kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Momentum kedigdayaan dana desa


Selasa, 16 Januari 2018 / 14:46 WIB
Momentum kedigdayaan dana desa


| Editor: Tri Adi

Merajut harapan dari desa, sehingga desa bisa menjadi poros kesejahteraan. Rasanya optimisme tersebut bakal terus berkibar. Tahun 2017 yang baru saja beranjak, meski hiruk pikuk politik seolah menjadi warna dominan, namun warta tentang dana desa yang jumlah dan serapannya terus meningkat seolah menjadi torehan prestasi dan harapan bagi pembangunan desa di negeri ini.

Maka tahun ini rasanya tidak berlebihan jika kisah indah dari desa sungguh layak untuk dinantikan. Kawasan yang didiami oleh sebagian besar penduduk negara ini, yang naasnya 63% kubangan kemiskinan juga terpotret dari wilayah desa.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) ada 17,098 juta orang miskin tinggal di desa dari total 27,77 juta orang miskin di Indonesia per Maret 2017. Bahkan hal ini semakin mencemaskan jika melihat Indeks Kedalaman Kemiskinan di perdesaan yang mencapai angka 2,49 per Maret 2017.  Angka tersebut sudah  di atas di bulan September 2016 yang masih berada pada  angka 2,32. Angka ini sejatinya sudah dua kali lipat diatas kota sebesar 1,24 pada Maret 2017. Hal ini memaklumatkan bahwa himpitan persoalan kemiskinan di desa lebih berat dibanding kondisi yang ada di areal perkotaan.

Maka pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menjadikan pembangunan desa sebagai kutub pembangunan nasional adalah kebijakan yang benar dan tepat. Bila mengutip Paul Krugman, sang peraih Nobel Ekonomi 2008, dalam bukunya yang berjudul “End this Depression Now” menuliskan pernyataan yang menarik. Katanya  bahwa pemerintah masa lalu bolehlah gagal dalam tata kelola perekonomian. Namun kepada pemerintahan “zaman now” bakal menjadi hal yang ganjil jika pemerintah yang bersangkutan justru gagal mengurus perekonomian saat ini karena telah mewarisi dua hal pokok yang harus diperhatikan yakni ilmu pengetahuan dan sejarah.

Memang setiap zaman membawa tantangan yang tersendiri dan tentu lebih kompleks. Namun berbicara tentang kebijakan  pembangunan desa selama ini malah tidak kunjung memajukan desanya serta mensejahterakan warganya (khususnya petani).

Maka  kebijakan pembangunan desa di masa lalu adalah modal sejarah yang tidak perlu kita ulang. Sekedar memanggil ingatan tentang jejak sejarah kebijakan pembangunan desa, Selama ini terdapat banyak pendekatan pembangunan perdesaan dari zaman ke zaman, dari rezim ke rezim. Bila kita lacak bersama, setelah era reformasi, pemerintah Habibie melaksankan program Inpres Desa Tertinggal (IDT) untuk membangun desa. Fokus program ini adalah  ditujukan pada kategori bagi desa-desa miskin. Program ini sendiri tampaknya belajar dari konsep Pembangunan Pedesaan Berhaluan Kemiskinan. Sayangnya, begitu pemerintah Habibie lengser, seperti yang sudah-sudah yang kerap terjadi adalah program inipun seolah menguap begitu saja.

Di era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, program pedesaan yang menonjol dan tetap ada sampai sekarang adalah Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Departemen Dalam Negeri mengklaim program ini sangat berhasil sehingga mengeluarkan edaran agar setiap daerah menerapkan model PPK ini sebagai acuan pemberdayaan desa. Ternyata program yang diagung-agung dalam hal keberhasilannya tersebut lebih fokus pada pembangunan fisik semata. Sementara program ekonomi dan pembangunan sosialnya hampir tidak tersedia sama sekali. Jika indikatornya adalah pembangunan fisik tentulah program ini berhasil, tetapi pada kenyataannya adalah PPK ini sendiri hanya menyentuh kelas elite di pedesaan saja.

Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) tetap melanjutkan program PPK yang kemudian diubah namanya menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang konsepnya tetap menggunakan konsep PPK dengan sumber pembiayaan dari pemerintah daerah.

Selain program PPK, di era kepemimpinan  SBY juga memperkenalkan program yang lainnya yakni Beras Miskin (Raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Asuransi kesehatan keluarga miskin (Askeskin), dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) serta Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) Pertanahan, Desa Sehat. Selain itu masih ada program  lain yang ada di departemen seperti Program Desa Rawan Pangan, Program Desa Pinggir Hutan, dan seterusnya dimana semua departemen mengatasnamakan kemiskinan dengan target program pedesaan.

Sementara itu, disetiap provinsi dan kabupaten memiliki program pemberdayaan sendiri-sendiri yang tidak saling berkaitan dengan sasaran desa. Program ini pun sulit dikatakan sukses. Justru ada aroma tak sedap dalam pemanfaatan dana-dana program yang merebak, hingga bermuara pada kasus-kasus pidana pimpinan dan pengurus desa.

Ufuk harapan

Dari serangkaian kisah kebijakan pembangunan desa, maka Dana Desa yang menjadi amanat Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 adalah sebuah ufuk harapan. Tidak hanya dari sisi jumlah dana saja yang meningkat, namun serapannyapun terus merangkak naik.

Hal ini dapat kita cermati, saat tahun pertama yakni 2015 total dana desa mencapai  Rp 20,7 triliun yang dibagikan kepada  74.093 desa. Adapun dana yang terserap mencapai 82,72%. Lantas pada tahun berikutnya, yakni  2016 dana desa yang dikucurkan sebanyak Rp 46,9 triliun dan ditebarkan kepada 74.754 desa. Sedangkan serapannya sendiri sudah mencapai 97,65%. Dan pada tahun 2017 lalu, dana desa sudah tersalurkan mencapai Rp 60 triliun yang dibagi ke 74.910 desa.

Dan bila dibentangkan peran serta sumbangsih dana desa juga cukup efektif dan tepat sasaran. Pada 2016  saja telah terbangun hampir 67.000 kilometer (km) jalan, jembatan 511,9 km, MCK 37.368 unit, air bersih 16.295 unit, dan PAUD 11.926 unit. Dana ini juga dimanfaatkan untuk posyandu 7.524 unit, polindes 3.133 unit, dan sumur 14.034 unit. Selain itu juga digunakan untuk membangun tambatan perahu 1.373 unit, pasar desa 1.819 unit, embung 686 unit, drainase 65.998 unit, irigasi 12.596 unit, penahan tanah 38.184 unit, dan ribuan BUMDesa (PPMD, 2017).

Ya, setelah pencapaian pembangunan fisik yang cukup melesat sudah saatnya kedigdayaan dana desa ambil porsi yang lebih nyata yakni melawan angka kemiskinan. Persoalan kemiskinan bukanlah permasalahan individual, tapi dengan menggunakan kebijakan yang tepat. Jadi, menghapus jelaga kemiskinan di negeri ini adalah sebuah keniscayaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×