kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menimbang (lagi) aturan nontunai


Senin, 16 Oktober 2017 / 15:24 WIB
Menimbang (lagi) aturan nontunai


| Editor: Tri Adi

Dalam beberapa hari ke depan, dua kebijakan baru gerakan nasional non tunai (cashless society) bakal diberlakukan. Pungutan kutipan untuk setiap pengisian ulang (top up fee) uang elektronik efektif berlaku per 20 Oktober. Isi beleid itu adalah top up uang elektronik lintas kanal dicatut biaya sebesar Rp 1.500. Sementara top up dalam satu kanal bertarif Rp 750 untuk transaksi di atas Rp 200.000.

Tak lama berselang, tepatnya 31 Oktober, pengguna jalan tol juga diwajibkan menggunakan uang elektronik. Kendati akan segera berlaku, kedua kebijakan itu masih menuai berbagai kritik. Elektronifikasi di ruas jalan tol dan top up fee, dinilai mengabaikan kepentingan publik. Bahkan punya potensi melabrak sejumlah aturan.

Penerapan sistem elektronik di jalan tol, bertentangan dengan Undang Undang No 7/2011 tentang Mata Uang yang secara tegas mengatur bahwa setiap orang dilarang menolak menerima rupiah sebagai alat pembayaran, baik  berupa uang logam maupun kertas. Kebijakan top up fee bernasib sama. Dibayang-bayangi oleh polemik dengan berbagai argumentasi penolakan.

Tidak terkecuali penerbit uang elektronik, juga ikut angkat suara. Persatuan Bank Nasional (Perbanas) dan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), mengamini tuntutan publik bahwa biaya isi ulang sebaiknya digratiskan saja. BI diminta untuk merevisi beleid yang dipandang kontraproduktif dengan tujuan cashless society tersebut.

Pelaku industri perbankan mengaku siap menyisihkan pos anggaran dari sumber lain untuk meningkatkan layanan non tunai. Yang terpenting saat ini adalah mendorong animo masyarakat beralih ke non tunai. Maklum, berkat elektronifikasi, perbankan dapat menghemat biaya operasional hingga 40%.

Ada empat alasan mengapa beleid non tunai perlu ditimbang lagi. Pertama, menyelisihi atau menentang amanat konstitusi. Cashless society merupakan kebijakan yang diterjemahkan dari Undang Undang Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia. Pada pasal 8 poin b, secara eksplisit tertuang tugas bank sentral untuk menciptakan kelancaran dalam sistem pembayaran. Bentuk kebijakannya adalah transaksi yang berbasis uang elektronik.

Namun dalam lembar penjelasan Pasal 8, diuraikan bahwa pelaksanaan tugas BI memerlukan dukungan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan andal. Pada poin "efisien" inilah, rencana top up fee lemah secara konstitusional. Sangat berpotensi bisa dibatalkan.

Industri yang menalangi  

Kedua, industri untung tapi masyarakat buntung. Pengguna uang elektronik sudah harus mengeluarkan biaya ketika membeli kartu. Selain itu juga harus dikenakan biaya lagi sepanjang menggunakan uang elektronik. Biaya setiap isi ulang menempatkan uang elektronik laiknya produk konsumtif.

Sialnya, kutipan itu malah jadi keuntungan bagi penerbit kartu.  Taruhlah keuntungan rata-rata bank dari penjualan kartu tersebut adalah sebesar Rp 10.000. Dari 69,45 juta uang elektronik yang beredar saat ini, artinya penerbit kartu sudah mengantongi keuntungan sebesar Rp 694,5 miliar. Keuntungan tersebut sewajarnya disisihkan sebagai biaya pengembangan layanan dan peningkatan infrastruktur yang jadi dasar argumentasi top up fee.

Ketiga, bertentangan dengan akal sehat ekonomi digital. Sulit disangkal bahwa top up fee adalah potret ekonomi berbiaya mahal. Seberapa pun kecil dan terbatasnya dana yang dipungut, ia tetap tidak mencerminkan slogan efisiensi. Inefisiensi, tak sejalan dengan gemuruh revolusi ekonomi keempat yang bergeser ke digitalisasi.

Ekonomi digital dituntut mengurangi beban lemak-lemak struktural. Di era ekonomi digital, pemerintah mesti cermat dan adaptif membuat formula struktur kebijakan yang mendorong industri berjalan di atas prinsip efisiensi. Inefisiensi justru menyandera industri hingga tidak kompetitif.

Bila inkompetensi mengelola kebijakan berbasis digital, bisa mempengaruhi daya saing suatu bangsa. Padahal, Presiden Joko Widodo serius berupaya melakukan deregulasi. Presiden berkali-kali mengingatkan jajarannya untuk tidak membuat kebijakan yang menantang arus ekonomi digital.

Keempat, top up fee tidak selaras dengan spirit kebijakan publik yang mestinya berpihak pada kepentingan masyarakat. Cashless society adalah program BI. Maka BI adalah pihak yang paling bertanggungjawab untuk melayani publik mewujudkan kemudahan dan kelancaran bertransaksi. Di pundak BI melekat tanggung jawab paling besar untuk menyukseskan cashless society.

Bukan justru dilemparkan ke kantong-kantong masyarakat yang mestinya dibela mati-matian oleh kebijakan.  Celakanya, pada saat bersamaan pelaku industri justru diberi peluang berselancar mencari untung di atas kebijakan publik tersebut. Ini jelas ironis.

Sebelum telanjur berimplikasi negatif terhadap gerakan nontunai, BI perlu menimbang lagi beleid uang elektronik. Apalagi BI juga berkepentingan untuk menyukseskan cashless society sebagai tanggungjawab konstitusional.

BI bahkan diuntungkan jika animo masyarakat menggunakan uang elektronik semakin tinggi. BI menikmati efisiensi sebesar Rp 4 triliun dalam setahun berkat migrasi ke uang elektronik.

BI seyogianya menggunakan otoritas membela dan berpihak pada kepentingan masyarakat. BI dituntut mendorong pelaku industri agar bersinergi menyukseskan cashless society. Sinergi tersebut dapat diwujudkan dengan berbagi infrastruktur. Setiap pemangku kepentingan diwajibkan membangun fasilitas secara proporsional sesuai skala bisnis masing-masing.

Bank (penerbit kartu), minimarket, supermarket, pengelola tol dan berbagai merchant adalah pihak-pihak yang meraup benefit dari penggunaan uang elektronik. Ada manfaat efisiensi yang mereka nikmati dari setiap transaksi uang plastik. Maka lebih adil bila para pelaku industri tersebut yang menalangi peningkatan layanan dan infrastruktur uang elektronik. Bukankah kebijakan mestinya berpijak pada keadilan?                  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×