kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45916,43   -7,06   -0.76%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mitigasi dampak kenaikan harga batubara


Kamis, 22 Februari 2018 / 17:10 WIB
Mitigasi dampak kenaikan harga batubara


| Editor: Tri Adi

Kurva harga batubara internasional menunjukan tren peningkatan signifikan dalam satu tahun terakhir. Harga di Januari 2018 tercatat sebesar US$ 106,78 per metrik ton meningkat dibandingkan harga di bulan yang sama pada 2017 sebesar USD 83,73 per metrik ton (Bloomberg, 2018). Selama periode tersebut, harga telah naik 27,5%.

Peningkatan harga berdampak terhadap harga batubara acuan (HBA) dalam negeri. Berdasarkan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), HBA pada Februari 2018 naik sebesar 5,3% dibandingkan HBA pada Januari 2018, yaitu dari US$ 95,54 per metrik ton menjadi US$ 100,69 per metrik ton.

Naiknya HBA dalam negeri berdampak terhadap kinerja keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Musababnya adalah 57% pembangkit listrik yang dioperasikan oleh perusahaan plat merah tersebut berbahan baku batubara. Kenaikan HBA dapat menaikan biaya operasional perusahaan. Jika tak ada intervensi kebijakan, kenaikan HBA dapat mengganggu arus kas PLN.

Belum selesai masalah keuangan yang melanda perusahaan setrum negara tersebut, seperti peringatan dari Menteri Keuangan terhadap kondisi arus kas perusahaan, beban kenaikan HBA tentu menambah rumit persoalan. Pemerintah juga sudah memastikan tidak akan menaikan harga listrik ke konsumen. Defisit biaya produksi dengan pendapatan akan semakin melebar.

Kesalahan utama adalah terlalu menggantungkan sumber energi listrik kepada satu jenis pembangkit yaitu pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Risikonya besar ketika harga input pembangkit naik maka secara agregat menciptakan beban biaya operasional yang besar. Apalagi, harga input seperti batubara memakai acuan harga internasional yang tak bisa dikendalikan oleh pemerintah.

Di dalam skema pengembangan energi listrik nasional, risiko ketergantungan terhadap batubara justru diperbesar. Tengok di dalam program 35.000 mega watt (MW), komposisi PLTU masih sangat besar. Artinya, kita tak pernah belajar dari masalah tapi justru menambah masalah.

Kondisinya diperparah dengan tak sinkronnya kebijakan ketenagalistrikan dengan kebijakan pertambangan. Produksi batubara terus digenjot tanpa mengestimasi kebutuhan batubara dalam negeri untuk masa yang akan datang. Coba bayangkan, produksi batubara di 2017 sebesar 461 juta metrik ton sedangkan serapan dalam negeri hanya 97 juta ton. Artinya, 78,9% dari produksi disalurkan ke luar negeri.

Program bauran energi

Pertanyaannya adalah kalau terus dieksploitasi berlebihan, apakah cadangan batubara nasional masih bisa memenuhi kebutuhan batubara dalam negeri untuk jangka panjang? Padahal dengan meningkatkan kapasitas pembangkit berbahan baku batubara akan menambah kebutuhan batubara untuk masa akan datang.

Jika cadangan batubara tak mampu memenuhi kebutuhan pembangkit tenaga listrik di dalam negeri tentu tak ada cara lain selain ekspor. Kalau ekspor, masalahnya semakin runyam karena akan semakin tergantung dengan kondisi pasar batubara global. Dan ketahanan energi nasional semakin bermasalah.

Cara yang paling efektif untuk keluar dari jebakan ketergantungan terhadap harga batubara adalah melakukan diversifikasi energi (bauran energi). Banyak alternatif penggunaan energi baru dan terbarukan (renewable energy) yang bisa dilakukan karena potensinya melimpah di Indonesia, seperti hidro, geothermal, surya, bayu, dan biomasa. Tapi potensinya belum banyak dimanfaatkan.

Pemerintah harus berupaya untuk meningkatkan kontribusi renewable energy dalam skema pengembangan energi listrik. Kendala yang dihadapi adalah masalah ketidakpastian regulasi, masalah tata ruang, sulitnya pembiayaan, persoalan perizinan, dan harga jual. Hal tersebut menyebabkan daya saing investasi di sektor ini tidak punya prospek.

Jadi tugas utama pemerintah adalah mengatasi bottleneck daya saing investasi di sektor tersebut. Karena ketahanan energi hanya bisa terwujud jika pemerintah mampu meningkatkan proporsi renewbale energy dalam kebutuhan energi nasional. Tanpa ada perbaikan maka potensi yang besar tersebut tidak akan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kebutuhan energi nasional.

Untuk jangka pendek, dalam upaya memitigasi dampak kenaikan harga batubara, pemerintah harus segera mengambil kebijakan taktis (quick wins). Salah satunya dengan merubah regulasi terkait penetapan HBA untuk pembangkit listrik. Selama ini, skemanya adalah memakai acuan harga batubara internasional, seperti Newcastle Global Coal Index, Platts59 Index, atau Newcastle Export Index.

Skema ini tentu sensitif dengan harga internasional. Sebaiknya skema penetapan HBA adalah biaya produksi batubara ditambah besaran margin yang disepakati. Sehingga harga batubara untuk kebutuhan pembangkit listrik tidak dipengaruhi oleh harga internasional.

Selain itu, efisiensi pada biaya produksi oleh PT PLN juga perlu dilakukan. Pembengkakan biaya terjadi karena ketidakseimbangan penawaran dengan permintaan. Di pembangkit Jawa-Bali, kapasitas terpasang dengan permintaan tidak seimbang. Terjadi over-supply yang berakibat pada inefisiensi. Pemerintah harus memastikan lagi keseimbangan pasar agar tidak terjadi inefisiensi.

Jika inefisiensi tersebut sudah bisa diatasi tapi masih belum mampu mengatasi arus kas PT PLN maka upaya menaikan harga bisa menjadi alternatif terakhir. Memang kebijakan ini tidak populis, apalagi di tahun politik. Tapi, tak ada upaya lain untuk mengatasi masalah ketidakseimbangan ini selain menaikan harga.

Salah satunya adalah penyesuaian tarif listrik. Selama ini, komponen tarif ditentukan oleh harga minyak mentah dalam negeri (Indonesia Crude Price/ICP), inflasi, dan kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Sebaiknya pemerintah memasukan HBA dalam negeri dalam komponen tarif. Tapi dengan syarat HBA ditentukan oleh biaya produksi ditambah besaran margin yang ditetapkan. Dan dievaluasi setiap tiga bulan.

Belajar dari kondisi diatas, sudah saatnya kita berpikir ulang terhadap grand design ketenagalistrikan nasional. Ketahanan energi yang menjadi pondasi pembangunan harus dibangun melalui skema diversifikasi energi. Tak bisa lagi, pemenuhan kebutuhan energi hanya bertumpu pada satu jenis pembangkit karena risikonya besar. Renewable energy harus menjadi masa depan menuju ketahanan energi. Dan kita bisa mewujudkannya karena potensinya sangat besar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×