kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perlu kepastian dan ketegasan


Senin, 11 September 2017 / 12:48 WIB
Perlu kepastian dan ketegasan


| Editor: Tri Adi

Tak ketahuan ujungnya. Terowongan tam-bang Freeport di bawah “kawah” Grasberg Papua itu begitu panjang berkelok-kelok. Banyak cabang bersilangan. Tanpa navigasi yang akurat dan panduan lampu yang terang, niscaya kita bakal tersesat jauh dari tujuan.

Begitu halnya nasib negosiasi pemerintah dengan Freeport hingga kini: cuma beringsut. Selebihnya maju mundur, mulur-mungkret. Entah kapan tercapai kesepakatan final.

Dalam konferensi pers Selasa, 29 Agustus lalu, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengesankan negosiasi yang alot itu sudah beres. Ada kesepakatan untuk mengubah kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), divestasi 51% saham untuk kepentingan nasional Indonesia, pembangunan smelter selama 5 tahun sampai 2022, dan stabilitas penerimaan negara yang lebih besar ketimbang masa kontrak karya. Setelah Freeport menyetujui empat poin itu, masa operasional dapat diperpanjang 2 kali 10 tahun hingga 2041.

Detail kesepakatan itu rencananya difinalkan dalam tempo sepekan. Tapi CEO Freeport-McMoran Richard Adkerson yang juga hadir di acara itu menekankan bahwa Pemerintah Indonesia harus memberikan jaminan kontrak dan fiskal – sebagai satu paket kesepakatan.

Dan, sepekan kemudian, Rabu 6 September lalu, yang tampak adalah saling lempar bola. Menteri Jonan bilang, pihaknya menunggu keputusan Kementerian BUMN soal valuasi dan siapa yang mengambil saham divestasi. Tapi, Kementerian BUMN pun menunggu keputusan Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan, apakah pemerintah mau mengambil saham tersebut atau tidak. Sementara dari Kementerian Keuangan juga belum keluar sinyal yang terang mengenai perhitungan pajak maupun hitungan 51% saham Freeport Indonesia.

Jadi niat Pemerintah Indonesia ini sejatinya dan sejujurnya mau memberi perpanjangan operasi ataukah tidak? Kalau memang tidak mau memperpanjang, demi meredam berbagai serangan dan kritik, misalnya, ya, tinggal tolak saja permintaan mereka. Tentu untuk itu harus siap dengan segala risikonya. Selain potensi diarbitrasekan, bakal terjadi kekosongan penerimaan negara selama masa peralihan pasca-cabutnya Freeport dari Bumi Papua.

Hanya bila itu terjadi jelas berbeda 180 derajat dengan hasrat Presiden Jokowi untuk mempermudah masuknya investasi. Susah-susah jualan ke para calon investor, bergepok-gepok perizinan dipangkasi, eh… ini ada investor lama yang ingin mengajukan penambahan investasi besar-besaran kok malah dipersulit?

Freeport pun kini ada di posisi mau mendivestasi 51% – asalkan satu paket dengan kepastian perpanjangan operasi dan perpajakan yang  harus ditanggung. Padahal di masa Menteri Sudirman Said sudah ada nota kesepahaman, antara lain, divestasi 30% saham saja.

Dus, memang butuh kepastian dan ketegasan yang segera dari pemerintah. Kalau memang niatnya memperpanjang operasi Freeport, ya berikan saja IUPK itu. Bagaimanapun investasi untuk penambangan bawah tanah ditambah smelter terbilang sangat besar, Rp 200-an triliun, tentu membutuhkan kepastian fiskal yang tidak gampang berubah-ubah di tengah jalan.

Namun, kepentingan nasional dan penduduk sekitar haruslah tetap dikedepankan. Maka, soal peningkatan penerimaan negara, pemberdayaan warga sekitar, serta hak partisipasi Papua dalam divestasi saham Freeport Indonesia, itulah yang harus dinyatakan dalam paket perpanjangan operasi. Sekali lagi, itu kalau niatnya memang mau memperpanjang operasi Freeport Indonesia dalam rezim IUPK.     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News





[X]
×