kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rombak ulang gerbang pembayaran


Selasa, 10 Oktober 2017 / 11:34 WIB
Rombak ulang gerbang pembayaran


| Editor: Tri Adi

Konsep National Payment Gateway atau Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) memunculkan perdebatan di tengah masyarakat. GPN sendiri merupakan integrasi sistem pembayaran yang terdiri dari berbagai instrumen dan kanal. Dalam kurun waktu empat bulan terakhir, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan dua aturan terkait GPN. Pertama Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 19/8 Tahun 2017 tentang pengaturan ekosistem GPN  dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) No. 19/10 Tahun 2017 soal tarif transaksi. Semangat dari kedua aturan tersebut untuk meningkatkan efisiensi sistem pembayaran di Indonesia dan pindah transaksi dari tunai ke elektronik.

Secara objektif aturan tersebut masih memiliki banyak kekurangan sehingga konsep GPN harus di evaluasi ulang. Pertama, pemerintah melalui Kementerian BUMN mengklaim integrasi sistem GPN mampu menyelamatkan Rp 3 triliun devisa yang dianggap kabur ke luar negeri. Ini jelas terlalu berlebihan. Fakta, setiap transaksi elektronik, bank penerbit kartu dan bank penerima pembayaran saling berbagai keseluruhan fee atau interchange fee. Kenyataannya, bukan nilai uang yang dibawa perusahaan switching keluar negeri tapi cuma pencatatan data, itu yang sifatnya otorisasi.

Kedua, di atas kertas aturan GPN memang terkesan pro terhadap kepentingan nasional.  Namun GPN versi BI menciptakan persaingan usaha tidak sehat dan berujung pada oligopoli beberapa perusahaan switching lokal. Persaingan tersebut tercermin dari aturan batasan modal pemain asing yang tidak konsisten. Dalam PBI No. 19/8 terdapat klausul bahwa perusahaan asing harus memiliki modal dalam negeri minimum 80%.

Artinya, perusahaan asing yang telah beroperasi puluhan tahun dengan status PMA penuh harus divestasi bisnis hingga punya 20% saham saja. Aturan 80:20 ini tidak berdasar dan rentan menabrak aturan lainnya di jasa keuangan lainnya seperti perbankan dan asuransi.

Pelajaran soal persaingan usaha yang tidak sehat berkedok GPN salah satunya dari China, di mana GPN China Unionpay digugat banyak Negara WTO. Pada akhirnya, tahun 2012 China membuka kembali persaingan usaha dan mengizinkan pemain swasta beroperasi.

Jangan sepelekan konsumen

Belajar dari kasus tersebut masalah persaingan usaha yang tidak sehat justru menimbulkan distorsi pasar dan harga. Dalam teori consumer surplus, beban persaingan yang tidak sehat akan dikembalikan ke konsumen berupa pilihan yang terbatas dan adanya biaya siluman yang dibebankan dalam jangka panjang.

Ketiga, interkonektivitas dan interoperabilitas alias proses integrasi sistem antar penyedia jasa pembayaran. Biaya investasi yang dibutuhkan di  jasa switching  (pengalihan) transaksi pembayaran tidaklah murah. Bagi perusahaan switching dengan modal cekak tentu akan kesulitan dalam menjalankan GPN. Dalam jangka pendek biaya transaksi yang murah terkesan menguntungkan konsumen, namun pertanyaannya dengan pemasukan yang kecil berapa lama perusahaan switching sanggup bertahan?

Belum lagi ada perubahan konsep, perusahaan switching yang terintegrasi bukan sekedar jasa ATM melainkan transaksi pembayaran point-of-sale  (kemudahan bagi pelanggan) dan online. Peningkatan kapabilitas dari ATM ke point-of-sale dan online ini butuh investasi besar. Belum jelas dari mana perusahaan switching lokal dapat suntikan modal untuk melakukan investasi itu.

Keempat, berkaitan dengan masalah biaya yang dibebankan ke konsumen. Kasus penolakan masyarakat terhadap pungutan top up e-money justru membuka diskursus permasalahan aturan GPN ke tingkat yang lebih jauh. Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah nilai transaksi e-money sampai Juli 2017 baru 1,14% dari seluruh transaksi  pembayaran di Indonesia. Rasio penggunaan uang elektronik di Indonesia pun masih sangat rendah ketimbang Malaysia, Singapura dan Thailand.

Keputusan menerapkan biaya top up karena bank keluarkan biaya mahal untuk investasi infrastruktur e-money jelas rada aneh. Ini menandakan tingkat inovasi sistem pembayaran di Indonesia tidak menciptakan efisiensi yang merupakan tujuan utama GPN. Maka, perusahaan yang bisa menciptakan inovasi seharusnya didorong bukan dipersulit berbagai aturan. Jangan sampai GPN melahirkan biaya baru yang memberatkan konsumen dan memperlambat laju perpindahan transaksi ke elektronik.

Konsep GPN yang masih setengah jadi juga rentan terhadap fraud maupun serangan siber. Serangan siber di sektor jasa keuangan terus meningkat. Berdasarkan data statistik Cyber Security Kaspersky tahun 2016, Indonesia berada dalam peringkat ke-19 atau negara dengan sistem keamanan siber paling lemah di dunia. Sektor keuangan pun berkontribusi sebesar 47,4% dari total jumlah serangan siber dalam satu tahun terakhir. Sektor itu terdiri dari bank sebesar 25,7% dan sistem pembayaran 10,17%.

Peran perusahaan switching dalam melindungi data dan transaksi konsumen dari serangan siber di jasa keuangan pun cukup besar. Disini letak keunggulan perusahaan switching yang beroperasi di banyak negara, dengan skala ekonomi yang besar maka perbaikan sistem keuangan dapat dimanfaatkan secara global. Untuk switching lokal terutama yang naik kelas dari ATM ke pembayaran point-of-sale dan online, masalah keamanan masih jadi tantangan.

Perlindungan konsumen masih sangat lemah, jika terjadi kasus fraud atau kegagalan transaksi konsumen akan menuduh bank sebagai penyebab utama. Padahal perlindungan konsumen merupakan kewajiban perusahaan jasa switching. Jadi Bank Indonesia sebagai regulator juga perlu membuat skema perlindungan konsumen khususnya penanganan fraud dalam aturan GPN.

Belum terlambat bagi BI menyempurnakan aturan GPN sehingga ekosistem pembayaran menjadi lebih efisien dan bermanfaat bagi konsumen. Uji publik sebagai penyempurnaan proses pembuatan aturan juga sangat penting. Suara konsumen perlu jadi perhatian utama. Jangan sampai aturan dibuat tanpa pertimbangan konsumen sehingga Gerakan Nasional Non-Tunai kurang mendapat dukungan dari masyarakat.                   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×