kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menimbang Freeport


Senin, 16 Juli 2018 / 15:09 WIB
Menimbang Freeport


Reporter: Barly Haliem | Editor: Tri Adi

Satu babak baru nan krusial telah dicapai oleh Indonesia. Pekan lalu, induk usaha BUMN pertambangan, PT Inalum, meneken kesepakatan akuisisi 51% saham Freeport Indonesia. Kesepakatan yang bernilai sekitar US$ 3,85 miliar atau setara lebih dari Rp 55 triliun itu ditargetkan tuntas tahun ini.

Momentum ini tampaknya memiliki level prestise nan tinggi. Maklum, selama ini penambang raksasa asal Amerika Serikat itu bak simbol kedigdayaan dan kepongahan korporasi global atas negara kita.

Puluhan tahun lamanya, nyaris mustahil mengutak-atik eksistensi Freeport di Papua. Alih-alih mengubah kontrak atau membeli sahamnya, Freeport menikmati perpanjangan beberapa kali kontrak hingga lebih dari setengah abad.

Alhasil, kesepakatan Inalum dengan FreeportMcMoran ibarat simbol kembalinya kedaulatan Indonesia atas kekayaan alamnya. Di sinilah isu nasionalisme dan heroisme mendapatkan konteksnya.

Di sisi lain, penguasaan mayoritas atas saham Freeport juga berpeluang menambah pundi-pundi negara. Entah itu dari dividen, pajak, royalti, maupun keuntungan ekonomi lainnya. Apalagi cadangan emas dan tembaga di tambang Freeport, konon, masih bernilai US$ 113 miliar.

Meski begitu, jangan abaikan pula sejumlah kritik dan sorotan atas transaksi ini. Sebut saja tiga di antaranya. Pertama, takaran wajar harga pembelian saham Freeport, terutama untuk 40% hak Rio Tinto.

Menurut hitungan eks Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio, misalnya, harga wajar pembelian 51% saham Freeport sekitar US$ 2 miliar. Jadi, kata Tito, nilai akuisisi kelewat mahal jika Inalum membayar US$ 3,85 miliar.

Kedua, rupiah berpotensi goyah akibat tekanan tambahan dari dana pembayaran akuisisi Freeport. Di saat Indonesia butuh aliran besar devisa untuk obat kuat rupiah, pembayaran US$ 3,85 miliar ke Rio Tinto di Inggris dan Freeport McMoran di Amerika adalah kontradiksi dengan upaya penguatan rupiah yang menguras cadangan devisa sekitar US$ 3 miliar pada bulan lalu.

Ketiga, Inalum juga berpeluang menanggung semua beban dan kewajiban yang belum dilaksanakan Freeport. Misalnya, kewajiban membiayai proyek smelter US$ 2,3 miliar, serta menyelesaikan urusan pencemaran lingkungan.

Nah, sejumlah sorotan dan nada sumbang tadi tak urung memicu satu pertanyaan pelik yang baru; mengapa kita harus terburu-buru membeli Freeport sekarang? Toh, masa kontrak karya Freeport habis tahun 2021 atau tiga tahun lagi, saat kita di atas angin. Boleh jadi, Indonesia bisa lebih hemat dan tidak harus menguras dompet begitu besar seperti sekarang.

Kita berharap, pemerintah dan Inalum sudah mengkaji dan menimbang cermat semua manfaat dan mudarat membeli Freeport. Jangan sampai aksi korporasi ini hanya didasarkan pada kepentingan politis-pragmatis jangka pendek serta memenuhi janji kampanye semata.

Pertimbangan kepentingan nasional dan nalar bisnis harus jadi motif utama membeli Freeport. Penegasan ini penting agar kita tak gelap mata dan menghalalkan segala cara saat di arena pergumulan di tahun politik yang sebentar lagi tiba.•

Barly Haliem Noe

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×