kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45932,69   4,34   0.47%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Nilai harta sebagai penghasilan


Rabu, 18 Oktober 2017 / 15:47 WIB
Nilai harta sebagai penghasilan


| Editor: Tri Adi

Beberapa ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan menuai pro dan kontra. Salah satunya di pasal 5 ayat (2) huruf b. Sebagian wajib pajak (WP) tidak setuju dengan penerbitan PP 36, dengan berbagai alasan antara lain ketentuan ini menekan WP dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerapkan official assessment system (menyerahkan perhitungan pajak ke wajib pajak). Seharusnya ketidaksetujuan itu mereka sampaikan saat UU Pengampunan Pajak (amnesti pajak) berlaku karena  PP 36 merupakan peraturan pelaksanaan Pasal 13 dan Pasal 18 UU amnesti pajak.

Sejatinya ada tiga kelompok harta bersih sebagai penghasilan yang diterima wajib pajak. Pertama, harta bersih tambahan peserta amnesti  pajak yang tidak menyatakan repatriasi serta peserta amnesti pajak yang deklarasi harta tapi mengalihkan ke luar negeri selama tiga tahun. Kedua, harta bersih peserta amnesti pajak yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan. Ketiga, harta bersih wajib pajak yang tidak ikut amnesti pajak dan belum dilaporkan dalam  Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh), sepanjang Ditjen Pajak menemukan data atau informasi harta bersih tersebut sebelum 1 Juli 2019.

Bagi kelompok pertama, harta bersih tambahan yang tercantum dalam surat keterangan diperlakukan sebagai penghasilan pada tahun pajak 2016. Jadi, Ditjen Pajak  tidak melakukan penilaian dan mendasarkan sepenuhnya pada nilai wajar yang dinyatakan peserta amnesti pajak.

Pasal 5 (2) b PP 36 mengatur atas harta selain kas yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan atau yang belum dilaporkan dalam SPT PPh, nilainya ditentukan berdasarkan penilaian Ditjen Pajak sesuai kondisi dan keadaan harta tersebut di akhir tahun pajak terakhir (2015). Bagi kelompok kedua dan ketiga, lantaran wajib pajak tidak mengungkapkan seluruh harta dalam surat pernyataan atau tidak melaporkan dalam SPT PPh, hal yang logis jika Ditjen Pajak lah yang menentukan penilaian harta tersebut dan bukan wajib pajak.  Jadi tudingan kantor pajak menerapkan official assessment system sama sekali tidak berdasar dan ini muncul karena adanya pemahaman yang salah.

Memang, ketentuan dalam UU amnesti pajak dibahas dalam waktu pendek sehingga ada beberapa ketentuan yang tidak konsisten. Salah satunya penilaian harta wajib pajak peserta amnesti pajak yang belum terungkap dalam surat pernyataan serta yang belum lapor harta di SPT PPh. Disebut, harta tambahan selain kas yang diungkapkan dalam surat pernyataan dinilai berdasarkan nilai wajar pada akhir tahun 2015. Logikanya, apabila Ditjen Pajak menemukan data harta wajib pajak yang belum terungkap, Ditjen Pajak lah yang menilai berdasarkan  nilai wajar akhir tahun 2015. Namun,  pasal 18 UU amnesti pajak justru tidak mengatur dasar penilaian tersebut.

Harga perolehan dan harga pasar

Penjelasan pasal 18 ayat (1) aturan tersebut memberikan contoh perlakuan atas harta bersih yang kurang diungkapkan dalam surat pernyataan dan anehnya menggunakan harga perolehan. Dalam salah satu contoh, wajib pajak menyatakan memiliki harta dengan penilaian berdasarkan harga perolehan. Tahun 2017, Ditjen Pajak menemukan adanya harta bersih tahun 2010 senilai Rp 10 miliar yang belum diungkapkan dalam surat pernyataan. Harta bersih tersebut akan diperlakukan sebagai tambahan penghasilan yang diterima wajib pajak pada saat Ditjen Pajak menemukan informasi tentang harta tersebut. Contoh ini juga ada dalam Pasal 20 ayat (2) Rancangan UU amnesti pajak, yakni penilaian harta tambahan dapat berdasarkan harga perolehan. RUU tersebut memberikan pilihan kepada wajib pajak untuk menilai harta tambahan berdasarkan harga perolehan atau harga pasar.

Menyadari kekeliruan tersebut, PP 36 menentukan untuk harta selain kas penilaiannya dilakukan Ditjen Pajak sesuai kondisi dan keadaan harta tersebut pada akhir tahun 2015. Meskipun PP 36 tidak menyebutkan penilaiannya pakai nilai wajar, tetapi rumusan penilaian sesuai kondisi harta per 31 Desember 2015 hakikatnya adalah nilai wajar, sama seperti yang digunakan  aturan amnesti pajak.

Untuk memberikan kemudahan dan keseragaman bagi pemeriksa pajak, Ditjen Pajak menerbitkan Surat Edaran (SE) SE-24/PJ/2017 soal petunjuk teknis penilaian harta selain kas.  Pertama, menggunakan referensi nilai yang ditetapkan pemerintah, seperti NJOP untuk tanah dan bangunan dan nilai jual kendaraan bermotor untuk kendaraan bermotor. Kedua, memakai nilai yang dipublikasikan resmi oleh lembaga atau pihak lain, seperti emas, perak, saham dan obligasi. Untuk harta lainnya yang tidak dapat dinilai dengan cara penilaian tersebut, penilaiannya mengacu pada SE-54/PJ/2016 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Properti, Penilaian Bisnis, dan Penilaian Aset Tak Berwujud untuk Tujuan Perpajakan. Penilaian cara ketiga ini harus dilakukan penilai fungsional Ditjen Pajak.

Meskipun Ditjen Pajak telah memberikan petunjuk teknis penilaian harta, potensi perselisihan wajib pajak dan Ditjen Pajak tetap ada. Khususnya untuk penilaian harta yang tidak memakai referensi nilai yang ditetapkan atau yang dipublikasikan. Bila ada harta yang belum terungkap, Ditjen Pajak bisa menindaklanjuti dengan  berdasarkan keterangan lain.

Persoalannya, tidak mudah mendapatkan penilaian harta wajar yang membuat wajib pajak setuju. Sebab jumlah penilai fungsional Ditjen Pajak terbatas. Ini masih ditambah jangka waktu pengujian pemeriksaan harta tidak lebih dari 10 hari kerja.  Mestinya, untuk penilaian harta yang ketiga,  jangka waktu pemeriksaan  harus lebih lama karena penilaian melalui tahapan pengumpulan data termasuk survei lapangan dan analisis data.

Ditjen Pajak sendiri biasanya membahas hasil akhir pemeriksaan harta wajib pajak paling lama lima hari. Dan wajib pajak bisa menyanggah hasil pemeriksaan itu dan bisa memakai jasa penilai publik. Tapi ini butuh biaya.

Dus, pengawasan terhadap pemeriksa perlu diperketat untuk menutup celah penyalahgunaan hasil penilaian. Bagi  wajib pajak yang tidak setuju dengan hasil pemeriksaan, masih ada upaya hukum lainnya seperti keberatan, banding dan peninjauan kembali. Yang diharapkan oleh Ditjen Pajak dan wajib pajak tentu adanya kesepakatan hasil penilaian pemeriksa dan keadaan ini hanya bisa dicapai jika penilaian dilakukan secara objektif dan profesional.                        

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×