kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengundurkan diri atau masuk bui


Senin, 13 November 2017 / 13:00 WIB
Mengundurkan diri atau masuk bui


| Editor: Tri Adi

Walaupun terus mendapat tekanan dari berbagai pihak, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mampu terus menunjukkan taringnya. Selain mencokok penyelenggara negara, hampir di setiap kasus yang diungkap juga tersangkut pihak swasta dari level puncak hingga manajemen tingkat bawah.

Meskipun mungkin para pegawai perusahaan itu berdalih hanya melaksanakan perintah atasan, tetap tak mampu melepaskan diri dari jerat hukum. Apalagi, cukup beralasan untuk menduga bahwa para pegawai itu mengetahui yang mereka kerjakan sesungguhnya tindakan melanggar hukum.

Hilangnya keberanian para pegawai untuk melawan perintah, mungkin terkait risiko hilangnya sumber penghidupan. Namun, jika pilihannya adalah menolak perintah yang melanggar hukum atau harus berurusan dengan hukum, seharusnya tidak sulit untuk memilih. Sesungguhnya, dunia usaha di Tanah Air pernah mencatat sebuah peristiwa fenomenal yang patut dijadikan renungan.

Peristiwa menarik dan langka dalam dunia bisnis itu terjadi beberapa waktu lampau, saat seluruh direksi dan komisaris PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM) kompak menyatakan mengundurkan diri. Mereka juga membebaskan diri dari tanggung jawab atas seluruh operasional perusahaan.

Pengunduran diri sepuluh orang anggota direksi dan dewan komisaris PT IDKM tersebut merupakan bagian dari penolakan atas rencana akuisisi PT IDKM oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (Emtek). Mereka menilai transaksi ini berpotensi melanggar hukum, yakni UU No 32/2002 tentang Penyiaran dan PP No 50/2005.

Emtek yang telah memiliki 86% saham PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) dan memiliki 99% saham SCTV secara tidak langsung (melalui SCMA) saat itu berencana mengakuisisi 27,24% saham PT IDKM yang dimiliki PT Prima Visualindo. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat pun telah menyampaikan pendapat akuisisi itu berpotensi melanggar hukum, khususnya pasal 18 dan 34 UU Penyiaran.

Peristiwa tersebut juga menjadi pelajaran menarik setelah munculnya berbagai berita yang memberikan gambaran keliru tentang peran dan tanggung jawab komisaris, direksi, atau manajemen perusahaan. Kasus pertama adalah terkuaknya fakta sejak tahun 2008 Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum tercatat memiliki saham senilai Rp 35 miliar serta menjabat Komisaris PT Panahatan. Sementara M. Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, menjabat Komisaris Utama.

Saat itu, Anas membela diri dengan mengaku tidak pernah menerima dividen atau terlibat dalam pengambilan keputusan. Ia juga mengaku tak pernah mendapat laporan keuangan dan mengikuti rapat umum pemegang saham.

Kasus kedua Yohannes Waworuntu, mantan direktur PT Sarana Reka Dinamika (SRD), yang terjerat kasus korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) pada Kementerian Hukum dan HAM. Ia berkisah bahwa meskipun jabatannya adalah direktur, namun ia tidak tahu menahu aliran dana Sisminbakum ke PT SRD yang berjumlah Rp 378 miliar. Ia mengaku tidak berwewenang meneken aliran dana itu dan hanya menjadi korban Hartono Tanoesoedibjo dan Hary Tanoesoedibjo yang menggagas proyek itu.

Yohannes juga mengaku tidak memiliki pilihan lain kecuali menuruti perintah pemegang saham karena diancam akan dipecat bila membangkang. Padahal saat itu anaknya sedang sakit dan memerlukan banyak biaya pengobatan. Akhirnya, MA memvonis Yohannes lima tahun penjara, sementara Hartono Tanoesoedibjo yang dituduhnya lebih banyak berperan menghilang entah kemana.

Memanfaatkan jabatan

Yang memprihatinkan, walaupun telah banyak penyelenggara negara dan swasta yang ditangkap dan diputus bersalah oleh pengadilan, kasus serupa terus saja terjadi. Dalam beberapa bulan terakhir saja, tujuh kepala daerah yang menjadi tersangka.

Mereka adalah Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti, Bupati Sumenep Achmad Syafii, Wali Kota Tegal Siti Masitha, Bupati Batubara OK Arya Zulkarnaen, Wali Kota Batu Eddy Rumpoko, Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi, Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, dan Bupati Nganjuk Taufiqurrahman.

Dari kasus tersebut terlihat jelas bagaimana politik berkelindan erat dengan bisnis. Politisi dan partai politik memanfaatkan pengaruh politiknya untuk memburu rente dan keuntungan bisnis. Tokoh partai politik duduk di perusahaan untuk dimanfaatkan pengaruh politiknya.

Mereka yang dianggap berjasa dalam meraih kekuasaan, dalam praktik yang berlangsung hingga kini, juga lazim diberi gula-gula jabatan komisaris BUMN. Di sisi lain, dengan kekuatan modal yang dimilikinya, para pebisnis pun mampu memengaruhi keputusan politik, bahkan turut serta menentukan siapa menduduki posisi apa dalam pemerintahan.

Memang, seperti dijelaskan agency problem theory, relasi antara manajemen dengan pemegang saham di dalam perusahaan tidak selalu berjalan mulus. Relasi yang buruk bahkan menjadi salah satu sebab yang menjungkalkan banyak perusahaan, termasuk perusahaan kelas dunia sekalipun, ke jurang kebangkrutan.

Praktik tata kelola perusahaan yang baik pun ternyata masih banyak diabaikan oleh perusahaan di Tanah Air. Pemegang saham acapkali dengan seenaknya memaksakan keinginan meskipun harus menerabas struktur dan tata aturan organisasi, sementara direksi dan manajemen seolah-olah bak wayang yang selalu patuh pada kehendak sang dalang.

Padahal, UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dengan jelas dan lengkap menerangkan rambu bagi setiap organ perusahaan. Direksi dan komisaris jelas bukanlah boneka pajangan.

Manajemen menengah atau tingkat bawah juga tidak boleh selalu mengiyakan perintah jika diyakini melanggar hukum. Apalagi, sejak diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13/2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi pada akhir tahun 2016, korporasi pun dapat dipidana, baik karena perbuatan yang disengaja maupun karena kelalaian.

Pemidanaan dapat dilakukan jika, pertama, terjadinya kejahatan yang memberi manfaat untuk kepentingan korporasi. Kedua, apabila korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana. Ketiga, jika korporasi tidak melakukan langkah yang diperlukan guna mencegah terjadinya tindak pidana, termasuk mencegah efek setelah tindak pidana terjadi.

Dengan demikian, semakin kuat alasan bagi pengurus perusahaan untuk berani menolak perintah yang melanggar hukum. Pengunduran diri jajaran direksi dan komisaris IDKM karena berkeyakinan keputusan pemegang saham berpotensi melanggar hukum merupakan catatan penting yang patut dijadikan teladan serta pengingat oleh setiap pelaku bisnis untuk selalu berpegang teguh kepada prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Walau bagaimanapun, dipecat dan kehilangan jabatan jelas lebih baik daripada kehilangan kehormatan dan harus melewatkan sebagian masa hidup di balik jeruji besi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×