kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menimbang selebrasi polulisme


Senin, 28 Mei 2018 / 14:13 WIB
Menimbang selebrasi polulisme


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Tepat satu minggu yang lalu, kita disuguhkan pada acara selebrasi yang mengundang decak kagum dunia. Pada Sabtu siang 19 Mei 2018, pernikahan Pangeran Harry dan Meghan Markle dirayakan dengan selebrasi meriah di sepanjang jalan secara terbuka yang bisa disaksikan segenap rakyat yang berjejer di pinggir jalan, sebagaimana pernikahan keluarga Kerajaan Inggris sebelumnya. Itulah salah satu contoh dari selebrasi populisme yang memukau dunia.

Beberapa bulan sebelumnya, di negeri ini, publik tentu masih ingat tentang rekaman video yang memperlihatkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi beberapa kali melemparkan sesuatu dari dalam mobil ke arah kerumunan rakyat yang berjejer di pinggir jalan. Video yang sempat menjadi viral tersebut mungkin bisa dijadikan contoh selebrasi populisme yang kebablasan. Bahkan, layak dianggap telah melanggar etika, sehingga selayaknya tidak terulang lagi.

Seperti yang diberitakan media, adalah Ketua Umum (Ketum) PPP Muhammad Romahurmuzy yang merekam adegan Jokowi sedang melempar sejumlah bingkisan dari dalam mobil yang ditumpanginya. Video yang berdurasi 30 detik itu pun diunggah oleh akun Twitter @DPP_PPP.

Begitulah yang terjadi. Selebrasi polulisme memang sering dilakukan oleh jajaran elite politik belakangan ini. Maka, di tahun 2018-2019 yang disebut-sebut sebagai tahun-tahun politik, terkait pilkada serentak 2018 dan pemilu legislatif serta pilpres 2019, bangsa kita layak bersiap-siap menyaksikan sejumlah selebrasi populisme yang akan dilakukan pemimpin dan kandidat-kandidat pemimpin yang akan berlaga pada kontestasi demokrasi.

Salah satu contoh selebrasi populisme, misalnya, mereka mendekati rakyat dengan sikap merakyat. Tujuannya sudah barang tentu untuk menarik simpati rakyat.

Bagi pemimpin dan kandidat pemimpin di mana pun, selebrasi populisme yang mampu menimbulkan rasa haru dan simpati yang bersifat massal adalah modal penting untuk mendongkrak popularitas yang bersangkutan.

Cara ini juga kerap dipakai oleh tokoh-tokoh dunia. Ambil contoh Donald Trump.  Ketika melawat ke China pada tanggal 8 November 2017 yang lalu, Presiden Amerika Serikat tersebut  juga mencoba menggunakan selebrasi populisme untuk menumbuhkan rasa haru dan simpati bangsa China.

Saat itu, lewat video yang diunggah di YouTube, Arabella Kushner, cucu Trump tampil mengenakan pakaian khas China sedang menyanyikan lagu berbahasa Mandarin dan membaca puisi klasik China. Seluruh pejabat dan rakyat China yang menyaksikannya sangat terharu dan simpati.

Selebrasi populisme yang dipakai Trump ketika melawat ke China tersebut tergolong baru. Cocok untuk disaksikan generasi milenial di zaman now. Karena itu layak diprediksi akan digunakan dalam kesempatan-kesempatan lain ketika melawat ke negara-negara lain. Malah ada kemungkinan cara-cara yang ditempuh Trump itu juga akan ditiru oleh pemimpin-pemimpin lain di seluruh dunia.

Jika dilacak lebih jauh, hampir semua pemimpin di mana pun selalu suka melakukan selebrasi populisme tersebut. Misalnya, ketika berkunjung ke suatu tempat dan melihat rakyat berkerumun, yang pertama-tama dilakukan adalah segera menjabat dan memeluk salah satu rakyat yang dianggap sangat miskin. Atau segera membopong anak kecil dan mengelus-elusnya dengan lembut. Bagi yang menyaksikannya akan terharu dan simpati.

Menikmati kemiskinan

Dalam sejarah Indonesia, kita tentu juga masih ingat, betapa dulu Soekarno, Soeharto, Habibie, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono juga suka melakukan selebrasi populisme. Foto-foto mereka yang tampak sangat akrab dengan rakyat kelas bawah di negeri ini bertebaran di lembaran-lembaran arsip. Tampaknya, cara tersebut sudah lumrah dilakukan oleh para pejabat kita.

Selebrasi populisme yang bisa menimbulkan rasa haru dan simpati massal, terutama di kalangan rakyat kecil, hanya akan menguntungkan bagi pemimpin yang menggunakannya saja. Tidak lebih. Sebaliknya, sama sekali tidak menguntungkan bagi rakyat kecil kebanyakan yang butuh perhatian.

Karena itu, pemimpin yang suka menggunakan selebrasi populisme dengan cara memeluk dan mengelus-elus rakyat miskin yang ditemuinya dalam kunjungan kerja tak layak dipuji. Ini terjadi kalau kebijakan-kebijakan politiknya ternyata memang tidak populis. Atau malah tidak mengutamakan kepentingan rakyat miskin.

Justru kalau ada pemimpin suka menggunakan selebrasi populisme seperti itu ternyata membiarkan rakyat miskin tetap miskin atau bahkan makin sengsara layak dianggap sebagai pembohong atau suka berpura-pura. Pemimpin demikian bisa jadi justru senang menikmati kemiskinan yang merundung rakyatnya.

Dengan demikian, jika sekarang Presiden Jokowi sudah telanjur dikenal sebagai pemimpin yang populis, karena memang suka menggunakan selebrasi populisme, ini menjadi peringatan. Jokowi layak diingatkan untuk segera mengevaluasi semua kebijakan politiknya. Agar jika ada kebijakan politiknya yang tidak memihak rakyat miskin bisa segera dibuang dan diganti dengan kebijakan baru yang betul-betul memihak rakyat miskin.

Harus ditegaskan, bagi rakyat miskin, bukan selebrasi populisme yang dibutuhkan, melainkan kebijakan yang betul-betul populis. Tak ada gunanya bagi rakyat miskin jika misalnya setiap hari bisa bertemu Presiden yang kemudian mengelus-elus dan memeluknya dengan lembut tapi kehidupannya sehari-hari dirundung kemiskinan akut dan kronis.

Layak juga diingat, seperti yang telah banyak ditulis sejarah, efek samping selebrasi populisme bisa sangat berbahaya bagi rakyat miskin. Bahkan juga bisa berbahaya bagi bangsa dan negara, jika terus menerus digunakan pemimpin tapi kebijakan politiknya tidak lah populis.

Misalnya, rakyat miskin, yang jumlahnya merupakan mayoritas di negeri ini, yang telanjur terharu dan simpati kepada pemimpin yang suka menggunakan selebrasi populisme. akan ikut-ikutan menikmati kemiskinan yang dialaminya. Kemudian selalu mendukung pemimpin tersebut, sehingga pemimpin tersebut berkuasa dalam waktu lama.

Publik tentu tidak berharap Jokowi menjadi pemimpin yang suka mengajak orang-orang kaya dan jajaran pejabat menikmati kemiskinan rakyat. Lalu, rakyat ikut-ikutan menikmati kemiskinan yang dialaminya.

Manaf Maulana
Peneliti Budaya Politik

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×