola, lembaga lama, dan pendekatan lama tidak lagi sanggup menjawab kebutuhan pembiayaan di lapangan. Buktinya, kebutuhan pembiayaan (pinjaman) nasional mencapai Rp 1.600 triliun. Namun perbankan nasional hanya mampu melayani sekitar Rp 600 triliun. Artinya ada sekitar Rp 1.000 triliun pasar pembiayaan yang “haus” menyerap dana  perbankan. Di sisi lain, ada undisbursed loan sebesar Rp 1.400,45 triliun masih tersangkut di bank. Benar-benar mubazir.

Bank harus berubah

Di sinilah peran dari P2P lending semakin strategis ke depan menggerus pasar perbankan bila lembaga keuangan ini masih tetap merasa nyaman dengan gaya lamanya. Mesti diakui bahwa perkembangan P2P lending sangat pesat, yakni ada sekitar 87 perusahaan P2P lending, namun baru sebanyak 27 perusahaan yang mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hingga November 2017, jumlah pembiayaan yang telah disalurkan tekfin P2P lending mencapai Rp 2,26 triliun. Pembiayaan tersebut disalurkan kepada 290.335 debitur.

Penetrasi P2P lending tak hanya ditopang oleh besarnya pasar kredit yang tersedia, lebih dari itu, juga dipicu oleh perkembangan ekonomi digital. Pertumbuhan era ekonomi digital bisa dibilang sangat cepat. Semua transaksi menggunakan basis teknologi, dan semakin banyaknya variasi model bisnis ekonomi digital yang berkembang untuk mendorong terciptanya pembagian ekonomi diantara pelaku bisnis.

Perkembangan ini juga dimanfaatkan perbankan lewat digital banking baik itu ATM, internet banking, mobile banking, video banking, phone banking, dan SMS banking (e-banking) dalam lima tahun terakhir. Pengguna e-banking melesat  270%, dari 13,6 juta nasabah di 2012 menjadi 50,4 juta nasabah pada 2016. Sementara jumlah transaksi pengguna e-banking melonjak 169%, dari 150,8 juta transaksi di 2012 menjadi 405,4 juta transaksi pada 2016. Sayangnya, penetrasi e-banking ini belum optimal terkait dengan upaya menjangkau lebih besar lagi pasar kredit nasional. Ternyata masih tersisa pasar kredit yang mencapai Rp 1.000 triliun. Sementara dari sisi likuiditas perbankan kita tidak ada masalah.

Melihat perkembangan digital yang sangat pesat, persaingan tidak lagi hanya antar-bank. Namun bahaya mengintai dari para disruptor baru yakni industri tekfin P2P lending ini.  Lembaga ternama Mckinsey sudah mengingatkan bakal terjadi risiko penurunan profit perbankan di 2025 sebesar 60% dari bisnis pembiayaan, 35% pada SME lending dan payment channel, 30% pada wealth management, dan 30% pada mortgage. Namun, hal ini bukanlah ancaman yang berarti apabila perbankan mau bertransformasi atau gandeng perusahaan teknologi untuk mengembangkan bisnisnya.

Tantangan terbesar perbankan lainnya adalah bagaimana beradaptasi dengan paradigma atau realitas baru. Bagaimana perbankan melihat mitra mereka yakni dunia usaha dan industri yang berubah sangat cepat. Dengan perubahan industri digital yang sangat pesat saat ini, paradigma tentang korporasi juga ikut berubah. Saat ini perusahaan yang kuat bukan dilihat lagi dari aset yang besar,  tetapi dari customer based dan brand value.

Perusahaan ritel berbasis jaringan toko dengan aset fisik ratusan triliun rupiah saat ini telah kalah nilainya dengan e-commerce berbasis aplikasi dengan aset fisik sangat minim tanpa inventory.  Kewirausahaan di Indonesia mulai didominasi oleh bidang teknologi dari bersifat software application, marketplace atau e-commerce hingga tekfin.

Dengan perubahan yang sangat pesat itu, para bankir kita masih memakai kaca mata zaman old dalam menilai proposal kredit. Lembaga keuangan kita masih keukeuh dengan kriteria lawas.  Para pengusaha oleh bank kerap dianggap tidak compatible untuk me-leverage usaha, sebab bankir kita masih memakai rumusan dan kriteria lama dalam menyetujui proposal kredit. Ini juga salah satu alasan kenapa penyaluran kredit terasa teramat lamban, sementara puluhan perusahaan start up kita sudah jatuh ke dalam cengkeraman asing akibat para bankir enggan mengubah isi kepala.

Lihat saja, pihak luar melihat Indonesia sebagai pasar pembiayaan paling menggiurkan di Asia Tenggara. Sebab itu, investor besar seperti Expedia dan Alibaba terus memompa dananya miliaran dollar AS ke start up Indonesia untuk menunggangi potensi ekonomi digital Indonesia yang tengah berkembang ini.

Dalam dua tahun terakhir, dana tunai yang masuk ke Indonesia meningkat tajam. Survei dari CB Insights menunjukkan investasi di Indonesia mencapai US$ 631 juta (sekitar Rp 8,5 triliun) ditanam di Indonesia, naik US$ 31 juta (sekitar Rp 418,9 miliar) pada 2015. Berangkat dari ulasan diatas, ini menunjukkan ada yang salah dengan kaca mata dan konsep “bankabilitas” para bankir kita dan itu harus segera didisrupsi agar perbankan kita terselamatkan dari persaingan dan kemajuan zaman now yang sangat cepat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×