kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyoal induk BUMN


Senin, 20 November 2017 / 12:18 WIB
Menyoal induk BUMN


| Editor: Tri Adi

Satu pekerjaan besar dituntaskan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Saat mata publik asik mencermati kontroversi Setya Novanto, instansi yang dikomandani Rini Soemarno itu menunjuk PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) sebagai induk usaha tiga BUMN tambang; PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Timah Tbk (TINS), dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM).

Selepas menjadi holding BUMN tambang, aset Inalum naik dari kisaran Rp 20-an triliun menjadi sekitar Rp 80 triliun. Jika mengacu harga pasar kemarin (17/11), transaksi ini melibatkan nilai sekitar Rp 31 triliun. Namun, lewat skema inbreng, Inalum tak perlu merogoh kantong untuk  menguasai 65% saham ketiganya.

Salah satu misi holding tambang adalah mencaplok 41% saham PT Freeport Indonesia yang konon perlu Rp 51 triliun. Porsi itulah yang akan digotong holding BUMN ini.

Meski demikian, pembentukan holding BUMN masih menyisakan pro-kontra, baik dari sisi hukum, pasar modal maupun aspek keuangan. Di ranah pasar modal, misalnya. Pengalihan saham tiga emiten tambang itu memicu kontroversi, terutama berkaitan dengan kewajiban tender offer saham ketiganya.

Sebagian kalangan menilai Inalum tidak wajib menggelar tender offer karena tidak mengubah pengendali.  Namun Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Tito Sulistyo mengingatkan, Inalum harus mengutamakan hak pemegang saham minoritas. Mereka yang merasa dirugikan transaksi ini harus diberi kesempatan menjual sahamnya melalui penawaran tender. "Meski pengendali sama, substansi  hak pemegang saham publik jadi berbeda," ujar Tito (Harian KONTAN, 17 November 2017).

Kontroversi lain bersumbu pada perubahan status PTBA, TINS dan ANTM. Sebab kini ketiganya berkasta anak usaha, bukan BUMN lagi.

Perubahan status ini memang memangkas birokrasi. Mereka bisa mudah dan lincah memutuskan aksi korporasi, menggelar ekspansi hingga mencari modal segar karena tak perlu meminta restu pemerintah maupun DPR. Tapi perubahan status itu juga menyisakan area abu-abu, baik aspek hukum maupun implikasi finansial termasuk bagi keuangan negara yang tak kalah pelik.

Urusan tata kelola, sebagai contoh. Kini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tak berkewajiban mengaudit ketiganya. Dus, pengelolaan ketiganya diserahkan sepenuhnya pada standar tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).  Mampukah mereka menerapkan GCG tanpa pengawasan ketat BPK dan DPR? Itulah sejumput keraguan yang harus dijawab pemerintah.

Nah, boleh jadi publik hanya setengah hati melihat pembentukan holding BUMN tambang karena minim sentuhannya dengan kepentingan publik. Tapi ingat, selain induk tambang, pemerintah tengah merancang holding keuangan, serta induk usaha konstruksi. Konsekuensi maupun implikasi hukum dan finansialnya sama dengan holding tambang.

Bedanya, induk usaha keuangan serta holding konstruksi bersentuhan langsung dengan hajat publik.  Holding keuangan berkaitan dengan pengelolaan dana publik, sementara induk usaha BUMN  konstruksi berhubungan dengan kelangsungan penyediaan fasilitas publik maupun penyelenggaraan infrastruktur vital.

Oleh karena itu, pembentukan induk usaha BUMN  dua sektor itu harus transparan, terbuka, tak boleh sembrono, dan menjelaskan manfaat dan mudaratnya. Sebab kedua sektor itu sungguh strategis lantaran bersentuhan langsung dengan kepentingan publik dan nasional.    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×