kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ruang kosong


Selasa, 20 Februari 2018 / 08:51 WIB
Ruang kosong


| Editor: Tri Adi

Kasat mata betapa mal-mal yang menjamur di Jakarta semakin kosong. Menurut riset Jones Lang LaSalle, sekitar 32.000 meter persegi atau hampir 32 hektare ruang di pusat perbelanjaan di Jakarta tidak terisi. Per akhir 2017 lalu tingkat okupansinya hanya 89%, terendah dalam 6 tahun terakhir.

Meskipun ada moratorium pembangunan pusat perbelanjaan di Jakarta, nyatanya pasokan ruang mal terus bertambah. Hingga akhir 2019 masih akan ada tambahan shopping mall 106.000 meter persegi lagi.

Padahal, di sisi lain, kita melihat bagaimana satu per satu gerai ritel terkenal yang berjualan di mal, menutup tokonya. Sebut saja beberapa gerai Matahari, Debenhams, Lotus, GAP dan toko sepatu Clarks. Tren penutupan gerai-gerai ritel off-line tampaknya masih akan terus berlanjut seiring tren belanja online yang tidak terbendung.

Pasokan yang terus bertambah pada saat kebutuhan ruang justru turun menunjukkan para pengembang mal gagal membaca perubahan pasar. Benar, data menunjukkan jumlah penduduk Jakarta teramat besar (2017 mencapai 10, 4 juta jiwa). Namun, revolusi digital dan lahirnya startup dengan letupan-letupan disrupsinya telah membawa perubahan yang sangat cepat dan mendasar pada perilaku masyarakat. Kini, kian banyak orang lebih suka berbelanja online, lantaran lebih praktis dan lebih murah.

Bertambahnya ruang kosong di pusat perbelanjaan membawa masalah keuangan yang serius bagi pengembang, apa lagi yang mendanai pembangunan pusat perbelanjaannya dengan kredit bank atau pinjaman dari pihak lain. Ruang mal yang kosong membuat aliran pendapatan seret, sementara kewajiban membayar cicilan terus berlari bak argo taksi. Beban utang yang menumpuk bisa membuat bank gali lubang tutup lubang, dan bukan tak mungkin kreditnya menjadi macet, ujung-ujungnya propertinya disita kreditur.

Tak ada pilihan lain, pengembang harus cepat berubah. Menurunkan tarif sewa atau memperbanyak gerai makan tak lagi cukup. Pengembang harus melakukan disrupsi, atau paling tidak, meniru manuver pemain di negara lain yang mengubah ruang mal yang kosong menjadi hunian, rumah sakit, sekolah, taman kota, galeri seni, bahkan tempat ibadah.

Sebut saja Arcade Providence, mal pertama di AS, kini telah berubah wujud menjadi apartemen. Contoh lain, The City Center Mall di Ohio, AS yang tutup 2009, telah bersalin rupa menjadi area publik, lengkap dengan taman, pentas pertunjukan dan deretan kafe

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×