kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45928,25   -3,11   -0.33%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pentingnya mengelola ekspektasi


Selasa, 15 Mei 2018 / 14:08 WIB
Pentingnya mengelola ekspektasi


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Menarik mencermati pernyataan otoritas moneter Indonesia terkait perkembangan tekanan terhadap pasar keuangan domestik. Pernyataan disampaikan dengan on point dan sesuai harapan pelaku pasar. Dua poin penting yang disampaikan Gubernur Bank Indonesia (BI) Jumat (11/5) adalah memastikan terciptanya stabilitas perekonomian dan BI memiliki ruang cukup besar untuk menyesuaikan suku bunga kebijakan (7 Days Reverse Repo). Pernyataan tersebut dapat memperbaiki ekspektasi pasar, BI tak akan behind the curve menghadapi volatilitas keuangan yang berpotensi lebih besar.

Menurut kami, saat ini mengelola ekspektasi pelaku pasar keuangan memang sangat penting. Respons kebijakan tepat dapat mengurangi tekanan ekspektasi ke arah lebih buruk dibandingkan kondisi saat ini. Dapat dikatakan, indikator makro-ekonomi Indonesia masih lebih baik dibandingkan saat Indonesia menghadapi Taper Tantrum tahun 2013.

Data-data umumnya sesuai proyeksi kami. Pertumbuhan ekonomi 5,06%, tingkat inflasi terjaga di 3,41% dan defisit neraca transaksi berjalan di 5,1%. Meskipun surplus neraca perdagangan tidak sebaik periode sama tahun lalu, masih lebih baik dari proyeksi konsensus.

Namun, tantangan Indonesia ketika dibandingkan negara lain yang berada dalam keranjang investasi para investor besar. Sebagai dasar alokasi penempatan aset, biasanya mereka mengelompokkan negara-negara yang memiliki risiko lebih tinggi dan sebaliknya.

Kita tentu masih ingat saat mereka mengelompokkan negara-negara berkembang yang paling favorit sebagai tujuan investasi, yaitu BRIC (Brasil, Rusia, India dan China) pada tahun 2001. Kemudian, ada fragile five sebagai negara yang memiliki risiko besar terhadap volatilitas aliran modal asing, seperti India, Brazil, Afrika Selatan, Indonesia dan Turki.

Pengelompokkan negara-negara tersebut berdasar potensi pertumbuhan dan stabilitas inflasi. Namun, untuk fragile five, berdasar beberapa indikator, di antaranya inflasi, kepemilikan asing di surat utang, dan suku bunga riil. Saat ini, terdapat kecenderungan investor mengkategorikan tiga negara yang memiliki resiko volatilitas berdasarkan posisi neraca transaksi berjalan dan inflasi.

Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk kelompok tersebut, bersama India dan Filipina. Indonesia, India dan Filipina adalah tiga negara yang memiliki neraca transaksi berjalan defisit. Neraca transaksi berjalan Filipina defisit setelah sebelumnya mencatatkan surplus. Wajar, ekspektasi yang terbentuk adalah, aliran modal asing keluar akan menekan nilai tukar lebih besar ke tiga negara tersebut. Selama ini, stabilitas nilai tukar selama neraca transaksi berjalan defisit diimbangi dengan surplus di neraca modal.

Rasio defisit neraca transaksi berjalan Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) masih pada tingkat aman yaitu 2,1%, lebih baik dari 2,23% di kuartal IV tahun lalu. Namun, posisi surplus neraca modal juga turun karena capital outflow di sepanjang kuartal I. Ke depan, kami menilai data surplus neraca modal semakin penting di saat defisit neraca transaksi berjalan yang melebar dibandingkan denganĀ  tahun lalu.

Tekanan nilai tukar yang besar berpengaruh pada ekspektasi inflasi ke depan (melalui imported inflation). Sehingga, sebagai langkah antisipasi meningkatnya inflasi ke depan perlu langkah penyesuaian suku bunga. Bagi Indonesia, ekspektasi inflasi lebih tinggi memang menjadi salah satu faktor patut dicermati, baik di tahun 2018 dan 2019.

Hitungan kami, 10% depresiasi rupiah akan mendorong inflasi domestik 0,5 percentage point dari angka inflasi baseline. Saat ini, proyeksi baseline inflasi tahun 2019 di 3,9% dibandingkan 3,6% di 2018. Dengan ekspektasi inflasi yang meningkat ke depan, suatu keniscayaan investor akan memproyeksikan akan suku bunga acuan yang lebih tinggi juga.

Selain langkah BI mengelola ekspektasi investor, kami melihat perlu konsistensi kebijakan lain yang juga akan membuat Indonesia tidak seperti Filipina. Konsistensi kebijakan fiskal, seperti pengelolaan subsidi bahan bakar minyak (BBM) di tengah tekanan harga minyak dunia, menjadi faktor positif.

Langkah-langkah pre-emptive dan kredibel oritas moneter dan pemerintah kami yakini mampu membuat Indonesia melewati periode berfluktuasi seperti saat ini. Mengutip salah satu poin laporan IMF (April, 2018) The severity of such potential shocks will differ across countries, depending on economic fundamentals and the policy responses to those shocks. Seharusnya Indonesia lebih bisa melewati fase ini, meski di tengah tahun politik.

Andry Asmoro
Ekonom Bank Mandiri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×