kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengantisipasi disrupsi budaya kerja


Senin, 16 April 2018 / 13:20 WIB
Mengantisipasi disrupsi budaya kerja


| Editor: Tri Adi

Sebuah hasil studi mengejutkan tentang dunia kerja di era digital dirilis oleh Gallup. Terungkap bahwa, hanya 13% karyawan yang benar-benar bekerja sebagaimana mestinya di kantor. Artinya, sebanyak 87% karyawan kantoran merasa terpaksa masuk kantor. Mereka ini ngantor sekadar untuk menggugurkan kewajiban.

Makan gaji buta, mereka menerima upah setiap bulan hanya karena rutin setor muka atau sidik jari (baca : absen finger print). Sementara kinerjanya tidak optimal. Yang menyedihkan, perusahaan yang sebetulnya sudah mengetahui hal ini, tak dapat berbuat banyak.

Kita memang telah lama terkooptasi mindset, bekerja adalah masuk kantor. Bahkan, seorang desainer grafis kondang yang bekerja dari rumah dan melayani klien internasional pernah dicurigai memelihara tuyul karena ia terlihat hanya di rumah saja, sementara pundi-pundinya terus terisi. Kekonyolan seperti ini banyak terjadi.

Pada saat bersamaan, pandangan bahwa mereka yang bekerja berarti pergi pagi dan pulang malam semakin mengakar. Instrumen tentang bekerja berarti punya kantor secara fisik. Tak peduli, di kantor ia diam berleha-leha, nge-gim atau ngobrol ngalor ngidul hingga jam pulang.

Keberadaan key performance indocators (KPI) tak banyak berarti. Bahkan perlu ditinjau kembali. Semestinya sumber daya yang ada masih bisa dioptimalkan dengan model kerja yang fleksibel.

Anda mungkin termasuk karyawan atau tipe pekerja yang disebutkan dalam studi Gallup tersebut. Tak perlu merasa bersalah. Bekerja terkurung di balik tembok dan partisi ruangan yang kita sebut sebagai kantor memang semakin terasa menjemukan. Terutama setelah perkembangan teknologi komunikasi kian maju dan memungkinkan kita bekerja dari mana saja.

Terlebih, suasana kerja di kebanyakan kantor masih mempertahankan tradisi lama. Terasa kaku, serius, dan kadang-kadang menegangkan. Hal itu menciptakan atmosfer kerja yang tidak nyaman. Implikasinya tentu saja ke performa kerja.

Sebuah studi menarik dilakukan oleh sekelompok ekonom di University of Warwick. Ditemukan bahwa kebahagiaan, termasuk yang dibangun dari lingkungan kerja efektif mendorong lonjakan produktivitas hingga 12%. Sebaliknya, tingkat produktivitas pekerja yang tidak bahagia terbukti merosot 10% di bawah rata-rata.

Ada banyak alasan mengapa bekerja di kantor menjadi tidak menarik. Bahkan dapat mereduksi kebahagiaan. Salah satu hal yang sangat relevan menjelaskan hal itu adalah terjadinya pergeseran budaya kerja. Adopsi teknologi digital dalam dunia kerja, kini memungkinkan setiap orang bekerja tanpa batas ruang dan waktu.

Juga tak perlu takut keluar dari jalur koordinasi organisasi institusi tempat kerja. Apalagi, sudah amat banyak aplikasi kerja kolaboratif secara online yang dapat digunakan. Kantor virtual bahkan dapat dirancang secara custom dan cuma-cuma alias gratis.

Berbagai capaian di bidang teknologi informasi mestinya mendorong budaya kerja baru berbasis digital. Bukan cuma meningkatkan kinerja sebagai anitesis temuan empirik University of Marwick dan Gallup. Ia bahkan dapat menciptakan multiple benefit yang bernilai ekonomis bagi perusahaan. Mendorong efisiensi hingga produktivitas.

Masalahnya memang terletak pada adaptasi kita terhadap teknologi digital yang berjalan lamban. Ketinggalan dan jauh lebih lambat daripada capaian inovasi yang lahir beruntun.

Menurut studi TomTom Telematic terhadap 400 manajer senior, kecanggungan mengadopsi teknologi terjadi karena ketidakpercayaan terhadap teknologi masih tinggi. Meskipun mereka menyadari bahwa banyak benefit yang bakal diberikan. Bahkan dapat dikalkulasi dengan mudah. Hal ini disinyalir juga karena manusia punya sisi dimana ia merasa aman bermain di comfort zone. Fakta ini tentu mengejutkan.

Antisipasi perubahan

Kenyataan empirik mengenai lambannya adopsi teknologi dan inovasi dalam budaya kerja di kantor-kantor mengonfirmasi mengapa kafe, kini semakin jadi primadona sebagai workplace baru. Ini sejalan dengan kecendrungan generasi milenial bekerja secara tidak terikat. Baik sebagai pengusaha maupun freelancer.

Bila bertandang ke kafe, kita dengan mudah menemukan para milenial workers mengeksekusi pekerjaan. Bermodal gawai dan fasilitas koneksi internet, pekerja milenial dengan anteng bekerja berjam-jam di atas meja-meja kafe. Suasana rileks semakin kuat sebab ditemani secangkir kopi dan beberapa potong kudapan. Pemandangan yang tentu sulit kita lihat di ruang kantor model lama.

Pengelola kafe dan restoran telah menangkap sinyalemen pergeseran gaya kerja tersebut. Sebuah pasar baru yang merambah ke industri food and beverage. Ia lantas diselami sebagai inovasi bisnis.

Sepuluh tahun yang lalu, akses internet gratis merupakan barang langka dan juga mewah. Kini, Wifi menjelma menjadi fasilitas fardu nan standar. Kafe yang dilengkapi Wifi digandrungi saat ini.

Bukan cuma itu. Para pengelola kafe bahkan banyak yang mulai mendesain sebagian ruangan mereka sebagai fasilitas untuk meeting. Bak aula mini, bagian kafe yang dapat disulap jadi ruang rapat tertutup tersebut tak ubahnya ruang rapat yang ada di kantor-kantor.

Bedanya, rapat di kafe suasananya lebih comfy dan tidak menegangkan. Ia didesain dengan nuansa kekinian. Pengaturan pencahayaan alami dan elektrikal dipadupadankan. Penggunaan dan tata letak properti juga jauh dari kesan serius.

Ringkasnya, kafe dan resto adalah tempat yang representatif untuk berkantor secara solo maupun tim. Atmosfernya bisa jadi mood booster. Produktivitas kerja dapat dipompa berkali-kali lipat.

Ini artinya apa? Bisnis kafe dan resto yang menyasar segmen pekerja bergaya bebas ini, akan semakin baik dan jadi primadona ke depan. Pada saat bersamaan, budaya yang diprediksi bakal trend ini akan berdampak serius pada industri properti. Terutama untuk bisnis sewa kantor.

Gejalanya sudah mulai terlihat dari deklinasi permintaan sewa kantor di beberapa kawasan bisnis di Jakarta. Terjadi migrasi ke kantor virtual. Meskipun belum masif.

Tak ayal, di balik keengganan pelaku industri mentransformasi budaya dan model kerja dengan mengadopsi teknologi digital secara utuh, pebisnis properti tetap saja harus waspada dan mengantisipasi dampak disrupsi. Menyiapkan kuda-kuda bilamana virtual office kian menggurita dan ruang-ruang kantor berubah menjadi monumen tak berpenghuni.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×