kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengantisipasi perubahan skill


Senin, 28 Mei 2018 / 14:18 WIB
Mengantisipasi perubahan skill


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Dalam industri, terjadi perubahan model bisnis. Penggerak utama perubahan adalah masifnya kemajuan teknologi. Salah satu wujuh perubahan adalah otomasi dalam berbagai bidang pekerjaan.

Menurut riset McKinsey tahun lalu, ada 60% dari 800 pekerjaan yang berpotensi diotomasi. Setidaknya sepertiga dari aktivitas dalam pekerjaan tersebut, dapat digantikan oleh mesin. Aktivitas fisik dalam lingkungan stabil berpotensi paling besar diotomasi. Misal, pekerjaan pada sektor manufaktur, perdagangan, pengumpulan dan pemrosesan data.

Proporsi aktivitas semacam itu di Amerika, mencapai setengah dari total aktivitas pekerjaan di dalam perekonomian. Total nilai upah pekerjaan itu mencapai US$ 2,7 triliun atau sekitar 2,8 kali nilai PDB Indonesia.

Sementara menurut survei World Economic Forum (WEF) tahun 2016, setidaknya ada 18 faktor yang mempengaruhi perubahan model bisnis yang terbagi dalam dua kelompok. Kelompok satu adalah demografi dan sosial ekonomi yang antara lain mencakup pertumbuhan kelas menengah, peningkatan urbanisasi, cara bekerja yang lebih fleksibel, populasi usia muda di pasar negara berkembang.

Kelompok lain yaitu teknologi yang meliputi teknologi robot, big data, artificial intelligence, komputasi awan, internet of things, mobile internet, sharing economy dan lain-lain. Hal-hal itu yang telah dirasakan saat ini tapi ada pula yang diprediksi akan lebih berpengaruh di masa mendatang.

Paling tidak, ada tiga dampak perubahan model bisnis terhadap pekerja. Pertama, pekerja kehilangan pekerjaan karena jenis pekerjaannya menjadi hilang atau tergantikan oleh mesin. Kedua, pekerja harus menyesuaikan dengan kebutuhan keterampilan yang baru. Ketiga, pekerja harus melakukan pekerjaan yang baru.

Fenomena ini jelas terlihat saat ini. Perbankan mislanya, tengah menghadapi tantangan dari disrupsi para penyedia layanan keuangan alternatif seperti perusahaan fintech. Lewat platform digital, perusahaan fintech menyediakan layanan dengan prosedur yang lebih sederhana, mulus, cepat, bersifat mobile dan mudah.

Dari fenomena itu, ada perubahan kebutuhan keterampilan. Jika di periode-periode sebelumnya perbankan banyak mencari pekerja dengan kemampuan manajemen keuangan dan operasional, ke depan keterampilan complex problem solving, programming, logical problem solving, hingga kreativitaslah yang akan banyak dicari. Dengan demikian, pegawai dengan latar belakang pendidikan seperti matematika, statistik, dan ilmu komputer akan semakin dibutuhkan.

Namun, perusahaan kerap kali terlambat mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi di industri. Penyebab utamanya adalah pemahaman yang kurang akan perubahan yang terjadi.

Alhasil, workforce strategy tidak sejalan dengan strategi inovasi yang sangat diperlukan oleh perusahaan. Jika perusahaan kekurangan pegawai dengan keterampilan yang sesuai, tentu produktivitas akan berkurang. Dalam skala yang lebih besar, produktivitas yang rendah pasti mempengaruhi output perekonomian nasional secara keseluruhan.

Lantas bagaimana mengantisipasi potensi perubahan keterampilan pada pekerjaan? Perusahaan bisa melakukan proses reskilling pada pegawai. Mulai dari sistem dan teknologi, pelatihan, rotasi pekerjaan, job mobility pegawai untuk mengakselerasi penguasaan keterampilan yang baru hingga perusahaan mendorong kolaborasi dengan institusi-institusi pendidikan. Namun proses itu membutuhan waktu yang tidak singkat.

Langkah yang lebih cepat adalah dengan mengantisipasi tren perubahan industri. Artinya, perusahaan merencanakan untuk merekrut pegawai dengan keterampilan yang dibutuhkan. Kelemahan dari cara ini yaitu menjadikan perusahaan terus merekrut pegawai sehingga berujung pada peningkatan biaya tenaga kerja.

Langkah terbaik adalah mengombinasikan kedua strategi tadi. Perusahaan hendaknya melakukan reskilling yang disertai dengan pemberin insentif untuk mengakselerasi proses belajar pekerja. Sambil jalan, perusahaan mengakuisisi bakat dari luar untuk mengisi skills gap dan membantu memperluas penguasaan keteramapilan di dalam tim.


Bobby Hermanus
Peneliti di Mandiri Institute

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×