kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Polemik penenggelaman kapal


Senin, 15 Januari 2018 / 13:59 WIB
Polemik penenggelaman kapal


| Editor: Tri Adi

Ada nostalgia di laut Indonesia. Salah satunya pada heroiknya perjuangan Perdana Menteri terakhir Republik Indonesia, Ir. Djuanda, untuk menegaskan pada masyarakat internasional bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Kita tahu, Deklarasi Djuanda atau disebut juga Deklarasi Kemerdekaan Indonesia kedua merupakan kekayaan historis milik Indonesia. Melalui deklarasi Djuanda, Indonesia merajut dan mempersatukan kembali wilayah darat dan lautan yang berdaulat.

Dua puluh lima tahun perjuangan diplomasi bilateral maupun multilateral dilakukan pemerintah Indonesia. Sejak Deklarasi Djuanda pada 1957, baru tahun 1982 negara di dunia bersepakat menetapkan United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS), yang salah satu isinya mengakui kedaulatan negara kepulauan.

Kita memang patut berterimakasih kepada pemimpin terdahulu, selain Ir. Djuanda, ada Profesor Mochtar Kusumaatmadja dan lainnya. Namun, sepertinya hanya itu catatan sejarah maritim yang mengesankan sejak Indonesia merdeka. Kebijakan penguasa di masa selanjutnya, seperti membelakangi laut.

Pada masa sekarang ini, pemerintah kembali mencoba menoleh ke laut. Visi poros maritim diluncurkan, namun stagnan pada perlawanan terhadap pencurian ikan. Banyak kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia diledakkan dan ditenggelamkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Berjalan tiga tahun, demi memerangi illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing, 317 kapal sudah ditenggelamkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

KKP mencatat Indonesia merugi rata-rata Rp 300 triliun akibat pencurian ikan dari kapal asing di perairan Indonesia. Itu belum termasuk kerugian lingkungan yang rusak akibat penggunaan alat tangkap berbahaya seperti pukat harimau, sianida dan bom. Dengan tindakan tegas terhadap kapal kriminal itu, telah memberi ruang bagi nelayan Indonesia untuk menikmati kekayaan laut nusantara.

Data KKP juga menyebutkan, ada peningkatan sumber daya ikan dari 7,31 juta ton pada 2013 menjadi 9,93 juta ton pada 2015. Lalu produksi perikanan pun naik dari 19,42 juta ton per tahun pada 2013 menjadi 21,72 juta ton per tahun pada 2015. Ini terdiri dari rumput laut, ikan budidaya hingga ikan tangkap. Namun persoalan belum usai, paling tidak ada tiga helai lembar persoalan kelautan.

Pertama, sejumlah regulasi yang dibuat KKP punya dampak pada penurunan jumlah kapal nelayan yang beroperasi di wilayah Regional Fisheries Management Organization (RFMO) Indonesia. Data tahun 2017, kapal yang beroperasi di sejumlah wilayah penangkapan ikan tuna relatif menurun, dari sekitar 500 kapal sebelumnya menjadi 276 kapal saja.

Sejumlah regulasi itu seperti Permen KKP No. 2 Tahun 2015 resmi berlaku pada 1 Januari 2017. Dengan aturan itu, seluruh alat tangkap yang biasa digunakan, termasuk cantrang, berstatus terlarang. Ihwal pelarangan penggunaan jaring pukat, dengan alasan penggunaannya dianggap tidak ramah lingkungan telah mengusik perekonomian masyarakat pesisir. Regulasi tersebut dianggap menyabotase sustainibilitas program pengelolaan perikanan.

Namun regulasi ini berdampak pada ratusan ribu nelayan cantrang terpuruk, selain itu juga ribuan pekerja Unit Pengolahan Ikan yang terancam menganggur, pabrik pengolahan ikan mengalami kelangkaan bahan baku, hingga toko kelontong yang biasa menjual peratalan kapal menjadi lesu.

Jasa nelayan yang selama ini memberikan andil besar membangun ekonomi masyarakat pesisir dan mengakselerasi sektor perikanan nasional begitu saja dilupakan dan ditinggalkan. Sementara alternatif usaha yang diluncurkan, seperti mengganti jaring cantrang dengan jaring milenium, bubu dan pancing dianggap tak efektif dan efisien (Lukito, 2017).

Kedua, maraknya intervensi pemerintah atas laut seringkali mereduksi ruang hidup nelayan. Sebagai contoh, penerapan wilayah taman nasional di perairan pulau Komodo demi pariwisata. Sejak ditetapkannya kecamatan Komodo sebagai Taman Nasional, belum ada dampak menyejahterakan yang terasa bagi masyarakat setempat. Kampung Komodo tetap tertinggal. Baik secara perekonomian, sumber daya manusia, sarana-prasarana, aksesibilitas dan lainnya. Kabupaten Manggarai Barat masih terdaftar sebagai daerah tertinggal. Sebagaimana dalam Perpres No. 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015–2019.

Eksistensi Taman Nasional Komodo malah membuat masyarakat setempat yang mata pencahariannya sebagai nelayan semakin terjepit, sebab tak bisa lagi mencari ikan di lingkungan laut. Sedang mereka tak mampu untuk beralih usaha seperti membuka usaha jasa kapal penginapan yang begitu diminati wisatawan. Beberapa nelayan yang tetap nekat mencari ikan, yang biasanya tak mampu beralih usaha, kini dikriminalisasi.

Lelang saja

Ketiga, Untuk menjaga wilayah laut Indonesia tidak mudah. Kita bukan Tiongkok yang superkaya dan bahkan mampu menggelontorkan dana jutaan dollar AS untuk mengamankan Laut China Selatan.

Kepolisian mengklaim, punya 700 kapal, tapi tipenya hanya memungkinkan penjagaan tidak jauh dari pantai. Tentara Nasional Indonesia, yang armadanya bisa jauh ke laut lepas, juga sering mengeluh kurangnya jatah bahan bakar, minyaknya tidak cukup untuk mengerahkan semua kapal. Rumah tangga perikanan Indonesia juga masih berada pada tingkat kemiskinan yang tinggi.

Barangkali Menteri KKP, menembaki dan menenggelamkan kapal adalah suatu bentuk ketegasan. Untuk membuat takut dan jera kapal asing yang mencuri ikan di laut Indonesia. Namun, dalam menyelenggarakan penenggelaman kapal pasti membutuhkan biaya. Bila sering menembak dan menenggelamkan, pasti akan menumpuk bangkai kapal menjadi sampah laut. Intinya, itu akan menjadi mubazir.

Undang-Undang Perikanan kita sebenarnya memberikan sanksi alternatif, selain menembaki dan menenggelamkan kapal. Silahkan lihat Pasal 76A dan 76C UU No. 45 Tahun 2009. Dalam ketentuan a quo disebutkan, benda maupun alat yang yang berkaitan dengan tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri.

Berkat undang-undang memberi pilihan sanksi, akan lebih baik ke depan pemerintah tidak usah lagi menenggelamkan kapal. Mungkin melelangnya (kalau dilelang, hasilnya disetor ke kas negara sebagai PNBP) atau menghibahkan kepada kelompok usaha nelayan.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×