kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Praktik busuk dagang hukum


Senin, 25 September 2017 / 13:23 WIB
Praktik busuk dagang hukum


| Editor: Tri Adi

Hukum kita masih bisa dibeli. Harganya juga murah. Semurah harga diri penjualnya. Karena sudah dibikin bisnis, tentu jaringannya rapi, dilengkapi pula tingkat keamanan dalam beroperasi. Supaya tak terendus, tawar-menawar harga acap menggunakan bahasa sandi.

Bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahasa sandi dalam korupsi tak sukar untuk dikenali. Sebab, sudah banyak kode koruptor yang berhasil diungkap dan ternyata bertujuan untuk menyembunyikan skandal. Mulai dari apel malang, apel washington, semangka, kacang pukul, salak bali, sapi, kambing, dan sebagainya.

Kasus operasi tangkap tangan yang menyeret panitera pengganti PN Jakarta Selatan berinisial TRZ beberapa waktu lalu, misalnya, menjadi contoh bagaimana praktik busuk mafia hukum dikemas dalam bahasa sandi. Sandi kambing dan sapi sengaja digunakan untuk menyamarkan muatan transaksi, karena suasananya berimpitan dengan momentum Idul Kurban. Sehingga lalulintas percakapan telepon banyak disesaki soal harga sapi dan kambing.

Publik berharap kasus suap tersebut adalah kejadian terakhir. Namun, dugaan itu keliru karena para mafioso makin kalap dan tak pernah ciut nyalinya meski sudah banyak cermin buram aparat peradilan yang harus tersungkur di meja pesakitan karena ulahnya menggelar jual beli perkara.

Kasus teranyar ialah tertangkapnya hakim Tipikor PN Bengkulu berinisial DS karena diduga menerima “suap yang tertunda”. Sebuah istilah yang disematkan untuk jenis pemberian kepada hakim karena dimenangkan dalam perkara perdata atau vonis yang ringan dalam perkara pidana yang pemberiannya setelah perkara putus. Dari kejadian tersebut KPK menyita barang bukti berupa uang sejumlah Rp 125 juta. Kejadian tersebut menjadi alarm bahwa mafia peradilan masih bercokol dan pelakunya tak pernah takut.

Karena itu, seluruh elemen peradilan yang masih punya hati nurani harus bersama-sama melakukan pencegahan melalui pengetatan pengawasan dan penguatan moral agar penyakit tersebut tidak menjangkiti yang lain. Ketua Mahkamah Agung (MA) sejatinya tak pernah memberikan toleransi kepada siapapun yang terlibat mafia peradilan. Pengawasan melekat dan partisipatif juga sudah berjalan ketat. Mulai dari ketua pengadilan, Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal, badan pengawasan MA, hingga masyarakat. Makanya sudah banyak aparat yang dipecat dan dijatuhi pidana penjara. Tapi, anehnya, seolah tak ada efek jera. Kebocoran integritas masih saja terus terjadi.

Perlu pembinaan karakter

Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan tertinggi kekuasaan kehakiman memiliki tanggungjawab menciptakan kesalehan sistemik dan profesional aparat peradilan. Tiga kepribadian moral yang menjadi nilai keutamaan hendaknya ditanamkan agar menjelma sebagai kesalehan sistemik.

Pertama, menanamkan idealisme sebagai bentuk makna mission statement lembaganya. Kedua, membangun kesadaran akan kewajiban yang harus dipenuhi selama mengemban tugas profesi. Ketiga, membangun keberanian untuk berbuat dengan tekad memenuhi tuntutan profesi (Magnis-Suseno, dkk. dalam E. Sumaryono, 1999: 165).

Idealisme dalam menjalankan tugas profesi memang sangat penting. Tanpa idealisme aparat peradilan akan seperti pohon kering yang kehilangan akar. Ia gampang roboh diterpa godaan suap.

Kesadaran juga berperan penting. Melalui kesadaran aparat peradilan bisa memahami kewajibannya memberikan rasa keadilan kepada masyarakat tanpa diskriminasi. Begitu pentingnya kesadaran diri (self awareness), Filsuf Yunani Socrates yang mengkaji tentang manusia dalam filsafat, bahkan mengatakan kesadaran menjadi kunci utama memahami segala sesuatu di luar dan keadaan internal sendiri.

Namun, idealisme dan kesadaran juga perlu nyali yang kuat. Tanpa keberanian, orang jujur bakal tersisih dan tersingkir oleh kuatnya sistem yang bobrok.

Orang berintegritas bakal dikucilkan, dicela, dan tak punya suara. Akhirnya kesalehan profesional hanya terjadi pada tataran individu, tidak melembaga. Belum menjadi kekuatan sistem. Akibatnya, kebatilan yang terorganisir mengalahkan kebajikan yang tak terorganisir. Inilah persoalan utamanya. Aparat peradilan yang memiliki integritas kurang nyali dan merasa sungkan menegur karena mafia peradilan sedemikian kuat mengakar.

Pencegahan maraknya kasus suap yang melibatkan aparat peradilan memang tak bisa efektif jika hanya mengandalkan tindakan represif. Perlu pembinaan karakter secara terus-menerus dari hati ke hati yang melibatkan banyak pihak. Mulai dari antar-rekan kerja, atasan, hingga keluarga.

Apalagi kesadaran penegak hukum kita untuk berbuat baik masih rendah. Meski papan berisikan seruan antisuap dipajang di dinding pengadilan dan setiap saat diingatkan untuk menjaga etika profesi, namun seruan itu acap tak diindahkan.

Sebagai contoh, ketika operasi tangkap tangan terjadi di PN Jakarta Selatan, ketua pengadilan telah memberikan pembinaan di acara apel pagi. Ia sudah mengimbau kepada aparatnya agar menjauhi perbuatan tercela dan tetap jaga integritas. Namun, petuah itu seperti tak digubris. Ajakan kepada kebaikan merambat di ruang hampa.

Karena itu, ke depan, tidak ada jalan lain bagi para aparat peradilan yang masih setia kepada kebajikan selain melakukan taubat nasional dan menyerukan komitmen untuk menegakkan keadilan sebagai jiwa hukum. Seluruh komponen lembaga peradilan harus bergandengan tangan untuk menyatukan kekuatan integritas yang dimiliki untuk terus berjuang menghalau berbagai bentuk korupsi yudisial.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×