kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mewaspadai ancaman yang senyap


Jumat, 09 Februari 2018 / 09:28 WIB
Mewaspadai ancaman yang senyap


| Editor: Tri Adi

Setahun lalu, masih sulit meyakinkan siapapun pertumbuhan dunia akan membaik. Kini, rata-rata analisa ekonomi berpendapat pertumbuhan ekonomi dunia akan membaik dan terus merevisi estimasi tersebut ke atas.

Pandangan kian positif juga terjadi di Indonesia. Dengan estimasi pertumbuhan ekonomi tahun ini mencapai 5,4%, ditambah tingkat inflasi yang relatif terjaga, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun melesat. Padahal enam bulan lalu kita masih didera pembahasan pelemahan daya beli.

Warren Buffet, investor legendaris Amerika selalu mengingatkan bahwa di saat semua orang sedang sangat positif, sebaiknya kita lebih waspada (fearful when everyone is greedy). Mungkin, bila kita mencoba mengambil hikmah dari nasihat yang diberikan Warren Buffet, ada baiknya untuk menilik risiko yang bisa mengancam ekonomi kita ke depannya.

Saat menilik potensi risiko, saya teringat pepatah Indonesia, air beriak tanda tidak dalam. Banyak risiko yang terdapat di benak banyak orang dan kerap menjadi bahan perbincangan yang hangat. Namun, risiko yang paling berbahaya adalah silent threat, sebuah ancaman senyap yang tidak terdeteksi sebelumnya.

Dalam bahasa Inggris, terdapat sebuah ungkapan, rip current under steady water. Air dengan permukaan yang tenang, di bawah terdapat arus yang berbahaya. Mungkin dalam bahasa Indonesia peribahasa air tenang menghanyutkan memiliki arti yang serupa. Sebagai contoh adalah krisis ekonomi dunia di tahun 2008. Banyak pengamat dan ekonom pada awalnya sibuk mencari informasi dasar atas subprime dan credit default swap (CDS), yang menjadi pemicu dari krisis tersebut. Artinya banyak dari para ahli sekalipun tidak mengetahui tentang apa sebenarnya subprime dan CDS sehingga ancaman tersebut seakan muncul tiba-tiba. Sebenarnya, ancaman tersebut telah lama ada, hanya tidak terdeteksi dan menjadi ancaman senyap.

Di Indonesia, kita tentu masih ingat bagaimana tahun 2012 ekonomi negara kita mencatatkan pertumbuhan yang cukup mapan, dengan rupiah yang terus menguat. Tiba-tiba di 2013 semua itu berbalik arah. Ini terjadi karena pembengkakan impor yang membuat defisit perdagangan kian melebar. Namun, risiko itu menjadi ancaman senyap di tahun 2012 dan baru muncul di 2013.

Dengan semua pengalaman diatas, ada baiknya kita mulai menilik potensi risiko ancaman senyap. Tentunya risiko politik tidaklah lagi menjadi ancaman senyap. Pertama karena risiko ini telah menjadi topik pembicaraan hangat dan sebagaian besar telah mempersiapkan diri atas risiko tersebut.

Kedua, berbagai pengalaman yang dilalui Indonesia membuktikan negara kita cukup dewasa dalam menghadapi tahun politik sebelumnya. Secara personal, risiko politik terkesan lebih sebagai air beriak dan semoga tidak memiliki efek yang dalam.

Ancaman senyap yang mungkin perlu dicermati adalah kenaikan harga minyak dunia yang disertai peningkatan harga komoditas. Di satu sisi, peningkatan ini membantu daya beli masyarakat Indonesia, terutama dari daerah penghasil komoditas. Di sisi lain, kenaikan harga minyak dunia telah melampaui harga bahan bakar minyak (BBM). Bila pemerintah mengerek harga BBM maka dapat menggerus daya beli masyarakat yang baru saja mulai membaik. Namun, bila pemerintah mempertahankan harga BBM, bila harga minyak dunia terus naik, bukan tidak mungkin di kemudian hari pemerintah terpaksa meningkatkan harga BBM dan menyebabkan lonjakan inflasi secara tiba-tiba.

Bila pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan harga BBM, biaya untuk menstabilisasi harga BBM tidak dapat diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di tahun 2014, pemerintah telah mengumumkan pencabutan subsidi BBM dan bila biaya untuk menstabilkan harga BBM diambil dari APBN, hal ini akan menurunkan kredibilitas pemerintah dan menyebabkan Standard and Poors (S&P) menurunkan peringkat Indonesia menjadi di bawah investment grade. Hal ini dapat menyebabkan penurunan harga obligasi pemerintah dan aksi jual dari investor asing di mana dapat berimbas pada stabilitas rupiah.

Tidak menghanyutkan

Di sisi lain, kenaikan harga minyak dunia memberikan dampak positif bagi APBN melalui peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Apabila biaya untuk menstabilkan harga BBM tidak diambil dari APBN, maka dikhawatirkan investor global memandang APBN Indonesia tidak transparan. Bila sebagian dari investor asing memutuskan untuk menarik dana investasi, ini juga berisiko menyebabkan arus keluar yang dapat meningkatkan risiko gejolak pada rupiah.

Keberlangsungan peningkatan harga minyak dunia dan komoditas lainnya dapat juga berimbas pada peningkatan permintaan kredit perbankan, terutama untuk modal kerja. Peningkatan ini secara kasat mata terkesan positif. Namun, karena peningkatan ini disebabkan oleh kenaikan biaya, maka sebenarnya tidak memiliki dampak terlalu positif bagi pertumbuhan ekonomi keseluruhan.

Peningkatan permintaan kredit dengan sendirinya perlu juga diwaspadai. Saat ini terdapat likuiditas yang cukup di perbankan, ditunjang oleh peningkatan dana pihak ketiga. Peningkatan permintaan kredit dapat menggerus likuiditas perbankan. Ketersediaan likuiditas pun cenderung tidak merata dan didominasi oleh bank-bank besar. Maka, bila terjadi penurunan ketersediaan likuiditas, bukan tidak mungkin bank menengah dan kecil akan terpaksa mengerek bunga deposito.

Peningkatan dana pihak ketiga sebagian karena pengusaha masih enggan melakukan ekspansi pada bisnis mereka di tahun politik ini. Namun, mereka mulai mendapatkan tambahan dana dari usahanya yang mulai bergeliat. Karena bunga simpanan yang cenderung turun, banyak dari dana tersebut dialihkan untuk diinvestasikan di pasar modal.

Bila berlebih, langkah ini berpotensi menyebabkan arus uang panas (hot money), tetapi kali ini bukan dari investor asing, melainkan dari investor domestik. Bila kondisi ekonomi dan politik Indonesia terus kondusif, bukan tidak mungkin dana tersebut akan diperlukan pengusaha untuk membiayai pengembangan dari usaha mereka dan ditarik dari penempatan yang mereka lakukan di pasar modal saat ini.

Bila tidak menilik lebih dalam dan hanya bergantung pada angka-angka yang ada di tingkat permukaan, maka kemungkinan kita akan mendapatkan gambaran yang sangat kondusif. Sebagai contoh, tanpa menggali lebih dalam, yang akan kita temui kemungkinan adalah perbaikan pertumbuhan ekonomi dan angka inflasi yang relatif terjaga, disertai dengan pertumbuhan ekspor dikarenakan kenaikan harga komoditas dan perbaikan permintaan kredit perbankan. Angka-angka ini kemungkinan besar akan memberikan sentimen yang cukup positif bagi investor.

Namun, kita berharap bahwa air yang tenang ini tidak berbalik menjadi menghanyutkan di kemudian hari karena di bawah air yang tenang ini, terdapat arus yang semoga tidak bertambah kuat dan menjadi membahayakan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×