kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengukur efektivitas stimulus moneter


Rabu, 13 September 2017 / 16:32 WIB
Mengukur efektivitas stimulus moneter


| Editor: Tri Adi

Rencana bank BUMN yang akan menurunkan suku bunga kredit hingga mencapai satu digit pada tahun ini patut diapresiasi. Langkah ini untuk menyikapi kebijakan Bank Indonesia yang telah memotong suku bunga acuan yaitu BI 7-day Reverse Repo Rate (BI-DRR) sebesar 25 bps atau 0,25% dari 4,75% menjadi 4,5%. Seandainya janji bank-bank BUMN yang dipelopori Bank Mandiri tersebut benar, dapat disimpulkan bahwa stimulus moneter yang telah digelontorkan otoritas moneter berjalan efektif. Pengalaman selama ini, dari beberapa kali kebijakan penurunan suku bunga acuan, transmisi ke dunia perbankan berjalan lambat.

Terdapat dua permasalahan pokok yang dihadapi perekonomian Indonesia saat ini yaitu melemahnya daya beli konsumen dan belum optimalnya sektor investasi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi. Dua sektor tersebut merupakan kontributor utama pertumbuhan ekonomi yaitu sebesar 55,6% dan 31,4%. Stimulus moneter yang dikeluarkan BI baru-baru ini tujuan utamanya adalah mendorong roda ekonomi bergerak lebih cepat. Sasaran antaranya adalah mendongkrak daya beli masyarakat dan meningkatkan investasi melalui penyaluran kredit oleh dunia perbankan.

Sejak Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal II yang hanya sebesar 5,01%, maka sebagian besar pihak termasuk pemerintah dan otoritas moneter mulai khawatir target pertumbuhan ekonomi yang tercantum dalam APBN-P 2017 sebesar 5,2% sulit tercapai. Pemerintah memang merevisi dengan skenario optimistis cuma di level 5,17%.

Beleid berupa stimulus moneter tersebut diharapkan bisa menjadi salah satu jawaban untuk mendorong laju perekonomian dalam beberapa kuartal ke depan. Apalagi akhir-akhir ini juga berkembang pandangan bahwa sampai dengan tahun 2019, diprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di kisaran 5% dan beberapa pihak menyebut sebagai kondisi normal baru.  

Jika dikalkulasi sejak awal 2016, BI cukup agresif dalam mengguyurkan stimulus moneter. Secara kumulatif, suku bunga acuan telah turun sebesar 175 bps atau 1,75%. Namun roda perekonomian belum bergerak cepat seperti yang diharapkan. Realisasi pertumbuhan ekonomi tahun 2016 hanya 5,02%, meleset dari target pemerintah 5,2%.

Setelah BI menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 bps timbul pertanyaan, apakah stimulus moneter  bisa efektif mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan sasaran ekonomi makro lainnya.

Kebijakan ekonomi baik moneter ataupun fiskal ditempuh untuk menyikapi siklus ekonomi di suatu negara. Relatif kurang efektifnya stimulus moneter yang telah diberikan karena kurang lancarnya transmisi kebijakan itu ke sektor riil. Harapan bank sentral, pelonggaran moneter ini diikuti pemangkasan suku bunga oleh perbankan.  Namun, upaya itu belum membuahkan hasil. Biasanya ada time lag sekitar tiga bulan sampai kebijakan ini direspon perbankan. Reaksi yang pertama kali diambil adalah penurunan bunga simpanan agar biaya dana turun dan memangkas bunga kredit.

Mulai dari bank BUMN   

Namun tampaknya hal ini tidak berlaku otomatis di sektor perbankan kita. Penurunan suku bunga kredit berjalan lebih lambat dibandingkan suku bunga simpanan. Terbukti ketika dalam periode 20 bulan suku bunga acuan sudah turun 175 bps, suku bunga kredit turunnya jauh di bawah angka tersebut. Saat ini, suku bunga pinjaman terutama untuk investasi, modal kerja maupun konsumsi masih berada di level 12%-14%. Harapannya dengan suku bunga acuan yang kini sudah berada pada tingkat 4,5%, maka sudah sewajarnya suku bunga kredit berada pada posisi single digit.

Keengganan dunia perbankan untuk merespon cepat kebijakan BI kemungkinan disebabkan sikap ingin mempertahankan margin laba bersih atau net interest margin (NIM) pada level yang tinggi. Sebagai gambaran, 10 bank besar yang sudah publikasi laporan keuangan mencatat rata-rata NIM sebesar 5,21% sampai semester I-2017. Margin laba bersih untuk perbankan di Indonesia termasuk yang tertinggi di kawasan ASEAN.

Sebagai perbandingan, NIM perbankan di Filipina 3,35%, Thailand 2,60%, dan Malaysia hanya 2,35%. Kecenderungan ini menandakan perbankan Indonesia masih kalah efisien dibanding negara tetangga. Ini menjadi tantangan ke depan supaya perbankan kita bisa kompetitif tidak hanya di dalam negeri, tapi di lingkup regional dan global. Saat ini banyak bank asing yang eksis di Indonesia, tetapi masih sangat sedikit perbankaan Indonesia berekspansi ke luar negeri.

Salah satu upaya yang bisa ditempuh pemerintah agar transmisi kebijakan moneter berjalan lebih cepat adalah mendorong bank BUMN agar memelopori penurunan suku bunga. Data yang ada menunjukkan bahwa Bank Mandiri dan BRI bertengger di puncak bank dengan aset terbesar di Indonesia. Aset dua bank BUMN tersebut saat ini diperkirakan sudah melebihi Rp 1.000 triliun. Sedangkan BNI di posisi keempat dan BTN di posisi keenam.

Struktur industri perbankan di Indonesia cenderung bersifat oligopoli. Lihat saja total aset 10 bank besar sudah di atas 80% total aset bank nasional.  Perilaku yang terjadi adalah keputusan yang diambil penguasa pasar cenderung diikuti perbankan lain. Artinya jika bank BUMN memelopori penurunan bunga kredit, tindakan ini diyakini membawa dampak signifikan bagi lancarnya transmisi kebijakan moneter.

Jika transmisi lancar, maka intermediasi ke sektor riil akan berjalan baik sehingga goal dari kebijakan yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi bisa berhasil. Namun upaya ini juga mengandung risiko bagi penerimaan negara. Jika laba bersih bank BUMN turun maka penerimaan negara dari setoran bank BUMN akan tergerus. Padahal saat ini, pemerintah sedang berusaha menyeimbangkan sisi penerimaan dan belanja negara untuk mencegah risiko terlanggarnya batas defisit anggaran 3% dari PDB sesuai Undang-Undang tentang Keuangan Negara.

Dapat disimpulkan stimulus moneter dari BI belum membawa dampak signifikan terhadap perkembangan perekonomian Indonesia. Janji yang disampaikan bank BUMN untuk menurunkan suku bunga kredit menjadi angin segar bagi perekonomian kita. Jika terealisir, ini bisa mematahkan penilaian sebagian pihak yang menyebut  stimulus moneter di Indonesia selama ini kurang efektif.

Semoga perekonomian kita terhindar dari jebakan stagnasi dan menjadi nomor lima terbesar di dunia pada tahun 2030 seperti prediksi terbaru dari PricewaterhouseCoopers (PwC).             

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×