kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Prospek bisnis multifinance tahun ini


Rabu, 21 Maret 2018 / 15:40 WIB
Prospek bisnis multifinance tahun ini


| Editor: Tri Adi

Roda ekonomi yang masih tumbuh positif seharusnya membuat bisnis perusahaan pembiayaan (multifinance) terus tumbuh. Data Otorias Jasa Keuangan (OJK) per Desember 2017, mencatat pertumbuhan total pembiayaan hanya naik 7,05% dari Rp 387,51 triliun per Desember 2016 menjadi Rp 414,84 triliun per Desember 2017. Rinciannya, pembiayaan investasi naik paling tinggi 13,38% dari Rp 104,99 triliun menjadi Rp 119,04 triliun dengan kontribusi 28,70% dari total pembiayaan Rp 414,84 triliun.

Pembiayaan modal kerja menyusul dengan pertumbuhan 8,82% dari Rp 20,98 triliun per menjadi Rp 22,83 triliun dengan kontribusi 5,50% disusul pembiayaan multiguna yang naik 6,05% dari Rp 230,15 triliun menjadi Rp 244,08 triliun dengan kontribusi tertinggi 58,84%. Pembiayaan lainnya pun melesat 509,52% dari Rp 21 miliar menjadi Rp 128 miliar dengan kontribusi 0,03%. Sebaliknya, pembiayaan syariah justru turun 8,32% dari Rp 31,37 triliun jadi Rp 28,76 triliun dengan kontribusi 6,93%.

Melihat hasil tersebut, perlu faktor kunci supaya industri pembiayaan domestik bisa terus tumbuh. Pertama, data pertumbuhan pembiayaan itu menunjukkan bisnis perusahaan pembiayaan tetap tumbuh sekalipun dalam tekanan ekonomi yang sedang lesu. Untungnya, pembiayaan multiguna mampu memberikan kontribusi tertinggi 58,84% yang akan terus melaju pada 2018.

Pelonggaran rasio loan to value (LTV) dari 70% menjadi 80% menjadi faktor kunci keberhasilan pertama dalam mendorong pertumbuhan pembiayaan multiguna. Artinya, uang muka turun dari 30% menjadi 20% dari nilai produk atau kendaraan. Aturan yang efektif 15 Juni 2012 itu bertujuan sebagai mitigasi risiko (risk mitigate) pembiayaan dan meningkatkan prinsip kehati-hatian sehingga tidak terjadi gelembung (bubble) terutama pada pembiayaan konsumen (multiguna).

Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK/0.10/2012 Pada 15 Maret 2012 tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor pada Perusahaan Pembiayaan. Pada saat bersamaan, Bank Indonesia (BI) menerbitkan Surat Edaran Nomor 14/10/DPNP mengenai LTV kredit pemilikan rumah (KPR) dan uang muka kredit kendaraan bermotor bagi bank umum.

PMK itu menetapkan uang muka bagi pembiayaan kendaraan bermotor termasuk roda dua paling rendah 20% dari harga jual kendaraan yang bersangkutan dan bagi kendaraan bermotor roda empat yang bertujuan untuk tujuan produktif, uang muka paling rendah 20% dari harga jual kendaraan. Terakhir, bagi kendaraan bermotor roda empat yang bertujuan untuk tujuan non-produktif, uang muka paling rendah 25% dari harga jual kendaraan.

Kedua, munculnya aneka mobil baru mampu menggairahkan bisnis pembiayaan. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan penjualan mobil pada Januari 2018 mencapai 95.802 unit naik 11,1% dibandingkan dengan periode sama pada 2017 sebesar 86.262 unit. Hal itu sebagai penjualan tertinggi dibandingkan periode sama sejak tiga tahun lalu.

Meningkatkan kualitas kredit

Penjualan 25.405 unit mobil per Januari 2018 membuat Toyota menjadi pemimpin pasar (market leader) dengan produk andalan Rush dibayangi Daihatsu 18.788 unit lewat dengan Terios dan Sigra, Mitsubishi 17.753 unit dengan Xpander. Honda 13.572 unit dengan kontriusi utama salah satunya HRV dan Suzuki 11.511 unit. Kemudian Hino 2.624, Izuzu 1.561, Nissan 1.189 dan Datsun 1.142 unit mobil. Sedangkan pemain baru, Wuling mendapat 927 unit.

Ketiga, kini saatnya perusahaan pembiayaan menggarap sektor produktif seperti kredit usaha rakyat (KUR), sektor maritim, kelautan dan infrastruktur. Melalui Peraturan POJK Nomor 29/POJK.05/2014, OJK memperluas lini bisnis perusahaan pembiayaan yang meliputi pembiayaan investasi, modal kerja, multiguna dan infrastruktur.

Pembiayaan ke sektor kredit produktif akan mendorong bisnis pembiayaan lebih mencorong. Namun untuk membiayai proyek infrastruktur, perusahaan pembiayaan harus bermodal inti minimal Rp1 triliun. Ini tantangan berat.

Keempat, untuk itu perusahaan pembiayaan harus menambah modal jika tak mau menjadi penonton. Bagaimana alternatif solusinya? Pemegang saham dapat mengucurkan dana segar (fresh fund) atau menerbitkan obligasi (subdebt) di pasar modal atau menggenjot laba ditahan (retained earning). Upaya itu dapat menambal modal sekaligus memenuhi kewajiban modal minimum.

Kelima, sebaliknya, perusahaan pembiayaan juga harus mengerek efisiensi terutama biaya tenaga kerja. Pada umumnya, biaya tenaga kerja maksimal 20% dari seluruh biaya (total expenses). Dalam perbankan, tingkat efisiensi berkisar 70%–80%. Mestinya perusahaan pembiayaan dapat mengikuti best practices dari perbankan.

Keenam, perusahaan pembiayaan juga wajib meningkatkan kualitas kredit. Melalui Surat Edaran Nomor 47/2016 tentang Besaran Uang Muka Pembiayaan Kendaraan Bermotor bagi Perusahaan Pembiayaan, OJK ingin mengangkat kinerja perusahaan pembiayaan.

Aturan itu memuat uang muka yang dibedakan menurut rasio pembiayaan bermasalah (non performing financing /NPF). Untuk NPF lebih rendah atau sama dengan 1%, perusahaan pembiayaan dapat menerapkan uang muka paling rendah 5%. Untuk NPF lebih tinggi 1% atau sama dengan 3%, uang muka paling rendah 10%. Untuk NPF lebih tinggi 3% atau sama dengan 5%, uang muka paling rendah 15%. Untuk NPF lebih rendah atau sama dengan 5%, uang muka paling rendah 15% serta NPF lebih tinggi 5%, uang muka paling rendah 20%.

Sejatinya, aturan itu bertujuan juga untuk mengerek kualitas kredit. Artinya, perusahaan pembiayaan dituntut untuk menurunkan NPF 2,96% per Desember 2017 meski telah menipis dari 3,26% per Desember 2016. Sekalipun masih jauh dari ambang batas 5%, tetapi hal itu sebagai peringatan keras bagi perusahaan pembiayaan. NPF yang tinggi akan mendorong kenaikan cadangan yang akhirnya menggerus modal padahal modal justru harus digenjot.

Salah satu alternatif solusi untuk menekan NPF adalah dengan meningkatkan penerapan prinsip mengenal konsumen (know your customer/KYC). Jangan pernah lupa melakukan kunjungan ke tempat tinggal konsumen sebelum mengucurkan pembiayaan. Hal itu bertujuan untuk memastikan kebenaran data dan tempat tinggal yang ujungnya untuk mitigasi risiko kredit. Berbekal aneka faktor kunci keberhasilan dan alternatif solusi, bisnis pembiayaan akan kian bergairah pada 2018.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×