kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45936,11   -27,62   -2.87%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Quo vadis kebijakan persaingan usaha


Senin, 15 Januari 2018 / 14:38 WIB
Quo vadis kebijakan persaingan usaha


| Editor: Tri Adi

Sepanjang tahun 2017, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengeluarkan tiga putusan yang menjadi sorotan  dunia usaha. Pertama, pada 20 Februari 2017 KPPU memutus PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra Honda Motor yang telah melakukan kartel harga motor skutik.

Kedua, pada 14 November 2017, KPPU memvonis bersalah PT Perusahaan Gas Negara Tbk karena terbukti memonopoli distribusi gas di Medan, Sumatra Utara. Ketiga, 19 Desember 2017 lalu KPPU menghukum produsen air minum Aqua, PT Tirta Investama beserta distributor PT Balina Agung Perkasa yang terbukti melakukan persaingan usaha tidak sehat dengan  membuat perjanjian yang merugikan pebisnis lain.

Putusan KPPU tersebut menegaskan, Indonesia yang menganut sistem ekonomi pasar, keberadaan hukum persaingan usaha adalah suatu keniscayaan. Karena sistem ekonomi pasar senantiasa mengalami distorsi, sehingga pasar tidak bekerja sebagaimana mestinya. Indonesia memiliki hukum persaingan usaha yakni Undang-undang (UU) Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, atau UU Anti Monopoli.

Perlu ditegaskan, hukum persaingan usaha (competition law) merupakan bagian dari kebijakan persaingan usaha (competition policy). Jadi, definisi kebijakan persaingan usaha disamping melingkupi hukum persaingan usaha, juga menaungi kebijakan lain yang mendukung persaingan usaha, termasuk advokasi persaingan (competition advocacy).

Menurut Rosenthal dan Matsushita (1997) kebijakan persaingan usaha mempunyai multi sasaran. Pertama, efisiensi ekonomi di pasar. Kedua, kewajaran atau keadilan dalam praktik bisnis. Ketiga, menghilangkan regulasi pemerintah yang tidak efisien. Keempat, mengurangi konsentrasi kekuatan ekonomi pada sedikit pelaku pasar. Kelima, membatasi kolaborasi diantara pesaing yang memfasilitasi kolusi. Keenam, meningkatkan kedaulatan konsumen dengan mendorong perusahaan untuk memproduksi barang dan jasa yang sesuai dengan keinginan konsumen. Ketujuh, menekan biaya produksi dengan tujuan  meredistribusi surplus produsen kepada konsumen.

Meski memiliki multi sasaran, tapi pada dasarnya hukum persaingan usaha adalah instrumen kebijakan untuk mencari kombinasi antara efisiensi dan keadilan yang tepat untuk masing-masing negara. Namun demikian, masalah efisiensi dan keadilan, seringkali berada pada posisi saling berhadapan ketika dikaitkan dengan hukum persaingan usaha. Sebagian ekonom percaya hukum persaingan usaha seharusnya mempunyai tujuan sederhana, yaitu mempromosikan efisiensi. Karena itu, keberadaan UU Anti Monopoli atau UU Persaingan Usaha harus dapat mencegah perbuatan atau tindakan perusahaan yang dapat merugikan masyarakat dengan cara menggunakan market power yang dimiliki perusahaan itu.

Di sisi lain, ada pendapat yang mengatakan bahwa tujuan yang sebenarnya dari hukum persaingan usaha bukanlah efisiensi, melainkan keadilan atau keberpihakan. Karena itu, UU Persaingan Usaha yang diberlakukan seharusnya membantu kelompok tertentu yang lemah, misalnya pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM), sehingga mereka memperoleh keadilan dalam berusaha.

Bagi Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU No. 5/1999, tujuan keberadaan hukum persaingan usaha adalah untuk: a) menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; b) mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat; c) mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan d) terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Perhatikan UMKM  

Meski memiliki tujuan yang beragam, keberadaan hukum persaingan usaha di Indonesia, bisa dikatakan lebih condong pada sisi penciptaan efisiensi daripada mencerminkan keberpihakan pada kelompok (pelaku usaha) lemah. Semua pelaku usaha (besar maupun UMKM) diberi kesempatan usaha yang sama. Meski di sisi lain, dalam Pasal 50 UU No. 5/1999 menyatakan bahwa ketentuan UU ini tidak berlaku bagi usaha kecil, tapi tidak secara tegas menyebutkan adanya perlindungan buat pelaku usaha lemah. Dengan kata lain, hukum persaingan usaha didesain untuk melindungi competition, bukan melindungi competitor (tak peduli perusahaan besar maupun UMKM).

Namun demikian, meski UU Anti Monopoli diarahkan untuk melindungi competition, tapi pada praktiknya kebijakan pemerintah kerap mendistorsi terciptanya persaingan usaha. Studi Damuri dkk (2017) tentang “Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012”,  menemukan sejumlah regulasi yang dikeluarkan oleh berbagai Kementerian/Lembaga yang tidak konsisten dengan prinsip persaingan usaha yang dimandatkan dalam UU No. 5/1999, karena melakukan diskriminasi yang membatasi ruang gerak usaha serta merugikan kelompok pelaku usaha tertentu, atau membuka kesempatan bagi berbagai praktik usaha tidak sehat.

Kebijakan yang tidak sejalan dengan prinsip persaingan usaha tersebut, secara umum dapat digolongkan menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok kebijakan yang memberikan ruang lebih besar pada pelaku usaha yang memiliki posisi dominan, sehingga kebijakan tersebut cenderung menciptakan entry barrier bagi pelaku usaha pesaingnya. Dari sisi perspektif publik, adanya kebijakan entry barrier sendiri tidak menjadi persoalan asalkan melindungi dampak negatif dari persaingan yang dianggap berlebihan. Namun, pada beberapa kasus kebijakan entry barrier justru sangat merugikan kepentingan masyarakat (konsumen) dan hanya menguntungkan segelintir pelaku usaha.

Kedua, kebijakan pemerintah yang memfasilitasi munculnya perjanjian antara pelaku usaha yang tidak sejalan dengan UU Anti Monopoli. Ketiga, bentuk intervensi pemerintah terhadap mekanisme pasar yang berjalan, misalnya dalam bentuk tata niaga atau regulasi yang membatasi jumlah pemain yang terlibat.

Saat ini DPR dan pemerintah tengah membahas revisi UU No. 5/1999. Tentunya, revisi UU Anti Monopoli ini diharapkan tidak hanya memperkuat hukum persaingan usaha, melainkan juga berdampak signifikan bagi kemajuan perekonomian nasional. Karena itu, revisi UU No. 5/1999 harus dapat memperkuat hukum persaingan usaha menjadi instrumen kebijakan untuk mencari kombinasi antara efisiensi dan keadilan yang tepat bagi perekonomian nasional. Di satu sisi bisa mendorong terciptanya efisiensi ekonomi di pasar, sementara di sisi lain mampu menciptakan fairness of business practices.

Untuk itu, UU Persaingan Usaha harus bisa mengunci agar pemerintah tidak bisa membuat kebijakan yang mendistorsi pasar dan diskriminatif  terhadap pelaku usaha tertentu, tanpa alasan yang kuat. Selain itu, mengingat pelaku usaha di Indonesia mayoritas adalah UMKM, revisi UU No. 5/1999 juga harus memperhatikan perlindungan UMKM.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet Using Psychology-Based Sales Tactic to Increase Omzet

[X]
×