kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mewaspadai gejala depresiasi rupiah


Senin, 16 Oktober 2017 / 15:59 WIB
Mewaspadai gejala depresiasi rupiah


| Editor: Tri Adi

Kecenderungan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akhir-akhir ini sebaiknya mendapatkan perhatian yang proporsional, baik dari otoritas moneter, pemerintah maupun pelaku ekonomi. Lantaran rupiah kini sudah bertengger di kisaran Rp 13.500-an. Sejak 20 September 2017, rupiah telah terdepresiasi 2,2% terhadap dollar AS. Secara umum, melemahnya rupiah akan merugikan perekonomian nasional. Bank Dunia juga sudah memberi peringatan, penguatan dollar AS berpotensi meningkatkan risiko di beberapa negara Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina. Utang Indonesia malah terbesar di ASEAN mencapai US$ 268,81 miliar.

Untuk mengantisipasi dan mengurangi risiko fluktuasi nilai tukar maka beberapa pakar, terutama bidang keuangan internasional melakukan rekayasa keuangan, salah satunya menciptakan instrumen lindung nilai mata uang (hedging). Secara prinsip hedging hampir sama dengan asuransi, yakni asuransi mata uang. Dua pihak yang bertransaksi mempunyai hak dan kewajiban masing-masing layaknya perusahaan jasa asuransi yang menyediakan jaminan dan pembeli polis yang harus membayar sejumlah premi untuk melindungi dirinya.

Harus disadari bahwa fluktuasi nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang negara lain, terutama dollar AS belum berakhir. Dalam beberapa bulan ke depan masih ada potensi risiko fluktuasi yang lebih tajam. Perekonomian AS saat ini sedang mengalami tren pemulihan yang meyakinkan, di tengah kekuatan ekonomi lain yang kinerjanya masih melemah.

Di sinilah diperlukan kesadaran dan kesamaan visi dari semua pihak agar ke depan tidak ada yang menanggung risiko terlalu besar. Dengan kata lain isu tentang mitigasi risiko nilai tukar menjadi relevan. Pengalaman pahit periode 1997/1998 mengajarkan bahwa bersikap menganggap remeh terhadap fluktuasi nilai tukar bisa mengakibatkan bencana yang berskala masif. Tetapi dalam kenyataannya, kesadaran tersebut sampai saat ini belum tertanam secara mendalam.

Dalam sejarahnya instrumen lindung nilai lebih dahulu diaplikasikan pada bursa komoditi. Keprihatinan beberapa pihak bahwa produsen produk pertanian yang sering dirugikan ketika terjadi panen raya menjadi dasar pertimbangannya. Mekanisme pasar produk pertanian menyebabkan pada saat pasokan barang pertanian melimpah, harga produk sering jatuh. Petani, baik yang berskala besar maupun kecil menjadi pihak yang paling terpukul. Harapan untuk menikmati hasil panen yang memuaskan menjadi tidak terwujud. Permainan tengkulak yang cenderung bertindak spekulatif menambah runyam masalah. Peristiwa ini hampir selalu berulang dan menjadi problem klasik yang meresahkan.

Perlu aksi lindung nilai

Muncullah ide untuk meluncurkan sebuah produk keuangan yang bisa meminimalisir potensi kerugian yang mungkin timbul. Hedging atau lindung nilai di bidang pertanian mengandung makna produsen sepakat dengan suatu pihak untuk menjual produk pertanian dalam waktu tertentu, di harga tertentu seperti yang sudah disepakati bersama. Gagasan ini kemudian berkembang, baik dalam hal diversifikasi produk, maupun teknik lindung nilai yang digunakan.

Salah satu bidang mengadopsi hal tersebut adalah pasar valuta asing untuk hedging mata uang. Produsen barang/jasa yang nilai komponen impornya tinggi bisa lebih terlindungi, dan sebaliknya bagi eksportir, dia akan lebih mendapatkan jaminan pendapatan seandainya hal yang sebaliknya terjadi.

Pihak yang sangat berkepentingan dengan transaksi lindung nilai adalah korporasi yang memiliki eksposur utang luar negeri besar, baik perusahaan pemerintah (BUMN) maupun swasta. Fluktuasi nilai tukar mata uang yang bergerak liar akan sangat mengganggu eksposur keuangan perusahaannya di masa depan. Kewajiban pembayaran nilai pokok dan bunga utang luar negeri bisa membengkak dalam mata uang lokal seandainya tidak melakukan langkah antisipasi.

Yang mengkhawatirkan, utang swasta yang sudah lindung nilai baru 26,5%. Adapun sebesar 26,5% utang luar negeri dimiliki korporasi yang berorientasi ekspor, sehingga bisa dikatakan secara implisit sudah ada lindung nilai secara natural. Sisanya sebesar 47% belum melakukan lindung nilai. Bisa dibayangkan jika tren turunnya rupiah berlanjut. Ini tidak cuma berpengaruh ke korporasi tapi bisa  membahayakan perekonomian nasional.

Untuk mengantisipasi risiko buruk yang mungkin timbul, pada bulan Oktober 2014, telah dikeluarkan Peraturan BI Nomor 16/21/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Non bank. PBI yang berlaku 1 Januari 2015 itu antara ain mengatur ketentuan rasio likuiditas dan peringkat utang. Intinya korporasi non bank wajib melakukan lindung nilai terhadap 20% dari selisih negatif antara utang valas dengan aset valas, dan besaran rasio tersebut akan ditingkatkan secara bertahap.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga tengah menyusun rancangan peraturan terkait dengan lindung nilai yang sesuai dengan prinsip syariah. Salah satu poin penting dalam rancangan tersebut adalah manajemen risiko yang harus disiapkan bank syariah. Kebutuhan lindung nilai yang cukup penting adalah terkait pelaksanaan ibadah haji. Lantaran komponen biaya hari didominasi mata uang asing.

Dari aspek bisnis, praktik lindung nilai menawarkan potensi yang cukup menggiurkan. Bank Mandiri menghitung, potensi bisnis ini bisa mencapai US$ 11 miliar, dengan perincian US$ 10 miliar berasal dari perusahaan non BUMN, sedangkan sisanya berasal dari entitas BUMN.

Salah satu BUMN yang butuh pasokan dollar AS dalam jumlah besar adalah Pertamina, untuk impor minyak yang dalam sehari berkisar . Dalam sehari kebutuhan dollar Pertamina sekitar US$ 150 juta - US$ 200 juta. Jika kebutuhan ini mengandalkan pasar spot, tanpa memanfaatkan instrumen lindung nilai, tentu berisiko terhadap fluktuasi nilai tukar dan keuangan perusahaan.

Jadi penggunaan lindung nilai sudah jadi kebutuhan mendasar, begitu juga  mitigasi risiko nilai tukar mata uang saat perekonomian global belum stabil.      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×