kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengiris rasa pesimis


Senin, 16 Oktober 2017 / 15:37 WIB
Mengiris rasa pesimis


| Editor: Tri Adi

Oktober ini, genap tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kita banyak mendapatkan pemaparan hasil kerja dan evaluasi kinerja. Di berbagai media, ada kritikan, banjir saran, sederet ejekan, dan sudah pasti puja puji, baik ke jajaran pemerintahan atau Presiden Jokowi.

Salah satunya adalah status kawan di Facebook yang menulis komentar temannya dari China. Kata sang teman, Presiden Jokowi itu orang yang berbahagia. Meski banyak difitnah, diolok-olok, dan dibikin meme di media sosial, dia selalu tersenyum, tak menanggapi tudingan negatif tadi. Hal serupa, ungkap sang teman, tidak mungkin bisa terjadi di negaranya, karena pengolok pasti segera ditembak. Lembaga presiden adalah lembaga negara yang harus dijaga dan dihormati. Nah, rasanya belum terlalu lama dulu, hal yang sama juga berlaku di negara kita, kan?

Masa tiga tahun pemerintahan ini, kita memang kenyang dengan segala macam informasi, baik yang benar maupun hoax. Peredaran informasi tak sebatas media mainstream namun juga media sosial. Presiden Jokowi menyadari keterbukaan media di negara kita. Saat bertemu dengan Presiden Iran Hassan Rouhani, konon Presiden Jokowi ditanya, bagaimana keterbukaan media di Indonesia dibanding Iran. Presiden kita menjawab sambil tertawa: lebih kejam di Indonesia.  

Berkat keterbukaan ini pula, kita dapat dengan leluasa mengamati pekerjaan para pegawai pemerintah. Mereka seperti terpampang dalam glass snowball yang bisa kita tonton dan, bahkan bisa disentil lewat media sosial, jika jalur-jalur resmi tak dicermati. Maklum, makin para pejabat juga giat bermedsos.

Sebaliknya, rakyat leluasa menyampaikan aspirasi dan keluhan. Pertengahan minggu lalu, misalnya, para petani bawang merah berunjuk rasa di Kantor Bupati Cirebon. Mereka protes karena pemerintah diam saja saat harga bawang merah anjlok menjadi Rp 6.000 per kilo. Ini berbeda ketika harganya tinggi, pemerintah buru-buru mendatangi petani, meminta mereka menurunkan harga sesuai acuan, yakni Rp 15.000 per kilo.

Selama tiga tahun ini pula, kita melihat Presiden berusaha dekat dengan rakyat lewat kuis sepeda. Presiden mau berbaur, meski hal ini rupanya kurang berkenan di hati sebagian masyarakat lantaran dianggap merendahkan diri dan menghilangkan wibawa. Tapi suka tidak suka, saban kali Presiden beraksi, mereka yang hadir tersenyum.  

Bisa jadi dengan senyum, Presiden berusaha menularkan rasa optimisme. Sudah berkali-kali, sejak tahun lalu ketika kondisi ekonomi global suram, Presiden Jokowi minta supaya warganya tetap optimis bisa bertahan melalui krisis. Seruan yang sama diulang minggu lalu, lantaran dalam Global Competitiveness Index, Indonesia naik kelas jadi peringkat 36. Kata dia, jangan ada pesimisme di antara kita.

Namun, tak mudah memaksimalkan optimisme, ketika ada bermacam isu negatif seperti penurunan daya beli, pencabutan subsidi, sampai angka pengangguran tinggi. Mungkin petani yang merugi tadi sulit merasa optimis, begitu pun pekerja bangunan yang tak kebagian rejeki percepatan infrastruktur karena porsinya diambil alat berat, atau warung sembako yang kehilangan pembeli karena bantuan pangan diberikan non tunai.         

Kinerja, memang diukur dari angka, tapi yang lebih daripada itu, di dalamnya ada manusia yang harus diutamakan. Manusialah yang bisa mengiris rasa pesimis itu.               

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×