Reporter: Handoyo | Editor: Tri Adi
Membandingkan sumber energi antara batubara dengan energi baru terbarukan perlu disikapi dengan bijak. Apalagi, tren penggunaan batubara di beberapa negara saat ini mulai ditinggalkan. Bahkan Tiongkok dan India sudah mulai mengurangi batubara.
Di kedua negara tersebut, beberapa pembangkit listrik berbahan baku batubara di batalkan. Tidak hanya yang masih dalam tahap rencana, bahkan yang sudah mulai konstruksi urung dibangun. Kondisi ini dilakukan lantaran untuk ke depan, pembangkit berbahan bakar batubara tidak akan ekonomis lagi.
Saya memprediksikan, kondisi itu dalam jangka waktu yang tidak lama, mungkin kurang dari sepuluh tahun, akan terjadi di Indonesia. Sumber energi terbarukan akan marak dikembangkan. Bahkan biayanya lebih murah dibandingkan investasi untuk membangun pembangkit berbahan baku batubara.
Melihat perkembangan teknologi ini, yang mengkhawatirkan sebenarnya adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN). Pasalnya, sekitar 60% dari pembangkit listrik milik PLN menggunakan bahan baku batubara. Sehingga, perlu dilakukan review atau kajian kembali atas penggunaan sumber energi berbahan baku batubara tersebut.
PLN, menurut saya, jangan terlalu jor-joran untuk menginvestasikan pembangkit berbasis batubara. Bila telanjur, kerugian finansial bisa saja tidak akan terelakkan lagi. Padahal kontrak-kontrak kerjasama yang dilakukan oleh PLN bisa mencapai lebih dari 30 tahun.
Oleh karenanya, sebelum terlambat PLN perlu mengkalkulasi lagi kebutuhan elektrifikasi dalam negeri. Saat ini, tren di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) berkembang sumber-sumber energi melalui kombinasi yang lebih ramah lingkungan. Seperti contohnya tenaga matahari yang disinergikan dengan baterai penyimpanan.
Perkembangan sumber energi terbarukan itu tidak hanya terjadi di industri skala besar. Namun juga sudah terjadi tingkat yang lebih kecil seperti rumah tanggal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News