kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyoal diskriminasi di tempat kerja


Jumat, 13 Juli 2018 / 16:06 WIB
Menyoal diskriminasi di tempat kerja


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi


Gara-gara berbeda pilihan politik dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak, akhir Juni lalu, seorang guru sekolah dasar di Bekasi, Jawa Barat dipecat dari sekolah tempatnya mengajar. Dalam kasus lain, salah seorang kawan saya beberapa waktu lalu diminta berhenti bekerja dari sebuah yayasan yang berafiliasi dengan agama tertentu. Hanya karena yang bersangkutan menikahi seorang perempuan yang berasal dari kelompok sekte agama yang berbeda.

Dua kasus di atas merupakan contoh nyata praktik diskriminasi di lingkungan kerja. Secara sederhana, diskriminasi di lingkungan kerja dapat didefinisikan sebagai setiap perlakuan yang berbeda ataupun tindakan pengecualian yang memiliki dampak buruk bagi pekerja, yang disebabkan oleh adanya karakteristik yang berbeda yang notabene sama sekali tidak terkait dengan kompetensi/persyaratan yang harus dipenuhi seseorang pekerja.

Sudah barang tentu, langkah hukum berupa gugatan melalui pengadilan industrial dapat ditempuh pekerja yang mendapatkan perlakuan diskriminatif. Praktik diskriminasi di lingkungan kerja merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak pekerja, yang seharusnya senantiasa diperlakukan sama, sebagaimana diatur dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 111 Tahun 1958 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan.

Berdasarkan kasus yang selama ini berhasil diidentifikasi ILO, terdapat beberapa faktor yang sejauh ini kerap menjadi dasar untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap pekerja.

Pertama, agama/keyakinan. Diskriminasi berbasis agama/keyakinan di tempat kerja sama sekali tidak boleh kita tolerir.

Kendatipun demikian, ada beberapa hal sangat khusus yang perlu diterapkan di tempat kerja yang boleh jadi dapat membatasi kebebasan pemeluk agama tertentu. Sebagai contoh, agama tertentu mungkin saja mensyaratkan pengenaan model baju tertentu yang justru pada posisi pekerjaan tertentu malah tidak mungkin digunakan karena tidak sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan kerja. Pada kasus seperti ini, hak pekerja untuk melaksanakan keyakinan agamanya tampaknya perlu dikompromikan dengan kebutuhan demi memenuhi persyaratan prosedur standar pekerjaan di tempat kerja.

Kedua, pandangan politik. Diskriminasi di lingkungan kerja yang terkait dengan pandangan politik. Antara lain sikap politik, pilihan politik serta keanggotaan partai politik.

Setiap individu sesungguhnya memiliki kebebasan penuh untuk menyatakan sikap politik, menentukan pilihan politik serta mempunyai kebebasan pula dalam menentukan masuk maupun tidak masuk sebagai anggota sebuah partai politik. Maka, perusahaan sama sekali tidak memiliki hak mengatur para pekerja dalam menentukan sikap politik dan menentukan pilihan politik.

Ketiga, penyandang disabilitas. Di seluruh dunia saat ini ditaksir ada sekitar 470 juta angkatan kerja yang merupakan penyandang disabilitas. Pada hakikatnya, semua individu, baik itu mereka yang termasuk kelompok normal maupun kaum penyandang disabilitas, memiliki peluang yang sama dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam dunia kerja. Namun, faktanya, sebagian besar penyandang disabilitas masih sulit masuk ke dunia kerja dan terpaksa hidup dalam kemiskinan dan menganggur akibat masih adanya diskriminasi dan marginalisasi terhadap penyandang disabilitas.

Keempat, penyandang HIV/AIDS. Pengidap HIV/AIDS kerap diperlakukan secara diskriminatif di lingkungan kerja dan di masyarakat tempat mereka tinggal. ILO menyatakan tidak semestinya ada perlakuan diskriminatif maupun stigmatisasi pekerja berdasar adanya HIV/AIDS. Menurut ILO, skrining HIV/AIDS sebaiknya juga tidak dilakukan sebagai persyaratan dalam proses melamar pekerjaan.

Kelima, ras/warna kulit. Perlakukan yang berbeda di tempat kerja atas dasar ras/warna kulit diyakini masih sering ditemukan di banyak negara. Bentuk paling umum diskriminasi di tempat kerja berdasar pada ras/warna kulit ini yaitu yang melibatkan kelompok etnis/suku tertentu.

Bisa terjadi di perekrutan

Keenam, seks. Perlakukan berbeda di tempat kerja tidak jarang dipicu oleh adanya perbedaan karakter biologis. Salah satunya yaitu diskriminasi yang diberlakukan atas dasar perbedaan jenis kelamin. Selain itu, ukuran tubuh, seperti tinggi badan/berat badan, juga kerap dijadikan dasar untuk melakukan tindakan diskriminatif di lingkungan kerja. Padahal, pada banyak bidang pekerjaan, perbedaan karakteristik biologis itu umumnya sama sekali tidak memiliki dampak langsung terhadap tugas/tanggungjawab pekerjaan yang dipikul oleh pekerja.

Selain aspek di atas, faktor lain seperti usia, afiliasi/keanggotaan serikat kerja, orientasi seksual, kewarganegaraan dan juga status sosial sering pula dijadikan dasar untuk melakukan diskriminasi terhadap pekerja.

Diskriminasi di lingkungan kerja sendiri dapat terjadi mulai saat perekrutan, selama masa kerja atau menjelang akhir masa kerja. Dampak dari diskriminasi di lingkungan kerja bisa beragam, seperti perolehan remunerasi yang tidak semestinya, ketimpangan dalam memperoleh kesempatan mengikuti program pelatihan dan promosi jabatan, terancamnya keselamatan dan keamanan pekerja hingga kepada pemutusan hubungan kerja.

Diskriminasi di lingkungan kerja dapat bersifat terbuka, dinyatakan secara jelas, dan merupakan kebijakan resmi perusahaan. Bisa juga bersifat tertutup sehingga sebagian besar pekerja bahkan tidak menyadari adanya diskriminasi tersebut.

Apa pun bentuknya, dan seberapa kecil skalanya, tindakan diskriminatif sama sekali tidak boleh dilakukan di lingkungan kerja. Bekerja dan mendapatkan upah yang layak adalah bagian dari hak azasi manusia. Setiap orang memiliki hak sama dan setara dalam mendapatkan pekerjaan, mendapatkan upah yang layak serta memperoleh jaminan sosial lainnya sesuai dengan aturan ketenagakerjaan yang berlaku.

Pemerintah, organisasi profesi, serikat pekerja, media, lembaga swadaya masyarakat dan juga para pelaku dunia usaha mesti bahu-membahu bekerjasama dalam upaya meminimalisir terjadinya bentuk diskriminasi di lingkungan kerja. Program sosialisasi yang menyasar berbagai elemen masyarakat dan kelompok pekerja perlu pula dirancang guna meningkatkan kesadaran publik dalam ikut membendung serta menangkal praktik diskriminasi di lingkungan kerja.

Hal-hal yang samasekali tidak ada kaitannya dengan kompetensi pekerjaan sudah selayaknya tidak dijadikan pijakan untuk memperlakukan pekerja secara berbeda. Diskriminasi di lingkungan kerja bukan saja tidak sesuai dengan spirit kemanusiaan yang adil beradab serta keadilan sosial bagi seluruh masyarakat, sebagaimana tercantum pada butir-butir Pancasila, tetapi juga berlawanan dengan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia.•

Djoko Subinarto
Kolumnis dan alumnus Universitas Padjadjaran

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×