kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyoal korporatisasi pelabuhan UPT


Jumat, 22 September 2017 / 16:07 WIB
Menyoal korporatisasi pelabuhan UPT


| Editor: Tri Adi

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi belakangan ini gencar mendorong penyerahan pelabuhan yang dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Perhubungan kepada BUMN kepelabuhan dan swasta. Menurutnya, kebijakan ini – sebut saja korporatisasi pelabuhan UPT – dipilih agar garis batas antara fungsi regulator dan fungsi operator yang melekat pada Kemhub makin dipertegas. Selama ini kedua fungsi tersebut berkelindan sehingga mengaburkan tugas pokok kementerian. Belum lagi ada satu fungsi Kemhub sebagai auditor, yang seringkali menimbulkan masalah di lapangan.

Merespon “jualan” Menhub, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) diberitakan siap membeli. Keempat Pelindo kini tengah menghitung kelayakan pengelolaan pelabuhan UPT bagi usaha mereka. Dari 2.000 lebih pelabuhan UPT yang saat ini beroperasi dari Sabang hingga Merauke tentu hanya sebagian kecil yang akan dikelola Pelindo sesuai kelayakan bisnis. Di samping itu, Menhub  sejauh ini hanya menawarkan satu-dua pelabuhan UPT kepada BUMN kepelabuhan dan swasta.

Sejauh ini gagasan Menhub Budi Karya  baik-baik dan sah-sah saja. Dan, pada derajat tertentu, sepertinya ia melanjutkan pemikiran Menhub sebelumnya, Ignasius Jonan. Cuma, Jonan memilih mengkorporatisasi pelabuhan UPT dengan menjadikannya sebagai badan layanan umum atau BLU. Sayang, ia tak berhasil mewujudkan gagasannya karena keburu dicopot dari posisi Menhub.

Kendati demikian, ada sejumlah catatan kecil yang bisa disajikan terhadap program korporatisasi pelabuhan UPT tersebut. Pertama, kebijakan tersebut menguak betapa tidak berdayanya pemerintah daerah (pemda) dalam tata kelola bisnis pelabuhan. Coba perhatikan setting, context dan actor dalam wacana tersebut. Semua elemen ini hanya melibatkan level nasional, tidak ada satu pun yang melibatkan level daerah atau pemda.

Lebih baik kaji lagi

Padahal, peran pemda amat penting dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan namanya berserakan di dalam pasal-aturan tersebut. Namun, yang terjadi “jualan” pelabuhan UPT telah menyampingkan peran pemda sama sekali. Situasi ini amat ironis mengingat pelabuhan UPT secara geografis berada dalam wilayah atau jurisdiksi pemda. Tak jarang pelabuhan UPT itu hanyalah sejemput area di sudut kecamatan sebuah kota atau kabupaten dan fasilitas yang tersedia untuk kapal pun hanyalah pelantar kayu yang panjangnya seringkali tak sampai 100 meter.

Kalau dermaga terbuat dari semen, itu sudah luar biasa. Jangan tanya soal gudang atau alat bongkar-muat. Tetapi, aset yang tidak seberapa tersebut dikuasai Kemhub dan dikendalikan dari Jakarta. Wali kota atau Bupati hanya sebagai penonton saja.  

Apa salahnya fasilitas tersebut diserahkan ke pemda dan dalam wacana korporatisasi pelabuhan UPT dan yang “jualan” adalah wali kota atau bupati? Jika ini yang terjadi, alangkah indahnya hubungan antara pemerintah pusat dan pemda dalam bidang tata kelola pelabuhan. Pusat jangan mau enaknya saja sementara yang tidak enak diserahkan kepada daerah. Berat sama dipikul, ringan sama dipanggul.

Catatan kecil kedua, wacana korporatisasi pelabuhan UPT akan mengubah tatanan kepelabuhan secara mendasar jika tidak mau menyebut mengacaukannya. Maksudnya begini. Berdasarkan UU No. 17/2008 tentang Pelayaran, pemerintah mendelegasikan pengelolaan pelabuhan kepada badan usaha pelabuhan dalam bentuk konsesi. Dalam catatan penulis, kata konsesi ini tidak pernah disebut-sebut Budi Karya.

Lantas, apa skema penyerahan pelabuhan UPT kepada Pelindo atau swasta: KSO, joint operation atau penugasan? Kita perlu memberi waktu kepada Menhub untuk menjawab pertanyaan ini tetapi jangan kelamaan. Ia perlu sekali menjawab karena sudah ada kasus hukum terkait pemberian konsesi yang melibatkan Pelindo II dan mitra asing.

Niat baik untuk memajukan bisnis kepelabuhan nasional memang perlu didukung tapi niat baik saja tidak cukup. Niat itu harus diwujudkan dengan cara yang baik pula agar terhindar dari kasus hukum dan kegaduhan publik di kemudian hari. Sudah banyak contoh bagaimana program pihak eksekutif harus berhadapan dengan gugatan masyarakat karena ia dijalankan dengan menomorduakan aturan.

Kaji lagi korporatisasi pelabuhan UPT yang libatkan banyak pihak yang berkepentingan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×